webnovel

The Black Shadow

Bayangan apa itu? Bisakah kau melihatnya? Bentuknya aneh, terkadang kecil terkadang begitu besar. Terkadang sendiri dan terkadang beramai-ramai. Hm, dikatakan itu adalah "mereka". Sesuatu yang tak bisa di raih tapi bisa didekati. Tetapi beberapa orang mengatakan "mereka" menolong? Menurutmu bagaimana?

Akai_Yuuki · Fantasy
Not enough ratings
1 Chs

The Black Shadow I

"Pemberhentian selanjutnya.... Perhatikan barang bawaan anda sebelum turun dan melangkah menuruni kereta. Saya ulangi perhatikan barang bawaan anda sebelum turun dan melangkah menuruni kereta."

Suara dari kondektur kereta menggema di tiap peron dari sepiker yang ada di sana. Beberapa penumpang mulai beranjak dari tempat duduk mereka dan mulai mempersiapkan diri di tiap pintu yang akan segera terbuka pada stasiun tersebut.

Langkah mereka semua mulai bergerak maju saat pintu itu terbuka dengar lebar. Desakan penumpang mulai berhamburan keluar meninggalkan tiap gerbong yang ada hingga menyisakan hanya beberapa penumpang yang mungkin masih berhenti distasiun-stasiun berikutnya. Begitu seterusnya hingga pada pemberhentian stasiun terakhir.

Seseorang yang satu-satunya terlihat turun dari gerbong kereta itu mengenakan jaket hodie yang ia pakai menutupi kepalanya. Celana jeans yang ia pakai sedikit robek sana sini yang mungkin adalah trend saat itu, serta sepatu model snikers yang terlihat masih baru karena tak terlihat kotor di bagian sampingnya dan masih begitu bersih.

"Kau!! Anak muda!! Aku hanya memberitahumu sebagai petugas. Kereta terakhir dari stasiun ini akan berangkat pukul 9 malam. Jika kau tak menaiki kereta itu maka kau akan pulang menggunakan taksi karena bis di sini berhenti beroperasi pukul 8 malam khusus untuk hari ini." Teriak seseorang dari gerbong paling depan yakni gerbong masinis. Dengan wajah yang mungkin tersenyum lebar ia melambaikan topi kondekturnya, berharap apa yang ia teriaki terdengar oleh anak itu karena hanya berpaut 3-4 gerbong darinya.

"Terima kasih atas informasinya paman!! Kalau begitu saya akan naik di kereta terakhir jika sempat." Sautnya dengan berteriak kembali sebelum melangkah meninggalkan kereta tersebut menuju tujuannya yang ada di depan sana.

Langit yang terlihat mulai menampakkan warna keorenan hampir menghiasi langit hari itu, ditambah embusan angin yang dirasa sedikit dingin dari sebelumnya karena mulai memasuki tahun itu.

"Kenapa kau memberitahukan pemberangkatan terakhir kita ke dia." Ucap seseorang dari balik sebuah ruangan yang bertuliskan masinis.

"Entah,,, tadinya aku mengira dia tertidur dengan sangat lelap karena tiap kali mengecek penumpang yang turun pada setiap stasiun dia masih selalu ada di sana."

"Kenapa tidak kau bangunkan saja."

"Ha ha ha niatku akan aku bangunkan jika sudah sampai di sini makanya pemberitahuan ku percepat 2-3 menit. Dan saat ku melewatinya dia memanggilku dan menanyakan sesuatu."

"Memangnya apa yang ia tanyakan padamu?—" Pintu dari ruangan masinis itu terbuka menampilkan seorang pria dengan baju khusus pakaian masinis. Berjalan mendekat dan berdiri di samping sang kondektur.

"—Hah..... Di sini dingin ingin ku kembali ke dalam ruangan hangatku di sana. Atau mungkin karena cuaca dan suhu yang makin menurun karena musim." Ucapnya kembali dengan sedikit uap yang terlihat pada mulutnya saat berbicara.

