webnovel

TERPERANGKAP PESONA CEO (20)

Maaf, ini intronya aja yang serius, coba deh baca tiga bab pertama. *** Apa yang akan terjadi bila ayah sahabat masa kecilmu adalah dalang dibalik hancurnya keluargamu? Nayla, seorang gadis yang berteman dekat dengan Reza, mengalami amnesia setelah kecelakaan tragis. Dirinya melupakan Reza dan segala hal bengis dibalik keluarga sang pria hingga suatu hari... Ia bertemu kembali dengan Reza di perusahaan sang pria! Tapi...Nayla telah berubah menjadi buruk rupa dan bekerja menjadi OB. Reza tak mengenali Nayla pula! Akankah ada kisah cinta diantara dua sejoli ini sementara ayahnya Reza menjadi kaya akibat mengkhianati ayahnya Nayla? Akankah mereka tetap bisa menjadi kekasih ketika keluarga Reza bersikeras menghalangi kisah mereka? Dapatkah Nayla membongkar rahasia dibalik kehancuran keluarganya? Apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui bahwa keluarga Reza adalah musuhnya? Inilah kisah "Dari benci jadi cinta" yang sesungguhnya. Romeo dan Juliet zaman modern. . . Simak selengkapnya, di kisah TERPERANGKAP PESONA CEO (20).

da_pink · Teen
Not enough ratings
295 Chs

POTONGAN HATI

-POV REZA-

Saya baru sampai di rumah. Berencana hendak mengganti kemeja yang tadi ditumpahi kopi sama di Wanita pengganggu pandangan. Ponsel saya berdering. Dari siapa?

"Hallo…"

{ Dengan Bapak Reza di sana?}

"Iya, saya sendiri."

{ Aku model yang diundang datang ke Nabastala. Katanya, mau ada pemotretan buat artikel fashion dari designer Gunawan ya?}

Saya belum dapat agenda apa-apa dari Tim Redaksi masalah ini.

"Iya. Kami memang akan memuat design terbaru beliau."

{ Saya sudah di kantor Nabastala. Di mana kah bisa bertemu?}

"Oh, kebetulan saya sedang di luar. Mungkin bisa dijadwalkan ulang pertemuannya jadi besok pagi. Kira-kira anda bisa tidak?"

{ Mmmm, tentu saja bisa. Jam berapa?}

"Jam sepuluh, bisa?"

{ Baiklah. Saya tutup ya.}

"Oh, oke. Terima kasih Nona…."

{Soraya.}

"Iya, Nona Soraya, terima kasih."

Dia terdengar tertawa kecil, {Oh iya, sama-sama Tuan Reza.}

Sepertinya saya salah dalam penggunaan kata. Apa terdengar ganjil jika saya memanggil dengan sebutan Nona? Dan tunggu, sepertinya saya pernah mendengar nama itu, tapi dimana? Ah sudahlah.

***

***

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul dua siang. Saya harus kembali ke kantor. Membicarakan masalah pemotretan model untuk artikel fashion. Karena pikiran yang sudah kacau sejak pagi, saya jadi lupa menanyakan semua agenda untuk terbitan ke dua bulan ini.

Saya buru-buru menuju ruang Redaksi. Tanpa pikir panjang, membuka pintu ruangan itu. Dan sungguh betapa terkejutnya saya, mereka malah sedang asik-asik tertawa bersama-sama.

"Bukankah waktu istirahat sudah berakhir?"

Tidak ada yang menjawab satu orang pun. Bisakah saya tandai hari ini sebagai kesialan beruntun dalam hidup. Sejak pagi, hingga siang ini, belum ada peristiwa yang membuat hati saya tenang.

"Kerja… kerja…"

Arka mengomando yang lainnya untuk kembali ke depan laptop masing-masing.

"Saya butuh anda, Arka. Tolong ke ruangan saya."

Saya tidak menunggu jawaban. Segera saja berbalik dan menuju ruangan. Layer kaca di setel dulu jadi tampilan satu. Supaya mereka bisa melihat kondisi pimpinannya saat berhadapan dengan saya.

Tidak lama, pemuda yang terlihat seumuran dengan saya, masuk. Bicara soal usia. Saya masih sangat muda. Dua puluh tiga tahun. Namun, berkat didikan Papa, yang memberikan pendidikan demi menempa jiwa seorang pemimpin didiri saya, hingga terbentuk karakter seperti ini.

"Permisi, Pak."

Saya menggangguk, lalu memersilahkannya duduk.

"Apa saja agenda yang sudah dipersiapkan untuk terbitan edisi kedua bulan ini? Bisa berikan saya catatannya?"

Wajah Arka terlihat berkerut.

"Kenapa?"

Karena saya tidak suka dengan tanya yang tak langsung terjawab, jadi saya harus menanyakan lagi dengan pertanyaan beriikutnya.

"Saya tidak pernah mencatat sebuah agenda."

Mata saya tentu saja membelalak. Bekerja tanpa sebuah catatan, bagi saya sama halnya seperti orang buta yang berjalan tanpa bantuan tongkat. Meraba-raba yang tak pasti.

"Lalu bagaimana dan dimana anda menyimpan rancangan ide dan sebagainya?"

