11 Perasaan Aneh

Malam harinya aku bersiap untuk tidur. Kiana mengizinkan kami berdua untuk menginap di sini. Seperti biasa Kiana sedang membaca novelnya di kursi belajar. Mia tiduran di atas ranjang sambil bermain ponsel. Sedangkan aku, duduk bersila di bawah sambil makan camilan Kiana.

Tak lama, Kiana menyimpan novelnya. Lalu ia beranjak ke lemari pakaian setelah melihat jam di tangannya.

"Mau ke mana, Ki?" tanya Mia saat sadar Kiana mengambil jaketnya di lemari pakaian.

"Ke minimarket sebentar," jawabnya sudah siap untuk pergi.

"Ikut, ya," ucap Mia ingin ikut.

"Terserah," respon Kiana sambil pergi ke luar kamar.

"Ikut gak, Cha?" tanya Mia padaku.

"Nggak, gue di sini aja," jawabku karena malas untuk berpergian.

Mia langsung melompat dari tempat tidur dan berlari mengejar Kiana yang sudah keluar kamar.

Lebih baik menunggu di sini, daripada pergi keluar, kan. Aku masih memakan camilan Kiana di toples.

"Aah ... aah ... aah ...." Samar aku mendengar desahan dari arah kamar sebelah. Tunggu, itu suara apa? Ya ampun, seharusnya tadi aku ikut dengan mereka.

Sepertinya hubungan kakak Kiana dengan pacarnya memang sudah terlalu jauh.

TING!

Ponselku menyala, tanda ada pesan masuk dari seseorang. Aku langsung membuka layar kunci dan melihat siapa yang mengirim pesan.

-Pak Haris-

[Nisa, kamu sedang di mana?]

Ya ampun, yang mengirim ku pesan ternyata Pak Haris. Aku langsung mengetikkan balasan dengan cepat.

-Anisa-

[Saya lagi di apartemen Kia, pak]

-Pak Haris-

[Lagi ngapain di sana?]

-Anisa-

[Saya mau menginap, Pak]

-Pak Haris-

[Ooh, begitu]

[Sebenarnya sekarang saya sedang di apartemen kamu]

[Kebetulan saya lewat sini, dan tadinya ingin mampir]

-Anisa-

[Maaf ya, pak]

[Saya tidak sedang di apartemen]

-Pak Haris-

[Iya, tidak apa]

[Kalau begitu, saya pulang dulu]

[Selamat malam]

-Anisa-

[Selamat malam, Pak]

Kok Pak Haris tiba-tiba chat, ya? Padahal tidak ada hal yang penting. Terus apa maksudnya dia ingin mampir? Aaa, jadi geer, kan aku.

Aku lihat tidak ada pesan masuk lagi dari Pak Haris, tapi aku terus menatap layar ponsel, lebih tepatnya menatap isi chat aku dan Pak Haris. Ya ampun, wajahku panas. Pasti wajahku semerah tomat.

Aku teriak tertahan karena tidak mau menyebabkan suara bising. Mungkin lebih tepatnya, tidak mau mengganggu aktifitas mereka.

Aku menggigit jariku keras, sebagai tanda emosiku. Tidak peduli jika itu akan membekas.

"Lu kenapa?" tanya seseorang yang aku hapal suaranya.

Aku menoleh ke arah pintu. Ooh, mereka sudah pulang. "Gak apa, cuman seneng aja," jawabku senang.

"Lu gila?" tanya Mia sarkas, lalu duduk di sebelahku.

"Cih, iri bilang," ucapku tak kalah sarkas.

"Ngapain iri sama lu?" Mia mengambil minuman botol di dalam kresek dan membukanya.

"Nih, buat lu." Kiana menyerahkan kantong kresek padaku, yang berisi keripik kentang, coklat, dan minuman botol.

Ia lalu duduk di sebelah Mia.

"Makasih," ucapku tulus yang sama sekali tidak dibalas olehnya.

Aku mengambil minuman botol, langsung membukanya dan meminumnya.

"Apapun yang lu denger tadi, pura-pura aja suara itu gak ada," ucap Kiana setelah ia meminum minumannya.

Aku menatap Kiana sekilas, lalu mengangguk mengerti. "Iya, aku mengerti."

Sepertinya Mia sudah diberi tahu Kiana, karena terlihat dia tidak menanyakan apapun tentang apa yang dimaksud Kiana.

Mungkin, ia masih tetap ingin merahasiakan sesuatu.

