webnovel

TERPERANGKAP PESONA CEO (20)

Maaf, ini intronya aja yang serius, coba deh baca tiga bab pertama. *** Apa yang akan terjadi bila ayah sahabat masa kecilmu adalah dalang dibalik hancurnya keluargamu? Nayla, seorang gadis yang berteman dekat dengan Reza, mengalami amnesia setelah kecelakaan tragis. Dirinya melupakan Reza dan segala hal bengis dibalik keluarga sang pria hingga suatu hari... Ia bertemu kembali dengan Reza di perusahaan sang pria! Tapi...Nayla telah berubah menjadi buruk rupa dan bekerja menjadi OB. Reza tak mengenali Nayla pula! Akankah ada kisah cinta diantara dua sejoli ini sementara ayahnya Reza menjadi kaya akibat mengkhianati ayahnya Nayla? Akankah mereka tetap bisa menjadi kekasih ketika keluarga Reza bersikeras menghalangi kisah mereka? Dapatkah Nayla membongkar rahasia dibalik kehancuran keluarganya? Apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui bahwa keluarga Reza adalah musuhnya? Inilah kisah "Dari benci jadi cinta" yang sesungguhnya. Romeo dan Juliet zaman modern. . . Simak selengkapnya, di kisah TERPERANGKAP PESONA CEO (20).

da_pink · Teen
Not enough ratings
295 Chs

SCORS

-POV Reza-

Jujur, Nayla cantik sekali malam ini. Hanya saja, saya jadi tidak begitu bisa menikmati keindahannya, disebabkan tragedi kurang mengenakkan yang dilakukan Gunawan itu.

Saya tidak suka Nayla saya dilihat dengan gaya seolah ingin memakan saja. Ya, pakaian yang Nayla kenakan memang terkesan sangat mengundang nafsu. Dan, Nayla juga terlihat tidak nyaman.

Saya tahu, kegagalan kerja sama dengan Gunawan, akan menjadi masalah baru bagi saya. Papa pasti akan marah besar. Pikiran jadi berat tiba-tiba. Saat perjalanan pulang mengantar Nayla, banyak sekali hal rumit yang terpikirkan. Membuat kepala saya jadi sangat sakit.

Sebagai pria, saya pasti akan bertanggung jawab. Karenanya, meski Nayla bilang, tidak perlu mengantar, tetap saya antar hingga di depan pintu. Meski tahu akan menghadapi sikap sinis Tante Mela lagi. Tak mengapa. Setidaknya, Nayla saya kembalikan dengan selamat.

Beliau memang mengusir saya, tapi, hanya dengan tatapan saja. Tak ada satu patah kata pun yang keluar. Dan, sebagai manusia yang memiliki akal dan perasaan, saya bisa memahami, bahwa Tante Mela tidak menginginkan keberadaan saya di tempat mereka.

Saya hanya menganggukkan kepala, dan berbalik arah.

Pak Beno sudah menunggu dengan kondisi setengah tidur. Kasihan sekali, tidak hanya Nayla, sopir kantor ini juga ikut bekerja hingga tanggal berganti.

"Kita pulang, Pak."

Pak Beno mengangguk. Ia lalu menjalankan mobil menuju rumah.

Malam ini, memang tidak akan terjadi apa-apa, sebab, Papa pasti sudah tidur. Kenapa saya begitu lemah menghadapinya? Dan entah apa yang akan terjadi setelah beliau tahu apa yang sudah saya lakukan.

"Reza...!"

Saya terkejut saat akan menaiki tangga menuju kamar. Itu suara Papa. Ketika dilirik jam di tangan, sudah pukul satu malam. Kenapa beliau malah belum tidur?

Saya tidak punya pilihan, selain, mendekatinya, yang duduk di sofa tamu.

"Duduk!"

Perintahnya, tampak sangat sangar. Saya melirik sekilas, setelah itu, pandangan mata saya turunkan.

Saya duduk, dan masih tidak berani menatapnya.

"Jelaskan apa yang telah terjadi!"

Jantung saya berdetak kencang, tidak beraturan. Bagaimana dan apa yang akan saya jelaskan? Ini semua menyangkut Nayla. Sementara beliau saja tidak suka dengan Nayla.

"Siapa gadis yang kau bawa itu?"

Saya terkejut. Ketika pertanyaan dengan suara lantang itu terdengar, refleks mata saya terpejam.

"Dia karyawan di Nabastala, Pa."

Saya tidak berbohong. Nayla memang karyawan di Nabastala.

"Apa posisinya? Sepenting itu kah dia? Hingga kau bisa mengabaikan Soraya?"

Saya bergeming. Bagi saya Nayla penting, dan sukar untuk dijelaskan kepada pembisnis sukses di hadapan saya ini.

"Papa sudah bersusah payah, agar kamu tinggal menjalankan saja pekerjaan dengan baik, tanpa harus bersusah payah mencari tema penting yang akan diangkat untuk terbitan pertamamu, di Nabastala. Tapi, kau malah buat ulah. Kau lihat ini!"

