1 HUKUMAN ATAU CIUMAN?

Nisa tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Jam sudah menunjukan pukul 07.30, gerbang sekolah pun sudah di tutup, ditambah mata pelajaran di jam pertama hari ini ia mendapatkan pelajaran biologi yang gurunya sangat, sangat killer!

Nisa berani bertaruh bahwa siapapun yang mendengar suara perempuan berambut lurus panjang sepinggang dengan tatapannya yang mematikan, gendang telinga orang itu akan secara mendadak pecah dalam hitungan detik.

Nisa menggerutu pelan, "ini semua karna Rehan! Buat apa coba dia ngubah jam alarm gue? Jadi, terlambat, kan, gue! Kalau aja dia bukan abang gue, udah gue jadiin sate terus gue bagi ke kecebong-kecebong yang ada di kolam lele Rumah tetangga tuh orang."

Nisa tak henti-hentinya menggerutu sambil terus menoleh kesana-kemari berharap ada orang lewat dan mau membukakan gerbangnya.

Beberapa saat kemudian, senyum Nisa mengembang saat ia melihat seorang cowok berjalan menghampirinya.

"Ehh, cowok! Tolong bukain gerbangnya dong," pinta Nisa saat cowok tersebut telah berada di hadapannya.

Cowok itu hanya diam kemudian membuka gerbang dengan tampang dingin dan datarnya.

"Ganteng sih, iya! Sayang, tampangnya datar kayak triplek. Jadi, males banget buat mepet dia, suer!" gerutu Nisa sedikit keras. Ia memang berharap cowok itu mendengar gerutuannya.

Cowok tersebut menghentikan aktivitasnya kemudian menaikan sebelah alisnya seolah bertanya, 'apa?'

"Ganteng-ganteng Tuli!"

"Lo bilang apa?"

'What the … akh! suaranya gentle abis, ya, ampun! Serak-serak basah! Gak kuat gue kalau disodorin cowok tampilan kek gini!' batin Nisa heboh.

"Kok diam?"

' Huah, sumpah! Demi sempaknya Rehan yang gak pernah di ganti sebulan! Suaranya bikin gue meleleh! Kalau gini gak kuat dedek, Bang!' Nisa terus memuji segala hal yang baru saja ia temui pada cowok di depannya itu dalam hati.

Tak mendapat jawaban selain tatapan berbinar yang sering ia dapatkan dari cewek-cewek kebanyakan yang telah ia temui, cowok tersebut akhirnya kembali melanjutkan aktivtasnya yang sempat tertunda tadi.

Saat gerbang sudah terbuka Nisa pun masuk dan berdiri tepat di hadapan cowok tersebut. "Thank, ya, cogan pemilik suara gentle!"

Cowok itu mengernyit bingung. Sementara tanpa ada rasa malunya, Nisa lantas berniat pergi meninggalkan cowok tersebut. Namun sayangnya, langkah Nisa terhenti saat cowok tersebut mencekal tangannya.

"Ngapain pegang-pegang? Mau ngajak ke pelaminan? Ayolah! Gue mau!" ujar Nisa semangat, setengah bercanda.

'Sehat, nggak sih?' batin Cowok tersebut kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Mau kemana?" tanya cowok itu kemudian dengan nada dingin yang begitu khas.

Nisa hanya mengernyitkan dahinya bingung. "Ya ... gue mau ke kelaslah! Ya kali ke kebun binatang sambil bawa peliharaannya Dora!"

"Sehat?"

"Gue always sehat dan gak akan pernah sakit. Kecuali sakit hati!"

'Beneran gak waras nih bocah!' batin cowok itu sembari menghela napas panjang.

"By the way, siapa yang ngasih izin lo ke kelas?!" tanya cowok tersebut.

Nisa semakin diuat bingung. Dahinya berkerut. "Maksud lo?"

"RUANG OSIS!" tekan cowok itu tegas.

"Hah?" Nisa menunjuk dirinya sendiri. "Hubungannya apa sama gue?"

Cowok tersebut menghela nafas kasar. "Ke ruang osis sekarang juga!"

