webnovel

The 3rd Eye

[Kisah nyata dari Author juga kedua teman] Ada sesuatu yang aneh di kampusku, sesuatu yang selalu memata-mataiku. Sesuatu yang membuatku merasa sedikit malas untuk masuk kuliah. Ya, ada aura jahat di sekelilingku, mereka sedang mengawasiku, ingin membunuhku. Ada sesuatu yang membuatku sedikit tidak ramah dengan keadaan kampus yang terasa amat menyeramkan setiap kali aku menginjakkan kaki di sana. Begitu juga dengan kedua temanku yang semakin lama juga merasakan banyak kejadian aneh tak terkira dengan akal sehat.

Unichias · Horror
Not enough ratings
2 Chs

[ Satu ]

"Aku melihat wanita aneh," ucapku. 

      Zhang, teman dekatku menoleh, mengulas sebuah senyum yang tak dapat aku definisikan. "Sandalnya terbalik?" 

        "Aku enggak bercanda, Zhang. Tadi pagi aku melihat dua orang aneh, yang pertama dia datang dan menghilang tiba-tiba yang satunya lagi diam melihatku dengan tatapan yang aneh," jawabku. 

       "Mungkin kamu hanya kebanyakan nonton film gore," sahut Kirin. 

        Aku menghela napas, mengambil beberapa helai daging asap dan mencelupkannya ke dalam saus wasabi yang ada di hadapanku. 

       "Mungkin juga karena kamu agak stress dengan pekerjaanmu," gumam Zhang lagi. 

       "Entahlah …," gumamku. 

       "Bagaimana kalau pulang nanti kita ke hot spring? Lumayan, kan? Ini musim dingin sekalian menghangatkan tubuh di sana," usul Kirin. 

       "Aku mau tapi, aku takut dimarahi oleh Ibu," jawabku. 

      Aku dan Zhang adalah seorang murid transferan dari Hunan. Kami ke sini untuk menuntun ilmu, dengan bantuan sepasang suami istri yang menjadi penanggung jawab kami berdua selama hidup di Jepang. 

      Mereka berdua sudah hampir 20 tahun menikah namun, mereka berdua tidak mempunyai anak. Mereka adalah Tuan  dan Nyonya Satsuma, walau pun mereka belum pernah mempunyai anak mereka menyambut kami dengan senang hati layaknya seperti orangtua pada umumnya. 

       "Kita izin saja dulu, lagi pula Kirin kan tetangga kita," jawab Zhang. 

      "Pulang dulu?" tanya Kirin. 

     Zhang mengangguk. "Iya, pulang dulu. Tidak enak kalau pergi begitu saja tanpa izin." 

      "Benar. Ayo, kita pergi ke kelas sebentar lagi akan bunyi bel pergantian kelas." Kirin menata tempat bekalnya dan segera berdiri. 

      Aku dan Zhang pun ikut menyusul. 

***

       "Bu, sore ini aku akan pergi ke hot spring. Apakah boleh?" tanyaku pada Nyonya Satsuma yang sedang sibuk memasak di dapur. 

       Nyonya Satsuma tersenyum. "Boleh. Tapi, jangan pulang terlalu malam." 

       "Terima kasih, Bu. Aku akan pergi dengan Zhang dan Kirin," kataku lagi. 

      "Kurasa itu lebih bagus, Zhang adalah laki-laki. Dia bisa menjaga kalian," jawab Nyonya Satsuma. 

       Tak lama kemudian Zhang masuk ke dapur dan menyerahkan ikan hasil pancingan Tuan Satsuma kepada Nyonya Satsuma. Zhang tersenyum semringah ketika melihat masakan  Nyonya Satsuma yang begitu menggoda. 

      "Bu, sebenarnya… apa rahasia Ibu untuk masakan-masakan itu?" tanya Zhang. 

      "Cinta," jawab Nyonya Satsuma. 

      "Eum…." 

     "Setiap hal akan terasa enak, indah, dan memuaskan jika dikerjakan dengan penuh perasaan," gumam Nyonya Satsuma. 

      Aku dan Zhang mengangguk karena hal itu memang benar-benar ada di dunia ini kemudian Nyonya Zhang meminta kami untuk menata meja makan di ruang tengah. 

       Entah mengapa kami berdua merasakan kehangatan layaknya keluarga kandung. Selama di Jepang aku dan Zhang sudah merasa seperti di kampung halaman sendiri, sesekali juga ketika kami berdua menelepon keluarga kandung kami, Tuan dan Nyonya Satsuma kami ajak bergabung. 