Papa mengangsurkan tablet yang sedang ia pegang. Benda itu bergeser ke arah saya di atas meja, dan ironinya, jepretan demi jepretan kamera saat saya melepaskan tangan Soraya dari lengan Nayla, hingga kami masuk mobil, menghiasi timeline berita malam ini.

Cepat sekali beredarnya! Hah, sungguh susah menjadi anak seorang yang ternama seperti ini.

"Berhenti bermain-main, Reza! Kau di scors, hingga bulan ini habis, kau tidak boleh menginjakkan kaki di kantor. Semua akan kembali dihandle PemRed Nabastala."

Kepala saya langsung terangkat, dan menatap Papa dengan mata menyalang protes.

"Mana bisa begitu, Pa!"

"Kau membantah Papa sekarang? Apa kau pikir bisa menyelesaikan masalah ini dengan mudah! Kau sudah merusak dua hubungan baik sekaligus. Dengan Gunawan, dan juga Soraya. Ini akan berdampak pada citra Nabastala. Dan entah berapa rattingnya untuk bulan ini."

Saya ingin bekerja dengan aturan sendiri. Bukan seperti ini. Tidak ada kesesuaian yang terjadi antara saya dan Papa. Untuk apa saya dijadikan penanggung jawab Nabastala, kalau ketika menjalankan pekerjaan, saya masih dibayang-bayangi kekuasaannya.

Dan dengan seenaknya melarang saya untuk pergi ke kantor, lalu menyerahkan semuanya pada Arka. Di mana akan saya tarok wajah ini?

"Saya yang akan bertanggung jawab, Pa. Jadi biarkan saya selesaikan semuanya hingga tuntas!"

"Tidak ada bantahan Reza! Jika ratting Nabastala turun di tanganmu, kau sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Kau turuti saja semua yang Papa perintahkan. DA grup akan menyelesaikan permasalahan besar yang kau timbulkan ini."

Setelah bicara seperti itu. Beliau pergi meninggalkan saya. Semua yang keluar dari mulutnya adalah perintah, dan harus dilaksanakan, tanpa sanggahan.

***

***

Keesokan harinya, saya tetap berangkat bekerja. Saya hubungi Nayla, ingin tahu bagaimana keadaannya?

"Hallo."

Suaranya terdengar riang mengangkat telepon di seberang sana. Seolah tengah berada di keramaian.

Saya lihat jam dipergelangan tangan, baru juga pukul enam pagi.

"Nayla, apa tidurmu nyenyak?"

"Nyenyak, Pak Reza."

Kenapa dia selalu bisa berbahagia setiap hari? Meski tidak dapat melihat wajahnya saat ini, tapi, saya tahu, dia tengah tersenyum lebar.

Saya juga beryukur, dia bisa tidur dengan nyenyak, di saat diri ini justru tak bisa tidur seperti dirinya.

"Di mana, Nayla?"

"Saya di halte depan rumah, Pak."

Dia di sana lagi, saya akan segera menyusul.

"Nayla, tunggu di sana. Kali ini saya akan datang menjemputmu."

Belum ada jawaban, beberapa detik berlalu. Tapi, saya tetap melaju menuju lokasi yang ia sebutkan.

"Nayla, kamu dengar saya?"

"Eh, Iya, Pak. Saya tunggu."

Suaranya memelan di ujung kalimat.

"Baiklah, saya tutup dulu teleponnya."

"Iya, baik, Pak."

Saya lantas mematikan sambungan telepon. Nayla, kenapa harus memanggil saya seperti itu? Saya rindu kamu menyebut nama ini. Reza.

'Reza ... Reza ... !'

Ya Tuhan, saya tersentak dari lamunan. Suara kecil Nayla seolah memanggil dengan panik. Kala itu, ia tidak menemukan saya di mana-mana? Saya bersembunyi di semak-semak dekat sekolah, karena anak-anak perundung itu, tak pernah bosan menganggu saya.

Nayla begitu peduli pada saya. Tapi, sayang sekali, saat ini ia melupakan semua kenangan itu.

Itu dia, duduk sendiri di halte Penjaringan. Saya berhenti sedikit ke depan. Nayla tahu bahwa yang datang adalah saya, ia lantas turun dan mendekati mobil.

Saya segera membukakan pintu dari dalam.

Mata indahnya terbuka lebar melihat saya tanpa stellan jas seperti biasa. Hari ini saya hanya mengenakan pakaian santai, dengan bawahan jins. Tidak pula mengenakan sepatu pantofel, tapi cats.

"Ayo, masuk."

Dia termenung di dekat pintu. Menatap saya tidak berkedip. Apakah sebegitu besarnya pesona yang saya tebar? Hingga Nayla terperangkap karenanya.

"Oh, iya."

Dia pun masuk.

Selama di dalam mobil, ia tampak kikuk. Pergerakan tubuhnya juga tidak terlalu banyak. Seakan-akan saya baru saja membawa sebuah patung masuk ke dalam mobil ini.

Patung manis, dengan rambut yang terlihat mulai mengembang. Nayla mengikat rambutnya, lalu memakai jepitan poni berwarna hujau.

Menurut saya, dia sangat manis.

***

***