"Ha ha ha... Kau saja yang terlalu bermanja-manja sambil mengoperasikan kereta."

"Lalu apa yang dia tanyakan padamu?." Pertanyaan dari sang masinis diajukan kembali.

"apakah benar stasiun ini stasiun terakhir? Bukannya ada stasiun setelah stasiun ini? Itu yang dia tanyakan padaku."

"Tunggu dulu!! Stasiun itu kan sudah ditutup setahun yang lalu karena insiden besar itu bukan?." Ucapnya dengan nada terkejut.

"Ya... Dan seharusnya untuk anak semuda itu dia tak mengetahui stasiun itu, bukannya kau tahu sebabnya.?

"Ya... Aku tahu karena pada dasarnya nama dari stasiun itu tak pernah dicantumkan di halte pemberhentian ataupun di loker pembelian tiket."

"Adapun yang akan pergi ke sana baru menyadari ada stasiun lain jika berhenti di sini. Namun dia berbeda, sebelum berhenti ia sudah menanyai stasiun itu. Seharusnya orang-orang yang berasal dari sana yang mengetahui stasiun itu."

"Dan itu pun jarang terjadi."

"Ya, seperti yang ku bilang kalau bukan orang dari sana, dia mungkin salah satu dari mereka. Hanya kemungkinan saja lagi pula setahuku..."

"Apa kau yakin? Ku mendengar suara yang begitu ceria dari teriakannya. Lagi pula ia turun di sini kan? Dan setelah itu tak menanyakan kenapa kita tak ke sana." Potongnya sebelum sang kondektur menyelesaikan kalimatnya.

"Entahlah.... ku rasa ada benarnya."

.

.

.

Suara burung gagak menggema menghiasi langit yang mulai berwarna gelap. Tumpukan sampah yang ada di sana menjadi tempat para hewan berkumpul. Decitan tikus, raungan para kucing serta gonggongan anjing saling berseru memperebutkan makanan. Ada pula yang saling mengejar dan menangkap sambil menunjukkan cakar serta taringnya seperti ekosistem yang seharusnya, dan ada pula yang tetap menyantap makan malamnya, dan apa pula yang bersembunyi dari pemangsanya.

Sebuah papan nama yang bertuliskan "selamat datang" yang terlihat begitu kumuh dan tak terawat. Kayu yang dipakai pun mulai keropos dan di penuhi dengan lubang yang kapan saja bisa patah maupun jatuh. Suara pintu yang berbunyi Krekkk.... dari rumah yang ada di dekat sana terlihat terbuka tertutup karena embusan angin serta dari engsel yang bisa dikatakan berkarat.

Mencekam, menakutkan, mungkin itu yang bisa digambarkan dari sana. Tak ada seorang pun masyarakat terlihat di pemukiman tersebut, walau pada kenyataannya ada beberapa helai pakaian yang mengantung di samping rumah-rumah tersebut. Gonggongan beberapa anjing yang kian lama kian mengeras tak membuat seseorang yang sedang berjalan melewati mereka gentar. Dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku jaketnya, hodie jaketnya pun masih menutupi sang empunya kepala. Lalu langkahnya terhenti pada sebuah rumah kecil dengan boneka kelinci berada di depan pintunya.

"Boneka kelinci?." Gumamnya sebelum mengambil boneka itu dan menaruhnya di antara dahan-dahan kecil sebuah pohon yang tumbuh di sana.

"Permisi..." Ucapnya lagi ditambah dengan sebuah ketukan pintu yang dilakukan beberapa kali sebelum pintu rumah itu terbuka dengan perlahan sedikit demi sedikit memperlihatnya seorang wanita paruh baya dengan pakaian kaos putih lengan pendek serta rok yang berwarna hitam.

"Ada yang bisa saya bantu?." Tanyanya heran kepada seseorang yang berdiri di depan pintu rumahnya.

"Sebelumnya maaf mengganggu, apa benar ini rumah dari Rukia Shizuka?."

