4 Teman Yang Baik

"Maaf," tukas Alice.

"Iya!" Wanita itu menghentikan langkahnya, "ada apa?"  tanya si Wanita.

 

Alice tak menjawab pertanyaan Wanita itu. Karena kedua matanya masih terfokus kearah bercak darah yang ada di pakaian si wanita.

 

"Oh, aku lupa, kalau kita belum berkenalan," Wanita itu mengulurkan tangannya ke arah Alice.

 

"Namaku, Sea," ucapnya sambil tersenyum.

Alice ragu-ragu untuk menyambut tangan Sea. Tapi melihat senyuman manis dari Sea, membuat Alice akhirnya mau menjabat tangan lembut Sea. Sepertinya Sea adalah wanita yang baik, dan untuk masalah darah, dia tak perlu terlalu panik dan berpikiran berlebihan. Bisa saja Sea usai terluka atau mungkin itu hanya noda tinta.

 

"Hai, juga, Sea. Aku Alice," ucapnya.

Kemudian Alice mempersilakan duduk.

 

 

"Aku senang, akhirnya aku memiliki tetangga baru sepertimu," tukas Sea.

"Aku, juga. Dan semoga kita bisa menjadi teman baik ya," ucap Alice penuh harap.

"Tentu saja," Sea tersenyum lagi.

"Ah, kau bawa makanan banyak sekali?"

"Iya, Alice, aku membawanya untukmu. Aku tahu   pasti kau lelah dan belum punya banyak persediaan makanan. Perjalanan dari Oxford ke London itu lumayan jauh, terlebih kau juga harus membersihkan rumah, pasti kau lelah dan tak sempat membeli makan malam," tutur Sea.

"Ah, kau memang benar. Aku belum sempat membeli makanan, sekali lagi aku ucapkan terima kasih, Sea,"

"Sama-sama, Alice,"

 

Alice meneguk teh hangat buatan Sea, dan dengan lahap Alice juga memakan camilan yang dibawakan oleh Sea.

"Kau lapar ya?" tanya Sea.

"Iya, maaf, aku makannya terlalu lahap," jawab Alice.

"Tidak apa-apa, di rumahku juga masih banyak makanan kok, biar aku ambilkan!" Sea beranjak dari tempat duduknya.

 

"Stop!" Alice menghentikan Sea.

"Hem?" Sea menoleh, "kenapa?" tanyanya.

"Ah, Sea! Aku sudah cukup makan ini saja, kau tak perlu mengambilkan lagi untukku," ucap Alice.

"Tidak, apa-apa, biar aku ambilkan!" Sea tetap akan pergi untuk mengambilkan makanan untuk Alice

Hingga Alice kembali melihat bercak darah yang ada di bagian pakaian Sea.

 

"Ah, Sea ...."

"Ya?" Sea kembali menoleh.

"Itu darah apa?"

"Darah?" Sea melihat bagian pakaiannya.

"Ah," Dia tertawa sedikit. "Aku baru saja membuat jus stroberi, tak sengaja aku menumpahkannya," jelas Sea.

 

"Jus stroberi?" Alice tidak percaya, karna tekstur warna stroberi dan darah itu tidaklah sama. Ada sedikit perbedaan jika diperhatikan.

 

"Oh, bukan stroberi, tapi ... aprikot," ujar Sea.

Dia mulai tampak aneh, Alice sedikit curiga, tapi Sea berhasil menetralisir keadaan yang mulai tak enak.

 

"Eh, Alice, kau tinggal sendiri? Di mana suamimu?"

"Ah, suami ...," Alice terdiam sesaat. "Aku baru saja bercerai dengan suamiku," jawab Alice.

"Awwh, benarkah?" Entah mengapa Sea terlihat bahagia.

Alice sempat melihatnya, tapi Sea, langsung merubah ekspresinya.

"Ah ... aku turut, prihatin mendengarnya, tapi kau tidak perlu merasa sendiri di sini, karna aku pun juga seorang janda," ujar Sea.

"Janda?"

"Iya! Dua bulan yang lalu suamiku meninggal karena kecelakaan," tutur Sea seraya menunduk.

 

Hati Alice, tersentuh, dia turut bersedih mendengar cerita Sea.

Ternyata kehidupan rumah tangga Sea, tak kalah buruk dengan kehidupannya.

