1 Bab 1. Ultimatum Sang Ayah

Suara guntur menggelegar beruntun menyentak dan memekakkan anak telinga siapa saja yang mendengarnya. Andika duduk terdiam dimeja makan yang sebelumnya penuh dengan ayah, ibu tiri dan dua adik tiri kecilnya. Namun saat ini hanya tinggal dirinya sendiri di meja makan dan terpaku menatap nanar piring nasi yang baru sesuap mengisi perutnya. Baru saja ketika ingin menyendok suapan kedua, tangannya berhenti tatkala sang ayah dengan bicaranya yang pelan tapi membawa seperti maut, ayahnya mengultimatum, ayah menghentikan semua pasokan keuangan dan tunjangan kuliahnya. Andika membeku dan sendok makannta diletakkan kembali agak keras.

"klontang...!"

Tiba tiba suasana rumah yang biasanya ramai oleh celoteh dua orang adiknya si centil Yani dan si perusuh Refi, kini sunyi senyap. Yani yang ceria memiringkan kepalanya lucu," Ban Dika napa Unda? malah ya?" tanyanya cadel dengan mata bulatnya. Buru- buru ibu tirinya menarik Yani dan Refi menyingkir ke depan tv, tidak jauh dari ruang makan. Semua berhenti dan memandang Andika dengan diam. Ayahnya baru saja memberi sebuah ultimatum, berita yang menyentakkan semua orang diruangan itu, terutama Andika, ultimatum yang membuat darah panasnya menggelegak seketika dan ia mengangkat wajahnya hendak menjawab kata-kata sang ayah dengan kata-kata pedas seperti yang telah ia lakukan enam tahun belakangan ini.

Tepatnya sejak ia duduk di bangku SMA kelas satu. Ia mulai bikin ulah. Bolos, cabut, ngetrek, tidur dikelas dan membangkang. Namun mulutnya seketika bungkam ketika sekilas pandangannya menatap bayangan air dimata ayahnya. Tiba - tiba saja ia menyadari betapa garis-garis ketuaan dan kelelahan begitu banyak menghiasi wajah sang ayah melebihi batas umurnya yang belum melebihi 55 tahun. Kenapa baru sekarang dilihatnya kelelahan itu? Selama ini yang dilihatnya hanyalah ayah yang sombong. Selelah itukah ayahnya? Dan bayangan titik air mata yang jatuh itu tidak sempat ia lihat jelas karena sang ayah telah beranjak meninggalkan ruang makan diikuti ibu tirinya serta dua orang adiknya yang nampak bersedih. Darahnya yang mendidih serta keringat yang serasa membanjiri, tiba - tiba hilang berganti dengan kelesuan dan keterkejutan di sudut hati yang telah ditutupnya rapat selama ini. Tertutup bagi sang ayah dan ibu tirinya.

Setelah terdiam beberapa lama, jantungnya seperti kehabisan darah untuk dipompa. Andika juga beranjak perlahan menuju kamarnya di lantai 2.

Tubuhnya terasa lemas, sendi-sendinya serasa mau lepas ketika sang ayah berpaling dan tidak mau memandang wajahnya lagi. Padahal selama ini dialah yang begitu sombong dan angkuh ketika berbicara dengan ayahnya yang selalu kerepotan dengan ulah kenakalannya selama ini. Ayahnya selalu mencukupi kebutuhannya terlepas dari semua kenakalan yang telah ia lakukan. Biaya kuliah, uang saku, motor besar dan lain kebutuhan seorang anak kesayangan, semua didapatnya dari sang ayah walaupun selalu diselingi dengan keributan dengan ibu tirinya yang menurutnya terlalu dibela oleh sang ayah.

Andika duduk dengan lesu diranjangnya. Mengingat ultimatum ayahnya yang menyerah pada kuliah yang telah setahun ditinggalkanya diam-diam karena sibuk bermain main dengan kelompok pecinta alamnya

Padahal dia sudah berada di semester ke tujuh, yang artinya, seharusnya sebentar lagi atau setidaknya 1 atau 2 tahun lagi ia sudah akan menamatkan kuliahnya di fak. teknik geofisika.

----Seharusnya....jika ia tidak terus menerus absen dan bermain-main di club pendaki gunungnya

----- seharusnya ia sudah mulai persiapan menyusun skripsinya.