---

Paginya, kami bertiga pergi menemani Kiana pergi ke rumah orangtuanya di luar kota. Kami bertiga memakai mobil Kiana. Kakaknya yang menyetir, Kiana duduk di kursi depan, aku dan Mia duduk di kursi kedua.

Pacar kakaknya tidak ikut, dia bilang ada urusan dengan bisnisnya. Dasar pria aneh, kemarin saja seharian diam di kamar, tapi saat diminta menemui orangtua pacar malah alasan ada urusan.

Aku melihat ke arah luar jendela. Memperhatikan jalanan yang dilewati. Kami sudah masuk jalan tol, jadi tidak macet. Kiana menyalakan radio untuk memecah keheningan. Aku melihat hubungan ia dan kakaknya tidak terlalu baik.

"Cha, liat cowok ini," ucap Mia sambil menunjukkan ponselnya padaku.

Aku menoleh dan memperhatikan foto laki-laki yang terpampang di instagram. "Kenapa?"

"Ganteng gak?" tanya Mia meminta pendapat.

"Lumayan," jawabku.

"Dia adeknya Kenan," jelasnya kembali menatap layar ponselnya.

"Kenan siapa?" tanyaku tidak tahu.

"Pacar gue," jawabnya santai.

"Kok gak mirip?"

"Adek tiri lebih tepatnya."

"Ooh ...."

Aku lihat Mia tersenyum-senyum tidak jelas sambil menatap layar ponselnya.

"Jangan bilang, lu ada niat ingin deketin dia," tebakku memastikan.

"Kok tahu sih?" tanyanya sambil melihat ke arahku sekilas.

"Gila ya, lu," teriakku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Mia.

"Nggak kok, gue masih waras."

Ya ampun, Mia benar-benar gila. Padahal ia baru saja berpacaran dengan pacarnya yang sekarang, tapi ia malah berniat ingin mendekati adik tiri pacarnya.

Aku kembali menatap keluar jendela. Tapi, jika dipikir-pikir, aku juga gila. Mencintai pria yang sudah beristri. Ais, kenapa sih harus begini. Kiana mempermainkan para pria, Mia ganti-ganti pacar, dan aku mencintai pria beristri. Kami bertiga memang cocok.

---

Sekitar tiga jam akhirnya kami sampai di rumah orangtua Kiana. Kami langsung keluar dari mobil. Hanya Kiana dan kakaknya yang mengeluarkan koper mereka dari bagasi.

Aku dan Mia tidak membawa apapun, karena tadi kami tidak menyimpang ke apartemen masing-masing hanya untuk sekedar membawa pakaian. Kiana bilang, pakaian kami bisa dibeli di kampung halaman Kiana.

Kami mengikuti langkah Kiana dan kakaknya. Mobil diparkir di depan minimarket di sebelah gang sempit. Saat diujung gang, terlihat jelas sawah-sawah menjulang luas.

Ya ampun, aku tidak tahu jika kampung halaman Kiana itu di desa. Tidak seperti kehidupannya di kota, yang kupikir ia anak CEO.

Tak sengaja pandangan aku dan Mia saling menatap satu sama lain, dan langsung memalingkan wajah.

Kami berhenti di depan gerbang besar berwarna putih. Lalu perlahan membuka gerbang itu dan masuk ke halaman rumah.

Jika dilihat-lihat, halaman rumah ini besar, dan di depan sana ada rumah besar yang tampak mewah. Apa ini rumah Kiana? Kurasa orang yang tinggal di rumah besar itu adalah orang penting.

"Mbok, Tiana datang," teriak kakak Kiana sambil mengetuk pintu berkali-kali.

Tak lama pintu besar di hadapan kami terbuka. "Neng Tiana, Neng Kiana, Neng sudah datang, ayo masuk," ucap wanita yang terlihat sudah tua itu dengan sopan.

Kiana langsung masuk dan disusul oleh kami. Wanita tua itu langsung menatapku dan Mia, dengan tatapan bertanya.

"Mereka temanku, Mbok," ucap Kiana tanpa melihat ke arah wanita tua itu.

"Ooh, iya. Baik, Neng." Wanita tua itu membungkuk sopan langsung mengerti.

Di mana-mana, Kiana memang bersifat dingin ya. Sebenarnya ia itu keturunan siapa? Mamah Kiana yang pernah bertemu denganku, sangat jauh sifatnya dengan Kiana. Wanita itu terlalu cerewet untuk memiliki anak seperti Kiana yang tidak banyak bicara.

avataravatar
Next chapter