"Benar sekali, ada keperluan apa dengan saya hingga Anda merepotkan diri mengunjungi pemukiman kumuh para petani di daerah ini."

"Sebelumnya saya minta maaf, saya pernah tak sengaja bertemu seseorang yang menjatuhkan sesuatu, saat ingin mengembalikannya namun orang tersebut sudah tak ada. Maaf maksud dari perkataan saya dia sudah tak terlihat di jalanan entah menaiki kendaraan yang lewat atau berbelok ke sebuah gang, atau lebih mudahnya sudah tak terlihat di pandangan saya."

"Saya bisa mengerti jadi tak perlu diperjelas, lalu apa hubungannya dengan saya?."

"Pada akhirnya saya mengabaikannya dan menyimpannya, itu pun terbilang cukup lama dari kejadian dan minggu lalu saya menemukan barang itu kembali di tempat penyimpanan saya."

"Huh?."

"Saat saya membukanya, di sana, di dalamnya terdapat sebuah surat yang bagian luarnya bertuliskan nama "Rukia" dan menurut saya barang itu adalah barang berharga milik orangnya." Di keluarkannya sebuah kotak kecil berwarna merah Maron yang sudah terlihat sedikit kusam.

Warnanya yang sedikit memudar tak menghilangkan sebuah kesan istimewa yang membuat wanita itu sedikit kaget dan ingin mencoba menyentuhnya. Diambilnya dengan ragu kotak itu dari tangan sang tamu tersebut sebelum air matanya tiba-tiba mengalir membasahi pipinya.

"Eh... Kenapa menangis, sungguh aku tak mengambil isinya. Terlebih aku tak tahu apa isinya ada atau tidak. A... Aku juga minta maaf untuk suratnya, karena aku sudah menghilangkannya." Ucapnya panik

"Aku tahu,,, aku tahu,,, jadi tak masalah nak—" Ucapnya dengan air mata terus mengalir dan mulai jatuh terduduk di tanah. Isakan tangisnya menggema pada sore itu dibarengi dengan matahari yang benar-benar terlihat tenggelam dan tergantikan oleh sinar bulan.

"—Terima kasih,, aku sungguh-sungguh sangat berterima kasih. Terima kasih telah mengantarkan ini."

"Bi.... Aku yakin paman "Takashi" senang melihat barang itu kembali ke pemilik sebenarnya dan aku Cuma perantara untuk menyampaikannya—" Balasnya dengan tepukan kecil di pundak sang wanita.

"—Kalau begitu aku permisi bibi lalu, jangan menangis lagi, paman Takashi pasti senang saat melihat senyuman bibi, entah itu dulu maupun sekarang."

Ia pun meninggalkan sang wanita yang masih meraung menangis sambil memeluk kotak kecil itu. Air matanya terus menerus mengalir sampai tamu tak diundang itu menghilang dari pandangannya. Gumaman kecil dengan kalimat "Terima kasih" terus ia ucapkan sebelum ia beranjak dari sana dan menutup pintunya rapat memasuki bangunan kecil itu.

Disisi lain seseorang dengan hodie itu berjalan perlahan menyusuri jalanan dan berhenti pada sebuah mesin minuman kaleng. Di masukkannya beberapa koin sebelum memencet tombol dari deretan minuman jus secara acak.

"Lemon?—" Gumamnya sebelum beranjak dari mesin penjual minuman dan duduk disalah satu bangku panjang yang ada di sebelahnya.

"—Kuberharap mendapatkan jeruk, tebakanku salah walau masih berasa sama-sama asam."

Kaleng jus itu pun ia buka dan meminumnya dengan beberapa tegukan sebelum meremas dan membuangnya ke tempat sampah. Kepalanya mengarah ke atas menatap langit malam yang mulai menunjukkan cahaya-cahaya kecilnya hingga beberapa pikiran melintas dikepalanya.

