webnovel

Persaingan (1)

1.

Persaingan (1)

~ Saat hari-hari indahmu hilang, Tuhan pasti menyelipkan kebahagiaan untukmu. ~

 

Suara hati Kara. Siapa dia?

Copyright ©Irma Karameena the novel & the quotes

***

Tahun 2014.

"Dasar Maling!!"

Suara itu terdengar sangat keras di telinga Alex. Hatinya  seperti tersayat pisau belati. Alex tidak mencuri apapun. Tadi, dia memang ke kelas tapi dia tak tahu apapun.

"Bukan saya, Pak," kata Alex menunduk, "sungguh, saya berani bersumpah!"

"Buktinya? Dompet dan ponsel temanmu ada di tasmu ini," kata Pak Arka memakinya. Sekali lagi kepala sekolah itu menampar wajahnya.

PLAK~ PLAK~

Dua kali tamparan.

Mata Alex berkaca-kaca. Sial! Pekiknya dalam hati. Kalau saja bukan kepala sekolah. Alex pasti sudah menghajarnya. Jantungnya bergemuruh. Darahnya mengalir ke atas ubun-ubunnya. Wajahnya memerah.

"Apa! Berani kau memandangku? Kau marah padaku? Dasar brandal!" kata Pak Arka lagi.

Itu benar-benar sangat menyakiti hati Alex. Seorang Siswa berusia 16 tahun. Kelas 2 SMA. Dia tak tahu apa-apa. Siapa yang berani mengerjainya? Kurang ajar? Batin Alex.

"Aku tak segan mengeluarkanmu! Kau tak berguna! Apa prestasimu di sini? Sekolah saja kau hanya setor muka!"

BLAM!

Alex menutup pintu ruang kepala sekolah dari luar. Dia menatap semua teman-temannya dengan nanar. Mereka mengintipnya saat dirinya dimarahi habis-habisan oleh Pak Arka. Dan beberapa dari mereka malah tertawa di atas penderitaannya. Mata Alex terasa panas, airmatanya mau jatuh, namun ditahannya karena egonya sebagai anak laki-laki. Rasanya, Alex ingin mengamuk tapi dia sedang tak ingin membuat masalah. Pada akhirnya, dia memutuskan kembali ke kelas.

Di kelas, Alex duduk dengan tangan menopang dagu. Sebisa mungkin dia menahan rasa sakit hatinya. Masih sesak sampai kerongkongan, amarah yang ditahannya kuat-kuat.

"Makanya, jangan macem-macem lo sama gue!" kata Yoga dengan teman-teman gengnya.

Sial!

Apakah dia yang memfitnah Alex?

"Eh, Pencuri!" kata Yoga sekali lagi.

Semua teman-teman Yoga menertawakannya. Alex membuka mulutnya dan siap membela diri di depan teman-teman sekelasnya.

"Aku bukan pencuri! Dan bukan aku yang mencurinya!" kata Alex, giginya gemeretak.

"Misca itu milikku! Camkan itu! Jangan coba-coba bersaing denganku!" Yoga memukul ringan kepala Alex, dan Alex menghindarinya dengan spontan.

Yoga menghampiri Misca dan menggandengnya di depan mata. Mereka berjalan di depan Alex tanpa rasa empati sedikitpun. Rupa-rupanya tak ada yang baik dari teman sekelasnya. Yoga sengaja memamerkan kemenangannya sebagai pria yang berhasil memiliki Misca. Ya, memang Misca salah satu cewek yang menarik perhatian Alex.

"Ganteng-ganteng pencuri," terdengar suara siswi sekelasnya, tepat di belakang bangku Alex.

Alex hanya menoleh ke arahnya. Oh, Dina, pikirnya. Mentang-mentang dia ketua kelas dan juara satu. Sangat sombong dia. Alex hanya bisa memekik pada hatinya sendiri. Apa yang bisa dia lakukan hari ini? Tidak ada, selain menerima cacian dan segalanya yang buruk. Harga dirinya pun sudah jatuh tak tersisa. Tak pelak Alex hanya bisa membisu dengan dendam yang membara di lubuk hatinya.

"Iya, sayang banget ya, padahal di sekolah ini. Cuma dia lho yang paling ganteng!" Sinta menimpali perkataan Dina.

Tak dipungkiri, telinga Alex terasa sangat panas mendengar ocehan mereka.

"Eh, iya lho, aku sempet naksir dia padahal. Badannya bagus, keker atletis gitu. Tapi kok nyuri sih.. ih, jadi ilfeel," ujar salah satu siswi di sana, kedengarannya itu suara Misca.