       "Menurutmu apakah dia benar-benar berani mengatakan hal itu di depan Ibunya?" tanya Zhang di sela-sela menata meja makan. 

      "Kirin itu anak yang beda," kataku. 

      "Benar. Itu adalah salah satu yang membuatku agak tidak nyaman dengannya," jawab Zhang. 

      "Setelah ini akan ada sebuah kemajuan besar untuk kita berdua," kataku tersenyum. 

      Tuan Satsuma menghampiri kami setelah selesai membersihkan diri dan mengganti bajunya. Dengan pelan ia menjatuhkan tubuhnya di atas zabuton miliknya dan membuka minuman ringan berperisa jeruk manis. 

      "Bagaimana kuliah kalian hari ini?" tanya Tuan Satsuma. 

[ warning: karena ribet nyebut Tuan dan Nyonyanya… aku ganti dengan Ayah dan Ibu. ] 

        "Baik, Ayah. Ada banyak kegiatan hari ini," jawab Zhang. 

       "Syukurlah kalau baik-baik saja. Ayah turut senang, ini minumlah," gumam Ayah sembari menyodorkan dua kaleng minuman ringan. 

       Ayah mempunyai sebuah usaha makanan dan minuman, diberi nama dengan Satsuma Corporation. Produk yang dikeluarkannya bukan hanya minuman ringan berperisa jeruk melainkan ada beberapa minuman lain, seperti cola rapsberry dan semangka, wine herbal, selai, keripik, saus, makanan ringan, mie instan herbal dan sebagainya. 

        "Bagaimana kesan kalian begitu masuk di Soai?" tanya Ayah. "Dulu, Ayah juga mengambil jurusan kedokteran di Soai." 

       Zhang agak terkejut. "Ayah pernah mengambil ilmu kedokteran?" 

     "Benar." 

     "Tapi, kenapa Ayah tidak menjadi dokter?" Zhang menatap Ayah. 

      Ayah tertawa kecil, mengangguk. "Itulah anak muda… itu adalah contoh kecil bahwa di dunia ini latar belakang pendidikanmu tidak 100% berpengaruh untuk pekerjaanmu di masa mendatang. Bakat… dan niat lah yang akan 80% membantumu kelak." 

       Ibu datang membawa nampan berisi beberapa sayur dan nasi. "Makan malam sudah siap! Ayo, makan!" 

      Dengan sigap Zhang membantu Ibu untuk menata makanan itu di atas meja, dan setelah siap ia kembali ke zabutonnya. 

      "Wah… sup ikan dengan tomat hijau," gumam Ayah. "Makanlah yang banyak, Nak. Masakan ini sangatlah enak, cobalah…." 

      Aku melirik Zhang. "Ayo, makan." 

      Zhang yang agak memilih dalam hal makanan sedikit takut untuk mencicipi sup ikan tersebut. Ia tersebut dan menyendokkan nasi ke dalam mangkuknya. 

      "Ini sangat enak," ucap Ayah. "Kenapa? Apakah kamu alergi ikan?" 

       Zhang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Bukan, bukan begitu Ayah. Tapi, aku tidak pernah memakan ikan sebelumnya." 

      Dengan penuh kasih sayang Ibu mengambilkan sepotong daging dari ikan tersebut dan menaruhnya di mangkuk Zhang. Ibu tersenyum mempersilakan Zhang mencicipinya. 

      Aku mengedik dan melanjutkan makanku. "Ikan sumber protein terbaik, Zhang. Kamu harus mencobanya."

        Setelah acara makan itu selesai. Kirin datang menjemput kami berdua yang belum bersiap sedikit pun, Ayah dan Ibu menyambut Kirin sangat baik bahkan mempersilakan Kirin makan di sana. Namun, Kirin menolak karena sudah makan di rumahnya. 

       Aku segera berlari ke kamar dan mengganti pakaianku. Saat itu aku hanya mengambil gaun selutut berwarna peach dan corak bunga lily dengan balutan sweater super lembut berwarna putih. Tak lupa aku mengenakan kaus kaki milikku dan kembali turun. 

        "Apakah sangat lama?" tanyaku merasa tidak enak. 

       "Tidak, kok. Ayah dan Ibumu juga sangat asyik," kata Kirin. 

      Aku menghela napas lega, karena Kirin tidak merasa jenuh menungguku mengganti baju. Setelah dirasa cukup aku, Zhang, dan Kirin berpamitan pergi kepada Ayah dan Ibu dan akan pulang tepat pukul 8 malam. 

***

       "Antreannya lumayan panjang." Zhang melirik keluar saat baru saja selesai membersihkan tubuhnya di shower. 

