89 Pengasuh Yang Tampan

Keduanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Finland kesal kepada dirinya sendiri karena membiarkan dirinya diperdayai Sophia waktu itu. Caspar pasti marah kepadanya karena ia tidak menelepon setelah Jean bangun dari koma, tetapi ia tidak menganggap Aleksis sebagai anak Jean, ia justru tidak mengetahui siapa Aleksis sebenarnya.

Namun satu pertanyaan yang sangat mengganjal hati Finland adalah mengapa Caspar bersikeras tidak mau bertemu Finland dan meminta kembali cincin ibunya? Ini cukup membingungkan. Pemikiran ini membuat Finland sangat sedih. Ia tak dapat memikirkan apa kira-kira penyebab Caspar tidak mau menemuinya sama sekali...

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Finland kemudian dengan suara lirih. Ia telah berusaha keras memikirkan segala kemungkinan tetapi ia tak dapat mengerti, kenapa Caspar tidak mau menemuinya. "Caspar tidak mau menemuiku... Ia juga telah meminta kembali cincin ibunya, dan menyuruhku agar jangan pernah menghubunginya lagi. Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk memberitahunya tentang Aleksis."

"Mungkin ia memiliki alasan sendiri." Lauriel merenung cukup lama. "Bisa jadi ia sengaja menjauhimu karena ia tak ingin kau diincar oleh musuh-musuhnya. Kalau memang ia mencintaimu, kau akan menjadi kelemahannya."

Finland ingat Caspar pernah mengatakan hal yang persis seperti itu, bahwa Finland adalah kelemahannya. Apakah itu alasannya menjauhi Finland? Untuk melindunginya? Apakah Caspar benar-benar tidak tahu bahwa Finland melahirkan anak mereka?

"Kalau ia ingin melindungiku, seharusnya ia tidak menjauhiku... Seharusnya ia membawaku dan Aleksis dan menjaga kami di dekatnya..." kata Finland sambil menggigit bibir. Ia merasa perkataan Lauriel tidak masuk akal.

Lauriel menatap Finland dengan pandangan menyelidik. "Kau masih mencintainya? Kau mau kembali kepadanya?"

Finland tidak menjawab. Ia masih mencintai Caspar, tetapi ia tak tahu apakah mereka akan dapat kembali bersama, Caspar bahkan tidak mau menemuinya.

Ia pun merasa tidak adil kepada Lauriel yang telah begitu baik kepadanya, jika ia begitu saja memutuskan untuk kembali kepada Caspar.

Karena itu ia tak mampu menjawab.

"Finland, aku tahu kau perlu waktu bertahun-tahun untuk percaya kepadaku. Tetapi sekarang kita sudah saling membuka diri, aku mohon kau untuk selalu bersikap jujur kepadaku. Aku tak mau kau menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya dariku. Aku adalah laki-laki dewasa dan bisa menerima kebenaran. Jangan takut mengatakan isi hatimu kepadaku..."

Lauriel menggenggam tangan Finland dan menatapnya dalam-dalam. Sepasang mata biru hijaunya yang cemerlang tampak sangat mempesona, dan Finland tak dapat menatapnya lama-lama. Gadis itu melengos sedih.

"Kau terlalu baik. Aku tak tega menyakiti hatimu..." katanya pelan.

Lauriel tersenyum mendengarnya.

"Aku suka kejujuran. Aku tidak menyukai manusia karena kebanyakan mereka adalah pembohong dan perusak alam. Hanya sedikit orang yang kutoleransi, termasuk dirimu. Aku menyukaimu karena kau tidak bisa berbasa-basi. Saat aku pertama melihatmu, aku kasihan dan ingin menolongmu. Tetapi setelah mengenalmu dua tahun, aku tahu kau adalah seorang perempuan kuat yang punya survival instinct luar biasa... Cintaku tumbuh seiring dengan waktu. Aku tidak punya keluarga, dan selalu terbiasa hidup sendiri, tetapi selama dua tahun ini aku telah menganggapmu dan Aleksis sebagai keluargaku. Aku akan mendukungmu dan melindungimu." Lauriel menepuk-nepuk tangan Finland dengan lembut, "Aku ingin melihat orang yang kusayangi bahagia."

Finland tertegun mendengar kata-kata Lauriel barusan, yang baginya seperti guyuran air hujan di tengah musim kemarau yang panjang. Ia yang sebatang kara, dulu menganggap Jean sebagai satu-satunya keluarganya. Kini setelah Jean melupakannya, Lauriel justru memungutnya dan Aleksis dari jalanan dan menganggap mereka sebagai keluarganya. Finland merasa terharu sekali.

"Terima kasih, Rory..." bisiknya dengan suara tercekat. "Aku tak tahu bagaimana membalas kebaikanmu..."