"Hah, waktunya pulang, sepertinya aku terlalu lama melamun di sini." Dirogohnya saku celana jeansnya untuk mengambil sebuah handphone. Di tekannya tombol power untuk menyalakan daya handphone tersebut sebelum handphone itu kembali mati sambil memperlihatkan sebuah kalimat baterai kosong.

"Kuharap aku bisa pulang dengan kereta." Ucapnya kembali sambil beranjak dari sana menuju stasiun yang seharusnya akan mengantarkannya pulang.

.

.

.

"Tugas makalah hari ini akan menjadi tugas kelompok, diusahakan satu kelompok terdiri dari 3 orang, bapak tak akan memilih kelompok, jadi tentukan sendiri dari sekarang. Makalah dengan tema "Peradaban" akan menjadi tema kali ini. Kalian memiliki waktu 2 minggu dan presentasikan hasil kerja kalian nanti. Ah..., Ada satu hal lagi, Ryuga dan Shu setelah pulang sekolah harap menghadap bapak di ruangan musik ada sesuatu yang akan bapak sampaikan. Dan pembelajaran kita cukup sampai di sini, dan jangan lupa tugas kalian, karena hal itu mempengaruhi nilai kelulusan kalian."

Semua murid masih bersikap tenang sampai guru tersebut benar-benar meninggalkan ruangan kelas. Murid-murid pun mulai ribut dan menggaduh dengan kalimat seperti, "Siap yang mau satu kelompok denganku?" "Bagaimana dengan kita bertiga?". Atau ada pula yang mengeluh karena tugas tersebut seperti, "tugasnya mengerikan" "ingin bolos, ingin sakit" dan lain sebagainya. Berbeda dengan satu orang yang sedari tadi kepalanya di taruh antara lipatan tangannya di meja. Dengan santainya matanya terpejam di deretan bangku belakang tak peduli ocehan seluruh murid di dalam kelas tentang kelompok pembelajaran.

"Shu,,, kau mendengar perkataan pak guru kan?." Tanya seseorang yang duduk di sebelahnya. Jari-jari tangan kanannya memainkan pulpen sedangkan tangan kirinya menumpu kepala menengok teman di sebelahnya dengan bosan karena sedari tadi hanya tertidur dan menghiraukan ucapannya selama pembelajaran.

"Hm..." Gumamnya demi menjawab pertanyaan yang ia dengar dari sampingnya, berharap ocehan yang keluar dari sampingnya itu segera berhenti.

"Kau sungguh menyebalkan, baiklah kalau begitu akan ku beritahu tahu Ryuga tentang ini."

"Kalau kau mencarinya dia ada di ruang kesehatan."

Satu alis dari seseorang yang ingin beranjak dari bangkunya itu terangkat. Nyatanya seseorang yang sejak tadi ingin ia ajak berbicara pun tak menjawab pertanyaannya tapi bereaksi tentang orang yang bernama "Ryuga".

"Lagi?." Tanyanya heran dengan info yang ia dengar.

"Kesehatannya memang buruk kan? Jadi tak perlu heran."

"Tapi,,, hmm, baiklah, setelah istirahat ke dua aku akan ke sana melihatnya."

"Jadi, sekarang kau tak jadi ke sana?."

"Ya, nanti saja bersama denganmu sekaligus membahas tugas ini."

"Asalkan tidak sehabis pulang sekolah karena aku dan Ryuga ada urusan lain dengan pak Tanaka."

"Kau benar, tapi kau akan ikut menengok Ryuga bersamaku kan Shu?."

Dan gumaman tak jelas kembali ia gunakan untuk menjawab pertanyaan dari orang yang mengajaknya. Sedangkan di dalam ruang kesehatan berbaring seseorang yang sedang tertidur pulas dengan selimut menutupi tubuhnya, serta satu orang lagi yang tengah berdiri di samping pintu masuk dan bersender di sana dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada. Hodie yang ada di seragamnya ia pakai untuk menutupi kepalanya. Namun yang pasti pandangannya tertuju pada satu satunya orang yang tertidur di sana dengan tatapan mata yang terlihat tajam.