      Aku mengikuti pandangannya. "Untung saja kita sudah lebih dulu ke sini." 

      "Hei… Lian. Apa kamu yakin kamu masih perawan?" 

      Aku agak terkejut dengan pertanyaan spontan dari Kirin. "A-apa maksudmu?" 

     "Tubuhmu ini bagus, apa kamu yakin belum pernah berkencan dengan pria? Bahkan Zhang saja sangat nafsu jika melihatmu," jawab Kirin tanpa pikir panjang. 

     "Nafsu gigimu, sudahlah… ayo, kita berendam. Keburu malam," ketus Zhang mendahului kami masuk ke bathtub kayu mahoni yang dikelilingi dengan lilin aroma. 

       Aku dan Kirin ikut menceburkan diri dan segera mengambil handuk hangat untuk diletakkan di kepala. 

       "Oh iya, aku juga ingin sedikit bercerita kepada kalian." Zhang memecahkan keheningan.

       "Apa?" balas Kirin. 

      "Kalian tau ruangan terlarang di lantai bawah, kan?" 

      "Tau," jawabku dan Kirin nyaris bersamaan. 

      Zhang menyandarkan tubuhnya ke dinding bathtub. "Kemarin aku melihat kamu Lian, di dalam sana." 

      "Aku?" 

      "Iya, kamu di dalam sana." 

       Aku mengernyitkan dahi. Heran, bingung dan merasa Zhang hanya sedikit mabuk karena sebelumnya meminum wine. Namun, Zhang melihatku dengan sangat serius dan penuh tanda tanya. 

      "Aku di dalam sana? Bagaimana cara aku masuk? Bukannya kemarin… seharian penuh aku bersama kalian terus?" balasku. 

      "Aku benar-benar tidak pikun. Aku melihat orang di dalam sana dan ia sangat mirip denganmu, Lian," kata Zhang. 

      Aku menggeleng. "Kamu bercanda?" 

      "Tunggu." Kirin menyela pembicaraan kami berdua. 

      Tentu saja kami berdua menatapnya penuh kebingungan. Kirin diam tampak sedang memikirkan sesuatu yang sangat sulit untuk dikatakan. 

      "Ruangan itu dulunya adalah sebuah kelas. Kelas sastra kalau enggak salah," ujar Kirin. 

       "Lalu kenapa ditutup?" balas Zhang. 

      "Aku tidak tau pastinya. Namun, menurut cerita beberapa orang yang kudengar ruangan itu ditutup setelah terjadi kejadian harakiri (bunuh diri )  di sana." 

       Zhang mengusap tengkuknya. "Bisakah kita membicarakan hal itu di siang hari? Ini sangat menyeramkan." 

      "Bunuh diri?" ulangku. 

      "Iya bunuh diri, aku tidak tau secara pasti apa penyebabnya tapi, setelah itu banyak orang yang kuliah malam dihantui oleh arwah gentayangan dari orang itu," kata Kirin memperjelas. 

       "Apa mungkin ia mengalami bullying?" tanyaku lirih. 

      "Mungkin saja, aku tidak tau dan merasa tidak perlu ikut campur dengan urusan itu. Oh ya, Lian… apa kamu pernah bertemu dengan ketua senat?" 

      Aku mengedik, menggeleng dan melepas handuk hangatku. Aku merasa ada sesuatu yang aneh ketika mendengar hal itu dari Kirin.  Aku merasa kasus itu ada hubungannya dengan hantu yang aku temui tadi pagi. Dan laki-laki itu… aku merasa ada aura yang aneh dalam tubuh orang itu. 

      "Hei… Lian, kenapa kamu diam saja?" celetuk Kirin. 

      "Tidak," ucapku. 

       Pria itu siapa? Apakah ia adalah psikopat yang melakukan pembunuhan di kampus itu? Ataukah dia hanya mahasiswa biasa yang kebetulan lewat di lobi itu. 

     "Ketua senat sangat tampan, dia juga masih jomblo," gumam Kirin. 

     "Apa yang kamu bicarakan?" tanyaku dengan nada tidak suka. 

      Braaakkk! 

      Sebuah suara yang cukup nyaring membuat kami bertiga terkejut bukan main. Suara tersebut berasal dari jendela yang ada di depan bathtub tersebut. Zhang berdiri dan mengecek apakah itu namun, ia menoleh dan mengatakan tidak ada apa-apa. 

       "Jangan berbohong. Apa itu?" keluh Kirin. 

       Dan saat itu aku merasa beberapa aura jahat sedang mengintai di hot spring itu. Aku buru-buru bangkit dan mengatakan ingin segera pulang kepada mereka berdua