"Bagaimanapun Aleksis adalah anak angkatku, kebahagiaannya adalah prioritasku." Lauriel menghabiskan wine-nya lalu menyimpan gelasnya dan gelas Finland ke dapur. Ia kembali ke perpustakaan dengan bantal dan selimut. "Kita pikirkan besok apa yang harus kita lakukan. Bagaimana mencari Caspar dan menyembuhkan Jean. Kau tidurlah dulu, besok kau harus berangkat kerja, kan? Atau kau mau pura-pura sakit?"

"Uhmm... tidak, aku ada meeting penting besok." Finland menerima bantal dan selimut dari Lauriel dan menggelarnya di sofa ruang perpustakaan. "Terima kasih untuk selimutnya..."

"Bantal dan selimut itu untukku. Aku yang tidur di sofa. Kau tidur di kamarku." Lauriel tertawa melihat Finland yang kebingungan, "Masa perempuan yang tidur di sofa? Ayo kuantar ke kamarku."

Finland tertegun dan tanpa sadar mengikuti Lauriel yang menarik tangannya masuk ke dalam kamar utama.

"A... aku kan tamu, sebaiknya aku tidur di sofa saja..." katanya terbata-bata. Lauriel telah menaruh tas Finland di nakas sebelah tempat tidur.

"Kamar tamu di atas aku biarkan kosong karena aku tak pernah menerima tamu. Tapi kalau kau dan Aleksis akan sering menginap di sini, aku bisa menyiapkan kamar tamu yang bagus. Untuk sementara kau tidur di kamarku saja. Aku masih mau membaca di perpustakaan."

Lauriel berjalan keluar pintu dan tiba-tiba saja Finland seperti tersadar, ia buru-buru mengejar Lauriel dan memeluk pinggangnya dari belakang.

"Rory... " Ia bicara terbata-bata, "Te... terima kasih."

"Hmm." Lauriel menepuk-nepuk tangan Finland yang memeluknya, tidak berkata apa-apa. Saat Finland melonggarkan pelukan dan melepaskannya, ia melanjutkan berjalan keluar kamar dan tidak menoleh.

Finland tak dapat tidur semalaman itu. Ranjang Lauriel nyaman sekali, karena dibuat dari memory foam paling mahal, tetapi walaupun demikian, Finland tak dapat memejamkan mata. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya.

Ia telah membiarkan dirinya diperdayai Sophia selama setahun. Memikirkan itu rasanya ia kesal sekali. Ia ingin segera bertemu Caspar dan menanyakan langsung kepadanya, mengapa ia tidak mau bertemu Finland waktu itu... sehingga Finland tak dapat memberitahunya tentang Aleksis...

Dan oh, Lauriel juga mungkin dapat menyembuhkan Jean... Ini membuat hati Finland berdebar-debar. Ia sangat rindu kepada sahabatnya. Dulu ia mampu menjalani hidupnya yang malang karena setiap hari ia bisa berbicara kepada Jean, tetapi sudah hampir 3 tahun ia tak bisa bercerita kepada siapa-siapa. Ini sungguh membuatnya tertekan...

Ia sangat bersyukur karena Lauriel masuk dalam kehidupannya di saat yang tepat. Ia tak dapat membayangkan jika dua tahun lalu ia jatuh di jalan setelah telepon Jean yang mematahkan hati itu, tanpa ditolong oleh Lauriel. Dokter telah mengatakan kalau sampai ia terjatuh dengan keras ke trotoar itu, bayi dalam kandungannya bisa mati. Waktu itu saja ia tetap harus bedrest 2 minggu sebelum melahirkan Aleksis.

Dan itu bukan satu-satunya kesempatan Lauriel menolongnya. Pemuda itu telah menolongnya dan Aleksis tanpa henti selama dua tahun ini...

Tanpa Lauriel ia takkan memiliki Aleksis yang hidup sehat dan bahagia di sisinya...

***

Lauriel tahu Finland tidak tidur karena gadis itu memiliki mata panda ketika mereka bertemu di meja makan untuk sarapan keesokan paginya. Aleksis belum juga bangun hingga saat Finland mandi dan bersiap-siap ke kantor.

"Biasanya dia bangun jam 7..." keluh Finland. "Sekarang sudah mau jam 8, tapi Aleksis masih tidur."

"Tidak bisa disalahkan, tempat tidurnya di sini memang nyaman sekali," Lauriel tersenyum simpul. Ia menyerahkan secangkir kopi kepada Finland. "Pakai susu?"

"Ya, terima kasih." Finland mengangkat cangkir kopinya menerima tuangan susu dari Lauriel. "Maafkan aku merepotkanmu lagi.. Tolong jaga Aleksis sampai bangun."

"Tidak masalah." Lauriel membawa wajan berisi pancake dan menaruh dua di piring Finland. "Maaf ya sarapannya basic sekali. Sudah lama sekali aku tidak membuat sarapan untuk gadis yang menginap."

"Oh... terima kasih." Finland menjadi tersipu. Ia mengerti maksud Lauriel. Walaupun mereka berteman, ia tetap merasa sungkan menginap di rumah lelaki yang bukan suaminya.

