webnovel

TERPERANGKAP PESONA CEO (20)

Maaf, ini intronya aja yang serius, coba deh baca tiga bab pertama. *** Apa yang akan terjadi bila ayah sahabat masa kecilmu adalah dalang dibalik hancurnya keluargamu? Nayla, seorang gadis yang berteman dekat dengan Reza, mengalami amnesia setelah kecelakaan tragis. Dirinya melupakan Reza dan segala hal bengis dibalik keluarga sang pria hingga suatu hari... Ia bertemu kembali dengan Reza di perusahaan sang pria! Tapi...Nayla telah berubah menjadi buruk rupa dan bekerja menjadi OB. Reza tak mengenali Nayla pula! Akankah ada kisah cinta diantara dua sejoli ini sementara ayahnya Reza menjadi kaya akibat mengkhianati ayahnya Nayla? Akankah mereka tetap bisa menjadi kekasih ketika keluarga Reza bersikeras menghalangi kisah mereka? Dapatkah Nayla membongkar rahasia dibalik kehancuran keluarganya? Apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui bahwa keluarga Reza adalah musuhnya? Inilah kisah "Dari benci jadi cinta" yang sesungguhnya. Romeo dan Juliet zaman modern. . . Simak selengkapnya, di kisah TERPERANGKAP PESONA CEO (20).

da_pink · Teen
Not enough ratings
295 Chs

IKUTI ATURAN SAYA

-POV REZA-

Pagi ini saya sudah menyiapkan agenda tersendiri. Terserah mereka siap atau tidak, yang jelas, rapat harus selalu diadakan setiap pagi, sebelum memulai semua aktifitas.

>> Perhatian, Tim Redaksi, seluruh anggota, diharapkan segera menuju ruang rapat, CEO sudah menunggu. Bagi yang tidak hadir, akan diberikan Surat Peringatan. Terima Kasih.

Begitulah, suara Chika terdengar memberikan pengumuman melalui pengeras suara, yang terhubung ke masing-masing ruangan.<<

>> Beni, Nayla, siapkan minuman untuk ruang rapat.<<

Kenapa dia berimprovisasi seperti itu. Saya tidak pernah meminta untuk menyiapkan minuman segala di ruang rapat. Sejatinya rapat itu adalah bagian dari pekerjaan, dan bukan lah ajang untuk minum atau makan.

Satu menit… Dua menit… Tiga menit…

Mereka semua mulai berdatangan.

Saya menyadari mereka menatap saya sambil tersenyum-senyum. Tentu saja karena kejadian kemaren, di ruangan saya. Saat Arka mengerjai.

Saya tidak peduli, wajah serius ini akan menenggelamkan niat mereka untuk menertawakan.

Saya mengamati satu per satu. Kursi di ruang rapat ini sengaja di susun berleret saja, menghadap ke saya.

Arka, Aira, Helen, Ovhie, Jeki, Erika, Zizi, Indri dan Jodi. Sembilan orang yang berada di ruangan Redaksi.

"Baik, semua sudah hadir?"

"Sudah, Pak."

Mereka menjawab dengan raut yang macam-macam. Ada yang tampak kurang senang, ada yang terlihat cemas, ada yang senyum-senyum kagum melihat saya. Dan ada yang serius dan tampak tenang, Ovhie, Wapemred.

"Dengan keberadaan saya di kantor ini, saya harap anda semua bisa mengikuti aturan main yang sudah saya buat."

Saya membuka catatan, yang sebenarnya isinya sudah saya kuasai.

"Pertama, tepat jam delapan, harus sudah hadir semuanya di ruangan ini. Tiga puluh menit pertama, saya harapkan kita bisa berdiskusi untuk saling berbagi, saling memberi usul dan masukkan demi kedigjayaan Nabastala di masa depan."

Saya mengamati wajah-wajah protes itu satu per- satu. Dan lagi-lagi, saya melihat Ovhie, tampak tenang. Apa yang ada dipikirannya. Sorot matanya terlihat kosong. Apa dia mendengarkan saya?

"Tidak ada protes! lanjut, aturan kedua, tidak ada yang bersantai di saat jam kerja, dan tidak ada yang kerja di saat waktu bersantai tiba."

Saya mengamati lagi wajah-wajah mereka. Bingung? tentu saja.

"Gunakan waktu sesuai pada tempatnya. Saya harap ini dapat dipahami."

Arka terlihat menatap saya tanpa berkedip. Dahinya berkerut. Nabastala sekarang adalah lahan saya, jadi semua yang ada di sini adalah orang-orang yang akan diminta untuk menggarap sesuai dengan perintah saya.

"Lanjut, aturan ketiga, izin tanpa kejelasan tidak dibenarkan. Harus ada surat-surat yang mendukung. Dan, tidak dibenarkan juga berkeliaran kemana pun untuk urusan yang tidak jelas, selama jam kerja."

Saya menatap Aira tajam, dan dia langsung gelagapan.

"Kecuali atas izin dari saya."

Lalu saya arahkan pandangan ke semua audience,

"Ada pertanyaan? Aira?"

Saya sengaja ingin membantai karyawan seenak jidad satu ini. Meskipun ia memiliki keindahan yang saya sukai, tapi, ketidak tertarikkan saya sudah terpatri saat melihatnya mangkir dan seenaknya dengan wewenang yang diberikan Nabastala padanya.

