1 Exposed On Videocall

“Buka.”

Suara pria itu pelan saja sebetulnya. Tidak disampaikan dengan nada tinggi atau membentak atau jengkel. Yang jelas intonasinya dalam dan sedikit ada unsur merayu di dalamnya. Sang wanita terdiam. Ia masih nampak ragu. Ada sesuatu yang pria itu minta dan ia ragu melakukannya. Keringat yang tadinya hanya muncul malu-malu di spot tertentu wajahnya kini semakin banyak bermunculan. Libido. Itu jadi penyebabnya. Hal ini terlihat pria yang menjadi lawan bicaranya dimana keduanya tengah berkomunikasi melalui video call.

“Ayoo,” sang pria, kekasihnya, membujuk. “Lama amat sih ngelakuinnya?”

Sang wanita mendegut ludah susah payah. Ia betul-betul galau sehingga membisu lagi untuk sekian lama. Kendati libidonya sudah terobrak-abrik sejak tadi, secuil logika masih memampukannya menolak permintaan yang dianggapnya keterlaluan itu. Gawai ponsel yang ia pegang sempat terjatuh ke permukaan ranjang dimana ia sedari tadi berbaring. Sang pria terus berjuang. Membujuk sang wanita melakukan apa yang ia mau.

“J-jhanganh,” kata si wanita susah payah di tengah dengus nafas yang menggebu. “Malu. Aku… aku…. Malu… “

“What?”

“Tha-kut ke-tahuanhh…”

“Ayoooo,” sang pria tak mau tahu. Kendati tak nampak di layar, sedikit gerakan tangannya menunjukkan bahwa ia tengah sibuk mengelus-elus sesuatu di bagian bawah perutnya. “Ketauan apa? Ketauan siapa? Nggak apa-apa koq. Tenang aja. Aku gak ngapa-apain untuk ancurin kamu. Swear!”

“Tapi…”

“Tapi apa?”

“Takut diliat orang.”

“Ck ah… Kamu mulai bikin aku jengkel.”

“Li-at b-begini aja.” Si wanita menawar dengan menyentuh dada.

“Nggak. Ayo dooong kamu juga ngerasa enak kan?”

Sang pria tetap bersikukuh menolak. Malam itu, saat itu, di tengah gairah yang menggelegak hingga ujung kepala, ia ingin mendapatkan sebuah pertunjukan yang lebih bergelora di banding sebelumnya.

“Beb, kamu masih butuh bantuan aku kan?” Sang pria mendengus. Tak puas. “Aku pingin liat yang lain.”

“Liat a-pa?”

“Menurutmu apa?” Dengan berbisik keras, di depan mikrophone ponselnya si pria balik bertanya. “Kalo nggak, aku bisa bantu kamu.”

Si wanita ragu. Mulai terisak. Ia berada dalam batas terjauh yang memungkinkan. Ia dengan pria itu terpisah jarak hampir seribu kilometer karena sang pria berada di lain kota. Yang jelas kondisi itu lama-kelamaan membuat keduanya tenggelam dalam hasrat rindu yang menggelegak setelah sekian lama terpisah. Beruntung, sebuah temuan teknologi bernama video call membuat keduanya dapat melepas rindu.

Sekitar sepuluh hari lalu keduanya melepas rindu. Dengan alasan ingin melakukan kiss-bye, panggilan berlanjut dalam bentuk video call. Ini tak mendatangkan masalah bagi sang wanita. Namun sekian hari kemudian, pada vidcall kedua, sang pria mulai berani meminta sang wanita untuk tampil vulgar dengan menunjukkan buah dada.

Jelas ditolak. Ada resistensi. Tapi sang pria sepertinya memiliki sebuah kartu truf yang membuat rayuannya meruntuhkan iman sang wanita. Ia pun mengalah. Hingga pada akhirnya mengambil langkah berani untuk tampil topless.

*

Sebulan sebelumnya.

Malam bergerak makin larut. Di ruang kerja di dalam rumah besarnya, Viona galau. Sudah dua jam ini ia menekuni puluhan lembar catatan, jurnal, laptop, lembar tagihan dan yang lainnya dan output yang didapatkan membuat dirinya kecil hati.

Matanya lemas melihati deretan angka terpanjang di layar laptop. Hingga kwartal ketiga tahun ini, perusahaannya rugi lebih dari seratus milyar. Ia tidak mungkin salah hitung. Angka itu malah mengkonfirmasi temuan audit eksternal. Ia memijit keningnya yang mendadak pening.

Sialan.

Ia merebahkan badan. Bersandar di sofá dengan mata menerawang langit-langit rumah. Mencoba untuk menenangkan pikiran, hal itu malah membuat dirinya makin galau. Betapa tidak, langit-langit rumah menunjukkan betapa rumah tempat dia dan ibunya tinggal – setelah ayahnya wafat setahun lalu – butuh banyak perbaikan. Ini menambah daftar biaya yang sudah ada sebelumnya. Biaya pengobatan sang ibunda, perbaikan saluran air, taman, kendaraan, dan entah apa lagi. Itu belum termasuk hutang-hutang yang sebentar lagi jatuh tempo. Hutang-hutang warisan ayahnya atas nama PT. Golden Enterprise, perusahaan yang kini dalam kendalinya. Perusahaan yang sempat jaya raya namun kini diambang keterpurukan karena sengkarut bisnis dengan perusahaan lain. Sebuah perusahaan saingan, perusahaan jasa ekspor-impor Mintarja Grup, yang sempat menjadi mitra sebelum kemudian berbalik menusuk perusahaan ayahnya.

Viona semakin membaringkan diri dalam sofá. Bayangan masa lalu kini menghias benak. Masih teringat jelas betapa hebatnya GE di masa lalu. Sebuah perusahaan jasa pergudangan, angkutan ekspor-impor dengan seratusan armada truk container. Di masa itu, GE adalah perusahaan logistik yang cukup disegani. Ia benar-benar di puncak kedigdayaan dengan hanya segelintir perusahaan pesaing. Masa depan terasa begitu cerah karena sang ayah segera meneruskan tongkat estafet kepemimpinan kepada dirinya sebagai anak tunggal, segera setelah ia menamatkan pendidikan Manajemen di Boston University, Amerika Serikat.

Di usia ke-25, menjelang kepulangannya, musibah terjadi. Dua tahun sebelum Viona pulang kembali ke Indonesia, sang ayah rupanya bekerjasama dengan perusahaan lain yakni Mintarja Grup. Bersama-sama mereka kemudian mengajukan penawaran pada sebuah proyek pemerintah dengan valuasi 14 digit. Setelah serangkaian proses berbelit dan melelahkan, kolaborasi kedua perusahaan dinyatakan memenangi tender.

avataravatar
Next chapter