Saya sangat tidak bisa sependapat dengan cara bekerja yang menurut saya sangat tidak terstruktur ini. Sedangkan seorang penulis saja, pasti butuh sebuah catatan sebagai wadah menuangkan ide, sebelum dieksekusi.

"My brain."

Jawabnya sambil tersenyum lalu menunjuk ke arah kepala. Dan anehnya, bola mata saya mengikuti telunjuknya itu.

"Saya tidak sedang bercanda."

Saya menghembuskan nafas berat, pertanda sudah berada diujung kemuakkan. Tetapi, dia malah tersenyum menantang, mencondongkan tubuh ke arah saya.

"Anda tau berapa kapasitas otak manusia?"

Saya tidak akan menjawab pertanyaan seperti ini. Tentu saja.

"Sepuluh kali lebih besar dari yang pernah anda pikirkan sebelumnya."

"Dan saya bukan peneliti kapasitas memori otak manusia. Catat itu!"

Arka lalu kembali bersandar di kursi yang ia duduki.

"Saya hanya sedang memberi informasi untuk anda, agar tidak salah menilai kemampuan otak manusia, terkhusus otak saya."

Dia memainkan ujung-ujung pena yang ia bawa, sambil tetap menyunggingkan senyum, yang entah apa artinya.

Saya menatapnya tajam. Apa dia sedang mengajak saya bercanda? Dan tempat ini tidak cocok dijadikan area untuk berkelakar, olok-olok dan sejenisnya.

"Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari Institut Salk (La Jolla, California, USA) menyimpulkan bahwa manusia memiliki kapastitas memory sebanyak satu petabyte, atau seribu terabyte atau satu juta gigabyte. Besar bukan? Anugrah Tuhan ini lebih berguna dari lembaran kertas yang kalau terbuang, masuk tong sampah."

(Sumber:https://sainspop.com/blog/2017/03/06/berapa-kapasitas-otak-manusia/amp/)

Ya, tentu saya tahu itu. Namun, demi menunjang sistematika sebuah rancangan, agar orang lain pun dapat memahami dengan jelas, tentu perlu sebuah catatan, yang dapat dibaca oleh orang lain.

"Arka… Saya tahu anda orang yang cerdas, anda bahkan seringkali bekerja sendiri menyelesaikan pekerjaan, yang tidak terselesaikan dengan baik oleh tim anda. Saya mengapresiasi prestasi yang telah anda raih hingga detik ini. Hanya saja, saya butuh sesuatu yang dapat memberikan informasi terkait rencana dan prospek ke depan untuk menggebrak pasar di industry ini, yang sama-sama kita ketahui, saat ini hampir tenggelam terkalahkan kemajuan teknologi yang mengandalkan dunia digitalisasi."

Arka tetap betah menyunggingkan senyum yang menyakiti hati saya. Seolah ia menganggap semua tidak ada masalah. Hanya saya saja yang terlalu berlebihan menanggapi segala sesuatu.

"Saya tidak punya. Jika anda memang sangat butuh, silahkan tanya Wapemred. Dia sangat hobi mencatat."

Manusia di depan saya ini menjawab dengan acuh tak acuh. Lalu, matanya melirik satu benda yang ada dalam genggaman saya.

Dengan santainya, dia merebutnya dari tangan saya. Tentu saja ini membuat saya sangat terkejut. Benar-benar tidak punya tata krama sekali.

"Wow wow, benda apa ini. Sebuah patahan hati. Saya kira ukuran yang ada hanya untuk mainan kalung, ternyata ada yang sebesar ini. Selebar telapak tangan Nayla."

Nayla?

Saya menatapnya tidak terima. "Kembalikan benda itu!"

Nayla yang mana yang dia maksud? Nama gadis yang saya rindukan kenapa hari ini juga seolah bermain-main di sekitar saya. Seakan ia ada, namun tidak tampak.

Arka tidak memberikan dengan segera. Ia menyempatkan melambung-lambungkan benda itu ke atas. Saya sangat cemas, jangan sampai terjatuh lalu retak. Kelak jika benda itu menemukan pasangannya, yang hanya ada pada Nayla saya, ia tak lagi tampak sempurna.

"Kembalikan!"

Saya mengejar pria itu, dan merebut paksa benda kenang-kenangan dengan Nayla si Dua Dua.

"Sebegitu pentingnya benda itu, sampai-sampai anda memeluk saya seperti ini!"

Ya Tuhan, saya benar-benar tidak menyangka, posisi kami jadi seperti ini. Saya tidak bermaksud memeluknya, hanya saja dia terus menghindarkan benda itu dari saya.

Dan berpasang-pasang mata di ruang Redaksi, sudah melihat adegan itu. Bahkan ke semuanya berdiri tepat di sisi pembatas kaca.

Saya buru-buru mengambil remote kontrol, dan mengganti menjadi layer mati.

Dan Arka, dia hanya tersenyum kecut, lalu keluar dari ruangan saya, setelah berhasil mempermalukan seorang CEO.

Benar-benar kurang ajar!

Saya bukan gay. Catat itu!

Refleks, tangan saya mengepal dan memukul meja di depan.

***

***