Aira tampak gugup, lalu tertunduk. Semua mata pun menatap ke arahnya.

Saya tersenyum sinis. "Jika tidak ada, lanjut aturan keempat."

Helen mengangkat tangan.

Skip dulu, saya akan membuka tabir tentang karyawan yang satu ini.

Helen, posisi Redaktur atau yang biasa disebut Editor awal, dimana pekerjaannya adalah mengolah informasi mentah yang sudah didapat di lapangan. Orang ini tipikal yang cukup serius, ia juga tidak banyak bicara, dan cenderung berdiam diri. Mengerjakan pekerjaan seorang diri. Tidak suka diganggu, tidak suka lembur, bekerja sesuai dengan jam. Cukup disiplin.

"Seperti apa izin tanpa kejelasan yang anda maksud, Bapak CEO?"

Saya mengamati gelagatnya. Dia tampak tidak terlalu suka dengan kehadiran saya.

"Harus kah saya rincikan di sini?"

Saya kembali melirik Aira, Redaktur Pelaksana yang sangat jauh dari kata disiplin. Dia tampak tidak nyaman dengan tatapan saya yang mengintimidasi.

Dan baru akan memulai untuk melanjutkan, seseorang mengetuk pintu ruang rapat.

Saya terpaksa menghentikan ucapan dan membiarkan wanita penganggu pandangan masuk bersama dengan satu orang temannya.

Dia tampak bingung, mau menyusun gelas-gelas itu di mana, dan meletakkan water tank juga di mana.

Saya tidak mempedulikan. Dan yang mengarahkan justru Arka.

"Di ruang rapat emang nggak ada tempat peletakkan ini, Kiyut. Jadi bawa aja balik ke dapur ya. Nanti kita aja yang ke sana. Oke, Kiyut."

Apa? Kiyut? Sebegitu dibilang Kiyut. Wajah Arka saat mengucapkannya tampak ceria dan tulus. Saya tidak mengerti dari sisi mana, wanita penganggu pandangan itu terlihat Kiyut.

Hah! Sudahlah, tak perlu dipikirkan.

Saya pun masih diam, hingga dua orang itu keluar.

"Oke, lanjut, aturan ke empat, dilarang terlambat. Akan diberlakukan pemotongan gaji, bagi yang terlambat check lock absen. Jam operasional kantor, dimulai dari pukul, tujuh tiga puluh sampai dengan pukul setengah lima. Jika terlambat satu menit saja, langsung terkena sangsi."

Mereka meringis, lalu bersuara seperti murai.

"Bisa diam! Jika ada yang tidak terima, sampaikan saat ini juga."

Ovhie pun mengangkat tangan.

Skip, informasi tentang Wapemred ini. Dia sosok, seperti yang pernah dibilang Arka, sangat rajin mencatat. Saya melihat penanya bergerak setiap kali saya bicara. Meskipun tatapannya cenderung terlihat kosong. Pembawaan pun juga tak kalah serius dari Helen. Wajahnya menurut saya pas-pasan, namun kepiawaian dia berdandan, mampu menutupi kekurangan itu.

Yang kurang baik dari dia, adalah tidak disiplin. Dialah yang sering sekali telat, hampir sama dengan Aira.

"Kenapa dimajukan jam operasional kantor, tidakkah itu terlalu pagi. Jakarta bukan kota yang sepi, kemacetan dimana-mana, dan hal itu lah yang membuat saya sering datang terlambat."

Bagus, saya suka pengakuan jujurnya.

"Silahkan bincangkan, jam operasional yang kalian inginkan, pukul berapa? Saya beri waktu lima menit."

Saya mempersilahkan mereka berdiskusi, sambil menatap satu per satu.

Di saat semua sibuk bertukar pendapat, dua sosok ini malah terlena menatap pada saya.

Ericka, Redaktur Pracetak. Usia dua puluh satu tahun. Keahlian dalam bekerja, sangat teliti, meski di beberapa kondisi ia sangat gampang sekali terpancing suasana, terlebih jika ada panggilan untuk bergosip. Wajahnya menurut saya cukup cantik, imut. Ciri khas penampilannya, selalu menggunakan pita warna-warni di poni, dan rambut diikat dua. Lebih mirip dandanan anak SD. Tapi, kiyut. Ah! Kenapa saya jadi ikut-ikutan Arka.

Dan Zizi, Juru ketik, keahliann teranyarnya tentu saya mengetik dengan sepuluh jari level mahir. Ia menggunakan kaca mata. Gadis ini juga sangat gampang terpengaruh sama halnya dengan Ericka. Ciri penampilan, suka memakai bando untuk menghiasi rambut pendek model bobnya. Kebiasaan unik yang ia miliki, selalu mengemut lollipop jika sedang banyak pekerjaan.

Dua orang ini lah, yang dengan terang-terangan menatap saya penuh kekaguman.

"Kalian tidak ikut berdiskusi, atau menyetujui saja aturan saya."

Mereka pun gelagapan mendapati saya menegur keduanya.

Lima menit berlalu.

"Saya harap sudah ada keputusan final, jam berapa?"

Ovhie yang akan menjawab, ia sudah mulai membuka mulut.

"Tetap jam setengah delapan."

Arka mendahului.

Yang kurang disiplin menyorot Pemred mereka dengan sinis.

Saya mengangguk, dan menetapkan pukul setengah delapan batas waktu check lock.

***

***