3 MENCARI ANGIN

-POV REZA-

Sudah lama sekali saya tidak mengelilingi Ibu Kota Negara ini. Iya, negara kelahiran saya. Lama tinggal di UK. Jadi sangat merindukan suasana di sini. Terlebih kamu Dua Dua, Nayla. Rindu sekali padamu. Seperti apa kamu sekarang? Di mana kamu bekerja? Masihkah tinggal di tempat lama? Kita putus komunikasi, saya sering mengirim surat, tapi tak pernah kamu balas, Nayla.

Tadi saya sudah berputar-putar mencari rumahnya. Lupa-lupa ingat. Tapi, saat berhasil menemukan alamat, malah penghuninya juga sudah berbeda. Mereka tidak tahu kemana Dua Dua pergi. Saya lupa nama teman kami satu lagi. Yang teringat hanya kode itu, sesuai nomor rumah. si Dua Empat. Saya tidak menemuinya, tidak pula mengunjungi kediamannya. Saya pikir hanya merindukan Nayla saja.

Kalau berjumpa, Nayla pasti akan terkejut dengan perubahan ini. Sekarang saya sudah kurus, tubuh pun tinggi, tidak lagi pendek seperti waktu itu. Dua belas tahun bukan waktu yang singkat. Saya sudah menyelesaikan sekolah. Papa memang benar-benar mengurung saya di sana. Dia bilang, jika sudah waktunya pulang, saat itu lah kursi kepemimpinan di Nabastala Magazine berpindah ke pundak saya.

Papa sudah membangun satu anak perusahaan yang masih terkait dengan DA Publishing. Berkecimpung di dunia majalah cetak dan online. Ia sudah memutar otak dengan sangat ekstra, demi mempersiapkan sebuah perusahaan yang memang diperuntukkan pada saya.

Dan untuk itu, saya juga sudah belajar banyak di UK. Ada kenalan Papa, yang membekali saya dalam bisnis ini. Ia juga memberikan kesempatan magang di perusahaan majalah yang cukup besar di sana.

Saya juga sudah menyelesaikan pendidikan di University of Manchester, jurusan BSc Management untuk S1 dan Manchester Global MBA untuk S2. Hidup yang saya jalani di sana hanya belajar dan belajar.

Saat ini, saya sudah kembali, artinya, Papa sudah merasa saya layak mengemban tugas sebagai Chief Executive Officer perusahaannya. Papa seorang yang berambisi besar. Ia selalu ingin mencapai nomor satu dalam segala hal. Secara motivasi, itu bagus. Namun, juga harus diimbangi dengan kemampuan yang di punya.

Sejujurnya, saya sangat gugup kembali ke tanah air. Merasa masih belum siap melaksanakan tugas ini. Jika gagal mempertahankan posisi teratas, Papa akan sangat kecewa. Tak terbayar, apa yang sudah dikeluarkannya untuk saya.

Saya diizinkan untuk keluar malam ini, sekedar ingin cari angin. Tak perlu sopir, saya bisa mengemudi. Di UK juga sudah mendapatkan izin mengemudi. Tentu saja, akan mudah mengurus di sini. Entah berapa lama saya akan menetap? Papa berkata, jika gagal, ia tak segan-segan akan mengirim balik ke UK, untuk diasah lagi kemampuannya.

Saya seperti anak terbuang, yang hanya terlahir untuk memuaskan nafsu orangtua atas ambisinya. Tapi, kita tak pernah bisa memilih untuk dilahirkan dari keluarga mana. Saya hanya bisa menjalani. Papa sudah membesarkan saya dengan sangat baik. Begitu pula dengan Mama, yang tak pernah kuasa membela, agar tetap berada di sisinya.

Karena tidak menemukan rumah Dua Dua, saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke kedai kopi. Tapi, ternyata sudah tutup. Rasanya ini belum terlalu malam. Di Manchester semua aktifitas seolah tak berhenti selama dua puluh empat jam. Kota itu benar-benar sibuk. Saya sering keluar hingga subuh, sekedar duduk di taman sambil membaca buku.

Teman tidak terlalu punya. Saya tipikal penyendiri. Di awal-awal pindah ke UK, saya bahkan sering mendapat perundungan. Mereka cukup rasis, menganggap orang asia itu di kasta terbawah. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, saya sebagai salah satu siswa hingga menjadi mahasiswa asal Indonesia, mampu bersaing dengan mereka secara prestasi.

Kehidupan dunia barat sangat tidak cocok dengan karakter saya yang cenderung introvert, Tidak terlalu suka berkumpul untuk hal-hal yang kurang berfaedah. Saya bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Itu lah yang membuat mereka akhirnya tak lagi berani menatap saya dengan pandangan merendahkan, juga pada teman-teman asal Asia lainnya, terkhusus kami yang dari Indonesia.