"Sea," Alice memegang pundak Sea, "aku juga turut prihatin, atas peristiwa yang menimpa suamimu," kata Alice.

Sea mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, tapi aku baik-baik saja, ini sudah menjadi takdirku," tukasnya.

 

Setelah itu Sea pergi dari rumah Alice lalu dia kembali lagi dengan membawakan sebuah pancake dan beberapa sandwich.

 

"Wah, kau banyak sekali membawa makanan untukku," tanya Alice.

"Ah, dari pada di rumah tidak ada yang makan," sahutnya.

"Kau juga tinggal sendiri?"

Sea mengangguk, "Iya,"

Alice juga mengangguk mengerti sambil tersenyum.

"Aku bersyukur bisa menjadi tetanggamu, kupikir, kita akan menjadi teman yang baik," ucap Alice

"Tentu saja!" jawab Sea.

 

"Sebenarnya, aku tidak murni sendiri, kadang-kadang, anak dan mertuaku datang untuk menengokku," tutur Sea.

"Wah, ternyata anakmu ikut dengan mertuamu?"

"Iya,"

"Maaf, Sea, lalu kenapa tidak kau asuh sendiri saja anakmu. Dengan begitu bukankah kau tidak akan merasa sendiri lagi?"

 

"Yah, memang benar katamu itu, Alice, tapi putriku Clara lebih nyaman tinggal bersama kakek dan neneknya, aku hanya ingin putriku, hidup nyaman. Lagi pula aku juga merasa nyaman tinggal sendiri," jelasnya.

 

"Wah, kau itu wanita yang luar biasa, Sea! Ku pikir hidupku ini sangat berat, tapi ternyata kehidupanmu jauh lebih berat dariku, tapi kau bisa menjalannya dengan ringan tanpa beban, yang artinya kau adalah wanita yang kuat," puji Alice.

"Yah, tentu saja aku wanita yang kuat, dan tak ada satu orang pun dapat menandingiku, semua orang di sini, aku yang mengendalikannya!" jelas Sea.

"Hah!?" Alice sedikit tercengang dan tak mengerti apa maksud dari ucapan Sea.

 

"Eh, kau itu lagi-lagi menanggapiku terlalu serius, aku hanya menghibur diriku sendiri Alice. Ucapanku tadi hanya bercanda, tapi kalau soal kematian suamiku dan tentang kehidupan putriku, memang benar!" jelas Sea.

 

"Haha! Aku kena lagi, habisnya kau itu terlalu misterius dan seperti wanita yang menyeramkan," ledek Alice.

"Ah, benarkah? Haha!" 

 

 

 

Tak terasa malam kian larut, lalu Sea berpamitan dengan Alice. Alice mengunci pintunya rapat-rapat  dan dia pun mulai beristirahat.

 

Esok harinya, dia bangun lebih pagi dan segera mempersiapkan diri untuk pergi ke restoran, tempat di mana Felix bekerja.

Alice begitu antusias,  ini adalah hari pertamanya kerja.

 Alice hendak pergi dengan menaiki sepeda milik Felix yang sengaja dipinjamkan untuknya.

Letak restoran itu tidak terlalu jauh, namun Alice ingin datang lebih awal  dan  ingin memberi kesan baik di hari pertamanya bekerja.

 

Saat dia baru keluar dari halaman rumah, Alice dikejutkan oleh seorang wanita muda yang memiliki keterbelakangan mental, menghampirinya.

Wajah wanita itu penuh luka lebam. Sepertinya wanita itu membutuhkan pertolongan.

Alice mendekat, "Halo, kau kenapa? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Alice.

Wanita itu berbicara dengan bahasa isyarat, ternyata dia adalah seorang tuna wicara.

Alice tak tahu maksud dari ucapan wanita itu.

Dan tak lama, Sea keluar, seperti biasa dia tersenyum dengan ramah.

"Kau kenapa?" tanya Sea seraya memegang lembut pundak wanita itu.

Wanita dengan keterbelakangan mental dan seorang tuna wicara itu menggelengkan kepalanya seakan ketakutan melihat Sea.

 

"Alice, kau pergi saja, biar aku yang menolongnya. Aku takut kau telat masuk kerja, kau harus memberi kesan yang baik di hari pertamamu bekerja," tukas Sea.

 

 

 

 

 

To be continued

avataravatar
Next chapter