Finland berangkat ke kantor dengan naik bus. Walaupun Lauriel menawarkan mengantarnya, ia menolak. Ia sedang banyak pikiran dan tidak ingin mendiamkan Lauriel di jalan padahal pemuda itu sudah berbaik hati mengantarnya. Karena itu ia merasa naik bus adalah pilihan yang lebih baik.

Finland masih melamun di kantornya dan membuat teman-teman satu departemennya keheranan. Mereka sangat jarang melihat gadis itu tidak fokus dalam bekerja.

"Kau melamun lagi seperti kemarin..." kata Anne saat mereka selesai rapat. "Kau ada masalah?"

"Uhmm... aku sedang banyak pikiran saja. Tidak apa-apa, kok," jawab Finland menghindar.

"Mau makan siang bersama?" tanya Anne lagi.

"Hai, Finland... ada yang mencarimu." Tiba-tiba Cindy, office manager datang ke ruangan rapat. Wajahnya tampak bersinar-sinar gembira. "Kekasihmu tampan sekali, kenapa kau nggak pernah bawa kemari?"

Orang-orang dari departemen Market Research saling pandang dan berkasak-kusuk menggoda Finland. Teman-teman kantor Finland di San Francisco bukanlah teman-teman kantornya di Singapura. Mereka menyukainya dan bersimpati karena gadis itu hidup sendirian dan membesarkan anaknya. Saat Cindy mengatakan Finland memiliki kekasih, mereka turut bahagia untuknya.

"Aku tidak punya kekasih..." bantah Finland cepat. Ia mengibas-ngibaskan tangannya kepada teman-teman satu departemennya, berusaha meyakinkan mereka akan ucapannya. Tetapi kemudian Lauriel masuk dengan Aleksis dalam gendongannya, dan suara-suara mendesah tertahan teman-teman kantornya yang perempuan membuat Finland menoleh ke pintu. "Eh... mau apa kalian di sini?"

"Mamaaaa...." Aleksis menghambur ke arah Finland dan gadis itu segera menerimanya dari tangan Lauriel. "I miss you!"

"Sayangku... I miss you too. Ada apa? Kenapa kalian ke sini?" Finland menoleh kepada Lauriel meminta penjelasan. Pemuda itu mengenakan kemeja tipis dengan kancing atas terbuka dan rambutnya yang agak panjang acak-acakan membuatnya tampak keren sekali. Cuaca dingin San Francisco membuat penampilannya yang begitu kasual terlihat kontras. Daya tahan Lauriel terhadap dingin memang luar biasa.

"Aleksis gelisah dari pagi karena tidak melihatmu saat ia bangun. Aku berjanji kepadanya untuk mengajakmu makan siang bersama supaya dia tenang." Lauriel menjelaskan.

"Oh...baiklah..." Finland menjadi salah tingkah. Ia lalu mengangguk kepada teman-teman kantornya, "Uhm... teman-teman, aku makan siang dulu. Anakku dan pengasuhnya sudah datang untuk makan siang bersama."

Uh-ah... tak habis-habisnya para perempuan di kantor mendesah iri, saat Finland dan Lauriel berjalan keluar gedung.

Mereka baru menyadari inilah 'pengasuh' Aleksis yang sering diceritakan Finland itu. Sungguh Finland sangat beruntung memiliki pengasuh yang luar biasa tampan dan penyayang untuk anaknya.

"Astaga... Finland beruntung sekali!" seru Anne. "Aku juga mau punya pengasuh seperti itu... Aku akan segera ke bank sperma biar bisa hamil dan punya anak. Nanti anakku akan kutitipkan kepada pengasuh Aleksis juga...."

Lucia hanya tertawa mendengarnya, "Kau ini lugu sekali. Tidak mungkin laki-laki itu baby sitter profesional. Tampangnya terlalu kaya untuk menjadi pengasuh. Pasti dia kekasih Finland yang membantunya mengurusi Aleksis. Finland hanya merendah saat mengatakan pria itu pengasuh anaknya..."

"Berarti mereka sudah bersama sejak Aleksis lahir. Kau ingat kan, seminggu setelah anaknya lahir, Finland sudah bisa langsung bekerja? Kalau begitu, lama juga ya kemajuan hubungan keduanya. Sesudah dua tahun mereka masih belum tinggal bersama," komentar Anne dengan nada agak bergosip.

"Mungkin mereka masih konservatif, tidak mau tinggal bersama sebelum menikah. Bagaimanapun Finland itu kan orang Asia," jawab Lucia, mengangkat bahu.

"Hmm... kau benar juga. Padahal kalau tinggal bersama kan dia bisa menghemat uang sewa apartemen."

"Entahlah... Kita tidak tahu, mungkin mereka memang tidak pacaran. Sebaiknya kita nggak ikut campur urusan orang lain."

Teman-teman kantor Finland akhirnya berhenti membicarakan Finland dan Lauriel setelah Tony menegur mereka.

avataravatar
Next chapter