1 DUA GARIS BIRU

"Kamu mabuk lagi, Mas?" todongku dengan nada tinggi.

Gerry Santoso, lelaki yang berstatus sebagai suamiku ini pulang dengan kondisi mabuk. Entah keberapa kalinya dia menampakkan wajahnya yang mabuk ketika pulang.

Dan jawabannya selalu sama. "Kamu tahu, Dinda ... Bosku itu orang Jerman. Dia selalu mengajak kami makan malam atas keberhasilan kantor. Mana mungkin aku menolaknya?"

Aku mendengus tajam.

Gerry bekerja di salah satu perusahaan ponsel yang terkenal di Kota. Lelaki itu sebagai Sales Manager yang andal dalam melayani klien-klien baru. Dengan posisi dan jabatannya, dia memang mendapatkan gaji yang cukup besar, tetapi bukan berarti dia harus mabuk tiap waktu!!

Membiarkan dia masuk ke dalam kamar begitu saja. Aku bahkan sudah muak dengan perilakunya ketika mabuk. Mana mungkin aku melayaninya –melepaskan kaus kaki atau apa pun penuh dengan kasih sayang!

Dih, jangan harap!!

Aku pun kembali meneruskan pekerjaanku di depan laptop. Sebagai penulis naskah drama, aku harus menyetorkan tugasku sesuai tenggat untuk diperiksa oleh editor dan juga produser. Tak ada waktu untuk melayani suamiku yang suka mabuk itu!!

Dan malam itu, aku habiskan dengan menulis naskah skenario yang ada di otakku.

Pada pagi harinya, dia bangun seolah tanpa dosa, langsung memelukku dan mengecupi leherku sebagai tanda permintaan maaf. Aku yang sedang memasak pun agak kesal karenanya. "Cuci muka dulu. Kamu bau alkohol, Mas." tukasku.

Dia agak manyun, lalu mengecupi leherku kian intens. "Ayolah, Dinda ... Sudah berapa lama kita tidak bermain bersama? Aku ini suamimu..."

"Aku tahu, Mas. Tapi ini sudah pagi. Mana mungkin kita melakukannya pagi-pagi? Apalagi sebentar lagi kamu harus berangkat kerja."

Lelaki itu tampak sebal. Ia menghela napas panjangnya. Lalu, pergi ke kamar mandi dengan wajah yang cemberut.

"Salah sendiri mabuk!" kataku mengomel lagi.

Tetapi, dia malah menarik tubuhku dengan tertawa. Lalu, mengayunkan tubuhku supaya ikut masuk ke dalam kamar mandi. "Bagaimana kalau kita mandi bersama? Bukankah itu menyenangkan?"

Dia tertawa-tawa saking bahagianya. Dia lalu memainkan rambutku. Membuatku mabuk kepayang pada dirinya.

Aku tidak bisa lagi menahan pesona Sang Gerry Santoso. Lelaki itu memang sangat luar biasa. Ia memiliki perawakan yang tinggi semampai, hidung yang mancung, bibir tipis yang menggoda.

Tidak ada yang mampu menolak ketampanannya. Bahkan seluruh sahabatku mengakui, kalau Gerry adalah 'tangkapan yang bagus'. Mapan finansial, tampan, dan tentunya baik hati.

Tidak ada kekurangan apa pun...

Aku mengecup bibirnya dengan lembut. Sementara dia justru makin menggila karena kecupan bibirku. Lelaki itu makin menarikku jauh ke dalam hasrat dan nafsunya. Sampai akhirnya ... Aku dan dirinya memadu kasih di pagi itu.

"Aku tidak masalah terlambat, Dinda. Karena aku sudah memilikimu pagi ini." katanya di sela hasrat yang membara. Membuatku semakin gila karenanya.

* * *

Saat sarapan pagi, lelaki itu pun tersenyum kepadaku. Sungguh, senyumannya begitu meluluhlantakkan hatiku. Dia lalu mengelus perutku. "Kemarin kamu sudah ke dokter? Katanya kamu telat menstruasi, kan?"

"Ah, iya. Aku telat datang bulan. Tapi, waktu aku priksakan ke dokter ..." Aku menggelengkan kepala. Senyuman pahit terpias di wajahku.

Selama aku hidup sebagai Dinda Kamelia, aku memang tak pernah punya kekurangan sama sekali. Bahkan kehidupanku berjalan dengan mulus.

Aku lulusan terbaik di Fakultas Seni dalam Jurusan Sastra Inggris. Keluargaku juga kaya raya. Ayah dan ibuku sebagai pemilik restoran dengan cabangnya yang sudah meluas tersebar di seluruh negeri.

Jangan tanyakan berapa jumlah uang yang masuk ke rekeningku, aku ini anak tunggal. Dan keuntungan bisnis keluargaku turut dikelola olehku.

Pssst. Belum lagi hasil pekerjaanku sebagai penulis naskah film dan drama.

Semuanya, dalam kehidupanku ini sempurna. Kecuali dengan kondisi rahimku.

"Aku nggak tahu, Mas. Udah tiga tahun kita menikah, tapi aku belum hamil. Apa kita coba adopsi anak saja?"

"Kata orang, adopsi anak bisa jadi pancingan, lho." kataku menjelaskan.

Gerry hanya tersenyum masam. Dari mimik wajahnya, dia tidak setuju. "Jangan dulu, Dinda. Aku belum bisa kalau harus menjaga anak orang lain."

"Kalau gitu, gimana kalau kita ke dokter kandungan lagi? Kita periksakan kondisi rahim kamu—"

"Mas." aku menyela. Sudah tak terhitung jumlahnya aku memeriksakan kondisi rahimku dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Hasilnya tetap sama. Aku tidak mandul.

"Baiklah-baiklah, Sayang. Maafkan aku. Sekarang, aku mau berangkat kerja dulu, ya. Baik-baik di rumah." Gerry mendaratkan ciumannya lagi ke bibirku, ditambah pipiku. Membuatku merasa melayang karena ciumannya yang mesra ini. Aih, Gerry memang lihai dalam urusan ranjang.

Lelaki itu pun pergi dari hadapanku. Senyumanku belum mengabur meski sosoknya sudah pergi. Pipiku bahkan masih meranum, membayangkan lelaki itu dengan sikap intimnya kepadaku.

Kulangkahkan kakiku kegirangan menuju ke kamar mandi. Aku berniat mencuci pakaian suamiku. Meskipun aku ini tergolong orang yang berada, aku tidak menyewa pembantu. Aku merasa masih mampu untuk menangani semua urusan rumah tanggaku dengan Mas Gerry.

Tatkala aku memeriksa pakaian suamiku, aku pun kaget. Dikantungnya ... Aku menemukan sebuah benda yang tidak semestinya berada di sana.

Dan itu adalah ... Testpack.

Aku menelan ludahku, kuberanikan diri untuk melihat testpack itu. Jantungku pun mencelos, serasa jatuh dari tempatnya. Karena apa?

Karena ... Testpack itu memiliki dua garis biru.

Karena penemuan itu ... Seluruh kehidupanku yang sempurna pun hancur berantakan.

* * *

avataravatar
Next chapter