webnovel

TERPERANGKAP PESONA CEO (20)

Maaf, ini intronya aja yang serius, coba deh baca tiga bab pertama. *** Apa yang akan terjadi bila ayah sahabat masa kecilmu adalah dalang dibalik hancurnya keluargamu? Nayla, seorang gadis yang berteman dekat dengan Reza, mengalami amnesia setelah kecelakaan tragis. Dirinya melupakan Reza dan segala hal bengis dibalik keluarga sang pria hingga suatu hari... Ia bertemu kembali dengan Reza di perusahaan sang pria! Tapi...Nayla telah berubah menjadi buruk rupa dan bekerja menjadi OB. Reza tak mengenali Nayla pula! Akankah ada kisah cinta diantara dua sejoli ini sementara ayahnya Reza menjadi kaya akibat mengkhianati ayahnya Nayla? Akankah mereka tetap bisa menjadi kekasih ketika keluarga Reza bersikeras menghalangi kisah mereka? Dapatkah Nayla membongkar rahasia dibalik kehancuran keluarganya? Apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui bahwa keluarga Reza adalah musuhnya? Inilah kisah "Dari benci jadi cinta" yang sesungguhnya. Romeo dan Juliet zaman modern. . . Simak selengkapnya, di kisah TERPERANGKAP PESONA CEO (20).

da_pink · Teen
Not enough ratings
295 Chs

JADILAH CINDERELLA

-POV Nayla-

"Nich, semua perlengkapannya, baju, sepatu, aksesoris, dan ops."

Jeni ngelirik gue.

"Kak, itu BeHanya selametin dulu napa."

Gue kaget setengah mampus. Malu banget, walau pun itu cowok jadi-jadian, tapi, tetep aja berbatang, dan rasanya kurang senonoh kalau gue biarin dia ngeliat daleman gue.

Nggak butuh waktu lama. Gue samber tu kantong. Si Denish sampe kaget.

"Eike terkejoed!"

Dia megang dadanya, persis kaya princess aja lagaknya.

"Nich."

Setelah gue selametin daleman tadi, gue balikin kantong-kantong belanjaan itu ke dia, Denish. Kan gue ambil dari tangan dia.

"Ya udah, cuz. Gurl, masuk ruang bedah."

Denish jalan berlenggak lenggok sambil manggil beberapa asistennya. Dan gue, juga diminta ikut masuk ke dalam ruangan itu.

Sementara tiga karyawan Nabastala yang lain, tinggal di luar, mereka malah asik-asik mainin handphone. Bener-bener nggak ada otak.

Di dalam sana, udah bagai penyiksaan banget buat gue.

Rambut disetrika, muka gue dilaser-laser. Di kasih macem-macem. Ini awalannya aja baru. Badan gue dilulur, kuku-kuku gue dibersihin, di rendem pake air anget. Ya, macam ratu. Gimanalah ya gue ngegambarin.

Gue sampe mandi di sana, abis luluran. Nggak cuma selesai di situ aja.

Pas di dandanin, awalannya enak, muka dikunyel-kunyel, dipakein dompol tebel, langsung mulus, plus pucet kayak mayat idup.

Trus gue disuruh merem, mata gue berasa diolesin sesuatu, apaan gitu. Abis itu, gue disuruh nyalang gede-gede, sambil lihat ke atas. Pedih banget, mata berasa dicolok apaan aja.

Sampe akhirnya urusan mata kelar, setelah dia ngelemin bulu mata palsu.

Trus dan trus, nggak jelas lagi lah diapain, sampe pada akhirnya, gue udah selesai, disuruh lihat ke cermin.

Ini gue?

Nggak nyangka, bisa berubah seratus delapan puluh derajat dikali dua.

"Muter dong Kakaknya."

Si Denish nyuruh-nyuruh gitu, ya udah lah gue muter.

"Sepatunya di pakein juga ya jenk-jenk sekalian."

Dia ngomong sama karyawannya, ada tiga, yang ikut ngerombak gue.

"Denish, ini apa nggak ada jaket gitu, masa kaya andukan gini, nggak pede saya."

Terlalu terbuka. Gue nggak demen, ntar yang ada malah masuk angin.

Eh, bukannya kasih yang gue minta, mereka malah senyum-senyum gitu. Apa yang aneh coba?

"Kenapa?" tanya gue ke salah satu karyawan si Denish, yang jaraknya terdekat sama gue.

Dia malah menggeleng geli, sambil terus nutup mulutnya pake tangan.

Apaan sih, woi?

"Jaket apa maunya kakak? Jaket kulit apa jaket bulu kambing?"