Siapa? Misca?

Cewek yang Alex taksir sejak kelas satu. What? Misca jadi ilfeel gara-gara Alex mencuri. Alex tidak mencuri. Parahnya lagi. Geng Prayoga datang lagi ke bangku Alex.

Alex bangkit dari duduknya. Bersiap-siap kalau-kalau Yoga akan berbuat seenaknya pada dirinya. Alex tahu betul bagaimana perangai Yoga, tak ada yang bisa melarangnya melakukan apapun.

"Dasar pencuri...!" kata Yoga menyeringai dengan giginya. Sudut matanya menyipit puas. Menatap Alex dengan tatapan merendahkan.

Gerai tawa teman-temannya terdengar. Merek terbahak-bahak. Mengejeknya tanpa ampun. Seluruh isi kelas itu telah menertawakannya.

Tanpa basa-basi, Alex langsung menerkam Yoga. Dia tahu ini pasti perbuatan Yoga untuk menyingkirkan dirinya dari sekolah ini. Dia tak paham mengapa Yoga begitu membencinya.

"Sialan kau! Kurang ajar kau! Kau pasti memfitnahku kan?" Alex meninjunya dengan geram.

Yoga terjatuh ke lantai. Lalu berteriak meminta pada para anggota geng-nya untuk membalas perlakuan Alex pada dirinya.

"Habisi Alex!!!" pekik Yoga dengan geram. Dirinya mengusap aliran darah yang keluar dari hidungnya.

Benar saja, geng itu langsung menangkap Alex lalu menempelkan tubuh Alex ke dinding tembok kelas. Mereka memukul, menendang, dan mengeroyok Alex sampai babak belur. Sampai Alex terkapar lemah. Namun anggota geng itu masih menghajar Alex.

Hanya terdengar teriakan siswi-siswi karena kaget atas kegaduhan itu. Tak ada yang berani melerai selain menonton saja. Dan beberapa siswi hanya terus berteriak. Salah satu dari mereka mencoba melapor pada guru. Mereka hanya beraninya melapor dan tak menyelesaikan masalah.

"Stop!" teriak Bu Dewi.

Semua berhenti. Saat, suara langkah para guru dan kepala sekolah datang ke kelas. Beberapa wajah mereka tampak lebam-lebam, apalagi wajah Alex. Sudah jelas Alex yang paling hancur, karena mereka telah mengeroyoknya. Meski begitu, tetap saja tak ada yang membela Alex. Semuanya salah Alex!

Pak Arka berkacak pinggang, "benar-benar kau ya! Baru saja aku memanggilmu. Sekarang kau bikin ulah lagi. Aku akan memanggil orangtuamu. Keputusanku mengeluarkanmu sudah bulat!"

"Pak, pak...!" Alex meraih kaki Pak Arka. Padahal sebenarnya Alex belum bangkit, dia masih dalam keadaan setengah terkapar.

Sedangkan di sisi lain, beberapa guru dan anak-anak membawa Yoga ke ruang UKS untuk diobati. Mereka buta saat melihat Alex sehancur itu. mereka hanya melihat Yoga, tak sedikitpun Alex mereka pikirkan. Ini sama sekali tak adil bagi Alex, tentu saja, tetapi apa daya dirinya pasti kalah dengan kuasa yang dimiliki keluarga Yoga, sebagai donatur terbesar di sekolah ini.

"Tolong jangan keluarkan saya, Pak! Ayah saya sakit dan Ibu saya sudah meninggal dunia. Tolong, Pak, jangan keluarkan saya, Pak!" kata Alex memohon. Airmatanya jatuh meski hanya keluar dari sudut matanya.

Pak Arka berusaha melepaskan kakinya yang dipegang erat oleh Alex. Tak ada gunanya memohon. Siapapun sudah seperti tuli akan empati. Siapapun mereka sudah tidak mendengar apapun yang Alex katakan.

"Minggir! Aku tak peduli lagi!" katanya lalu Pak Arka meninggalkan kelas, "kenapa kau tak seperti Pupus, kakakmu itu. Dia cantik dan pintar. Tak sepertimu! Brandal! Kriminal!"

Alex tertunduk. Semua sia-sia. Airmata Alex jatuh begitu saja. Hatinya terasa sesak. Alex ingin berteriak. Kenapa dunia ini? Kenapa? Semua orang memandangnya jijik di kelas itu. Apa aku tidak berguna? Apa aku serendah itu? Aku tidak mencuri! Tidak ada yang percaya! Gumam Alex dalam hatinya.

***

To be continued...

Instagram Author: @i_karameena

Next chapter