Tapi itu adalah bisikan dari dalam hatinya yang paling dalam, dan itu juga yang dikatakan sang ayah sebelum ia mengultimatum Andika.Di tambah bisikan sendu sang ayah, " Nak, ayah sudah menyerah padamu. ini bukti transfer terakhir ayah untukmu. Sebagai modal hidupmu, selanjutnya terserah kamu mau bagaimana."

Ayah yang begitu menyayanginya, tapi dibenci oleh Andika. Ayah yang selalu terkejut dan kelelahan menghadapinya. Namun tidak pernah disadarinya selama ini. Air mata sang ayahnya menyibak dinding kesombongannya. Tidak ada bentakan dan hardikan seperti biasa, bahkan tamparanpun tidak berpengaruh bagi perilakunya selama ini. Tapi hari ini? Ayah hanya bicara pelan hampir berbisik. Lalu berpaling dengan bahu yang turun seperti bebannya sangat berat.

Andika terhenyak, hatinya terkejut. Apakah ini waktunya ia dibuang ? Selama ini ia selalu berfikir sebaiknya ia diusir saja dari rumah ini. Tapi membiarkan ibu tirinya hidup tanpa gangguan darinya, membuat ia mengurungkan niat untuk kabur. Yah...ia memang membenci ibu tirinya. Walaupun ia tau kadang2 ibu tirinya mencoba untuk akrab dengannya, tapi selalu mendapatkan cemoohan dari dirinya yang menyebabkan pertengkaran demi pertengkaran terus timbul. Semua kebanyakan adalah karena ulahnya. Jadi sebenarnya ini adalah buah dari kesalahannya sendiri. Dia tau itu dan memang menyadari. Tak pernah disangkanya ayahnya akan sampai ditahap ini. Dia merasa seperti di usir sekarang.

Andika beranjak perlahan seperti orang linglung. Ia berjalan menuju kamarnya di lantai dua, duduk diatas kursi belajarnya menghadap jendela. Di luar hujan turun dengan lebatnya. Langit gelap dan terasa suram seperti hatinya saat ini. Ayah dan ibu tirinya beserta dua adik kecilnya sudah mengunci pintu kamar mereka dan tidak ada suara dari bawah. Andika merasa ia ditinggalkan sendirian tanpa seorangpun peduli padanya lagi. benarkah? Selama ini bukankah dia yang selalu acuh pada mereka? Kecuali dua adik kecilnya. Ia hampir tidak pernah bicara dengan para penghuni rumah ini.

Andika berjalan mendekat ke jendela. Memandangi hujan lalu lamunannya terusik ketika bunyi hp nya mendadak membuat ia tersentak. Layar hp menampakkan foto Rudi, sahabat club pecinta alamnya yang relijius, setidaknya itu pendapat teman-temanya satu club, karena hanya Rudi yang melakukan sholat dikelompok mereka. Baik ketika lagi nongkrong di kantin atau kemping di puncak gunung. Ia sepertinya tidak pernah melewatkan waktu sholatnya. Di keningnya ada tanda titik hitam yang menakutkan, setidaknya Andika berpikir begitu. Menurut mereka dia itu memang aneh. terkadang pada waktu-waktu tertentu Rudi menghilang selama satu atau dua minggu. Entah kemana, mereka tidak ada yang tau. Dan mereka juga tidak ambil pusing. Paling dia mondok atau pulang kampung soan ibunya.

Ditekannya tanda terima pada screen hp samsung S6 nya,

"Hai bro, lo dimana. anak2 udah pada ngumpul nih, " suara Rudi terdengar ceria diseberang sana yang dilatari suara dan celetuk teman-teman satu clubnya.

Andika menghela nafas berat. Dia terdiam sejenak, "Gua nggak ikut bro. lagi males." imbuhnya.

"Apa! emang kenapa? eh...suara lu kok lesu amat. buruan kesini. ikut gak ikut lo kesini dulu pokoknya. Ada anggota baru nih. cewek bro. cakep. cepetan ya..." tuut tuut. Tanpa menunggu jawaban Andika, Rudi memutuskan sambungan. Andika menatap hpnya dengan malas dan setengah kesal. Tapi daripada dia terpuruk dikamarnya seperti ini. Lebih baik dia bergabung dengan mereka. Maka semenit kemudian Andika menyambar kunci kontak motornya dan jaketnya, melaju kencang menuju kampus tempat konconya nongkrong.

avataravatar
Next chapter