Si Denish, nggak sopan banget ngomong gitu ke gue. Kayak lelucon aja. Udah ah, dari pada sebel, nurut aje.

Pas sepatu itu dipakein ke gue. Aduh, sakit banget, apalagi dibawa jalan, udah kaya orang abis sunatan aja gaya jalan gue. Ngangkang, tegang, nggak bisa gue.

"Nggak ada selop aja apa?"

"Eh, kakak, kalau mau protes, noh sama si bosnya."

Galak banget ding, si Denish ini.

"Temen saya yang tadi masih di luar 'kan?"

Perasaan gue nggak enak banget, sumpah. Jangan-jangan.

"Mereka ya udah balik ke kantor lah. Dah jam berapa ini Kakak? Jam tujuh malem. Bentar lagi Kakak bakal dijemput sama bosnya. Tadi eike udah kirimkan titik penjemputan. Taksi kali ih, pake titik penjemputan segala."

Dia ngakak sendiri.

"Saya ditinggal, trus ini bayarannya gimana?"

Muka gue langsung pucet dong, mana ada duit gue buat bayar perawatan ala putri raja gini.

"Kakak tau beres aja. Udah ah, keluar cepet. Barang-barangnya sekalian bawa ya, Kak."

Kampret, gue diusir.

Gue coba jalan keluar. Walau pun nggak enak banget jalan sama sepatu ini.

Malah kepala ngeganjel lagi, apaan sih, pake ikat kepala bentukan mutiara gini.

Nggak lama, gue denger ada mobil yang dateng.

"Bos ganteng dateng. Yuks siap-siap Kak."

Denish berlari manja ngedeketin gue. Dia sampe mau ngebimbing gue segala buat keluar.

Ya udah gue nurut, butuh pegangan.

Pas nya pintu dibuka. Gue berasa mau pingsan. Dia. Pak Reza ada dibalik pintu, lagi ngeliatin muka gue nggak berkedip. Gue nggak kuat sama tatapan matanya itu.

Padahal, seharian, bahkan sedari pagi, gue udah kayak dikerjain sama dia. Nyuruh nunggu di halte tapi nggak dateng-dateng. Malah gue disuruh permak gini, ngajalani perawatan yang nyiksa banget sejak siang.

"Perfect."

Satu kata itu keluar dari bibirnya sambil ngulurin tangan, buat ngegandeng gue.

Gue canggung sumpah, dengan sepatu ini, dengan pakaian ini, dan dengan dandanan ini. Seakan bukan gue.

"Ayo, kamu nyamannya gimana, pegang lengan atau gandengan?"

Hmmm, gue nggak tahu mau jawab apa. Ini nggak nyaman banget.

Pas gue noleh ke Denish, dia kaya senyam-senyum gitu, seolah nggak puas-puas buat ngelihat dan mandang Pak Reza penuh kekaguman.

"Nayla."

Kaget gue. Suara si Babang Tamvan bikin nyesek.

"Ayo. Kita harus segera pergi. Acaranya sebentar lagi akan dimulai."

Apa? Acara apaan?

Gue udah kayak orang bego, melongo nggak jelas.

Akhirnya, dengan menahan kesakitan yang luar biasa di kaki, gue ngikutin bos gue ini menuju mobil.

"Denish, terima kasih banyak, karya kamu sempurna."

Setelah nganter gue masuk mobil, dia masih sempet-sempetnya balik, cuma buat bilang itu ke Denish. Karya apa yang sempurna? Gue maksudnya.

Sepanjang perjalanan, gue mulai kikuk, soalnya si bos, yang duduk di sebelah gue, di jok belakang, karena entah kenapa tumben-tumbenan dia pake sopir segala, natap gue nggak berkedip, nggak juga mau noleh-noleh. Nggak pegel apa itu leher, liatnya ke kiri mulu.

"Maaf, Pak. Jangan lihat begitu."

Gue nggak tahan, ya gue bilang.

Dia kayak tersentak gitu. Ngelamunin apa?

"Maaf. Saya hanya sedang mengagumi kecantikan kamu."

Nggak tahu, musti gimana? Yang jelas, gue pasti seneng banget dipuji sama dia.

"Nayla. Saya juga minta maaf soal tadi pagi. Tiba-tiba saja saya diminta menuju suatu tempat untuk menemui seorang klien. Dan saya tidak bisa menolak. Saya harap kamu mau memaafkan saya."

Aduh, gue nunduk aja deh, sambil ngangguk-ngangguk. Gue udah maafin dari tadi. Nggak ada hak gue buat marah.

***

***