Saya baru akan mengemudi untuk mencari tempat minum kopi yang lain, setelah sibuk menghubungi Mama, menanyakan lokasi minum kopi yang direkomendasikan. Tapi ternyata, Mama tidak mengetahui. Ia malah berlama-lama telponan dengan saya, menanyakan hal-hal yang akan dilakukan setelah ini.

Saya baru hari ini menginjakkan kaki di tanah air, belum sempat mengobrol dengan Mama, malah memilih untuk keluar mencari angin.

Saya terusik dengan satu kejadian. Dua orang pria tampak ingin melakukan sesuatu pada seorang wanita. Saya tidak suka melihat kekerasan seperti ini.

Namun, ternyata masalah yang terjadi antara mereka adalah masalah hutang. Sejatinya tidak ada hubungan dengan saya, tetapi hati ini tergerak sekali untuk membantu menyelesaikan. Akhir kata, saya menawari ke dua pria itu untuk menunggu dalam satu bulan ini. Saya akan lunasi hutang wanita yang mereka kejar-kejar itu.

Semula mereka tidak percaya ucapan saya, hingga saya berikan nomor telepon dan kartu nama. Tadi sempat diberikan sekotak oleh sopir yang menjemput ke bandara. Katanya dari Papa, untuk diberikan pada saya. Berhubung, besok adalah hari pertama bekerja. Saya langsung dibekali dengan sekotak kartu nama ini.

Papa akan mengajak berkenalan dengan beberapa orang yang pernah terlibat dan berurusan dengan Nabastala Magazine, yang sering menjadi narasumber untuk artikel bisnis. Juga orang-orang terkenal lainnya. Mengunjungi kawasan-kawasan yang sewaktu-waktu bisa diangkat menjadi sebuah artikel menarik. Ya. Semuanya.

Dua pria beringas tadi akhirnya pergi, setelah merasa yakin dengan saya.

"Kenapa Mas melakukan itu? Saya tidak minta dibantu."

Wanita yang… ah, apa yang terjadi dengan dirinya? Tidakkah seorang wanita itu pandai merawat diri. Ini, kenapa merusak pandangan sekali? Saya tidak menatap lama padanya, hanya sekilas saja. Dia mengikuti saya, saat akan kembali ke mobil.

"Hello, saya ini lagi bertanya."

Saya lupa ternyata telah mengabaikannya.

"Iya ya, kenapa ya? saya kok membantu anda."

Lagi-lagi saya tidak menatapnya. Hanya menghentikan langkah, lalu melempar pandangan lurus. Ukuran tubuhnya tak sejajar dengan pandangan mata saya. Dia sangat pendek. Tingginya hanya se hidung saya. Syukurlah, saya jadi tidak perlu repot-repot menurunkan tatapan.

"Saya di bawah anda, kenapa anda menatap lurus saja?"

Dia bahkan melompat-lompat menarik perhatian saya. Ah, tidak akan saya ladeni. Cukuplah saya anggap apa yang sudah saya lakukan sebagai sedekah gaji pertama saya.

Saya kembali memutar tubuh, dan fokus ke arah mobil.

Tapi, sungguh tidak terduga, saya menabrak sesuatu, yang ternyata dia lagi. Wanita pendek dan berantakan ini menghadang saya di depan.

"Ya Tuhan, anda jadi mengganggu saya."

Tentu saja saya jadi menggerutu, saya hanya melihat sekilas padanya, lalu kembali melewatinya.

"Saya jadi punya hutang dengan anda! Bagaimana saya harus menyelesaikannya?"

Wanita perusak pandangan ini masih mengikuti. Bahkan setelah saya panjangkan langkah kaki ini, dia tak menyerah juga, dengan berlari pun ia terus mengikuti.

Saya sudah sampai di mobil, segera akan masuk. Tapi, ada saja penghalangnya. Wanita perusak pandangan, sengaja berdiri di dekat pintu saat saya akan menutupnya.

"Bagaimana saya akan menggantinya?"

"Saya tidak butuh diganti, anggap saja itu bantuan cuma-cuma. Tolong menyingkir, saya ada urusan lain."

Saya mendorong lututnya ke belakang dengan kaki. Dia benar-benar mengganggu. Saya lalu menutup pintu mobil dan segera melaju pergi meninggalkan wanita itu. Saya melihat sebentar dari spion. Dia masih menatap ke arah mobil dengan wajah ditekuk. Masa bodoh lah. Seharusnya dia berterima kasih, sudah diselamatkan dari petaka rentenir itu. Jadi, mereka berpindah urusan dengan saya.

Tapi, saya baru menyadarinya sekarang, kenapa sampai melakukannya? Lima belas juta seharusnya bukan nominal yang sedikit. Kenapa malah terlibat masalah yang seharusnya tidak ada urusan dengan saya?

Aduh!

***

***

avataravatar
Next chapter