"Nggak! Ngapain coba gue ke ruang osis, lo mau macem-macem, ya?" sosok Nisa yang penuh akan kepercayaan diri mulai muncul. Cewek itu mengibaskan rambutnya, berlagak cantik walaupun nyatanya memang begitu adanya. "Soalnya kan gue cewek tercuantik yang bisa bikin semua cowok gak kedip setelah liat wajah gue!"

"Jalan sendiri atau gue seret?"

Nisa mengerutkan keningnya. 'Kok gak mempan ya? Biasanya nih, ya, kalau cowok-cowok modelan nih orang digoda kayak gini auto meleyot."

"Lo … cowok bukan sih?" tanya Nisa sedikit ragu.

"Hmm...."

"Gue boleh cek 'adik' lo gak?"

Seketika mata cowok itu membulat dan menatap tajam Nisa seolah berkata 'lo gila!'

Nisa hanya mengedikan bahunya acuh. "Cuma sebagai pembuktian doang!"

Nisa kemudian terdiam. "Soalnya baru kali ini gue ngegoda cowok gak mempan."

"Ruang OSIS sekarang!" Seakan muak dengan tingkah Nisa, cowok itu menekankan kalimat itu lagi.

"Gue bilang juga gak, ya, gak lah! Cowok kok maksa?" Nisa melotot tajam.

Merasa sudah kehilangan kesabarannya, tanpa basa-basi cowok tersebut lantas menarik Nisa menuju ke Ruang OSIS.

"Ehh … bentar! Bentar! Gue kok ditarik sih?! Lepas gak! Gue dapat guru killer sekarang! Kalau mau ngajak ke pelaminan jangan sekarang dong!" ujar Nisa masih sempat-sempatnya melawak.

Cowok itu tak berniat menghiraukan ucapan Nisa. Ia terus menarik tangan Nisa.

***

Sedari tadi Nisa tak bisa diam saat duduk di hadapan cowok yang bernama Bayu di depannya setelah mendengar fakta yang keluar dari mulut cowok itu.

"Jadi lo beneran Ketos?" tanya Nisa dengan tatapan sendu sekaligus tak percaya.

"Bukan, gue manusia!"

"Owh ... selamat lah!" Nisa mengusap-usap dadanya, seolah-olah sedang membuktikan bahwa dirinya begitu bersyukur.

Melihat tatapan bayu yang begitu sinis, Nisa lantas membalas tatapan itu bingung. "Kenapa liat gue kayak gitu? Gue kan cma bersyukur karena gue gak bakalan di hukum sama Ketos yang katanya pintar, galak, dingin, keren, tapi sekalinya ngomong tuh irit banget. Nah, yang paling penting nyelekik banget di hati, pedes kayak .... dah yang itu dah!"

Mendengar itu, Bayu terkekeh sinis. "Lo pura-pura bodoh atau emang udah bodoh sejak lahir? Gue Bayu Andika Wijaya, Ketos yang lo katain tadi."

Nisa meringis pelan, sedikit terkejut dengan ucapan Bayu yang terlewat ngegas. "Kok ngegas, Pak?! Selow dong kayak di pantai biar sama-sama adem."

Nisa sepertinya masih belum percaya dengan kenyataan bahwa Bayu memanglah Ketos yang selama ini jarang sekali ia lihat.

Bayu mengacak rambutnya kesal. "Manusia bukan sih?!"

"Gue?" tanya Nisa, "Gue bukan manusia, gue human yang tercipta dari perpaduan sperma Papa gue dengan sel telur--"

"Sekarang lo pergi ke lapangan dan lari dua puluh putaran!" titah Bayu cepat, muak dengan Nisa.

"What?!" teriak Nisa kencang, "Nggak! Gue gak mau! Gue gak mau kulit gue ini gosong karena lari keliling lapangan. Emang lo kira mudah ya jaga kulit gue biar tetap kinclong dan mulus?! Lo mau beliin gue skincare lagi?!"

"Kulit hitam kayak batu aja sombong!" Tanpa sadar, Bayu bergumam demikian.

"Batu? Woe, punya mata gak? Lihat nih! Kulit gue kinclong, mulus, bersinar ngalahin pantat panci!"

Bayu menghela napas panjang. "Dua puluh atau lima puluh?"

"Nggak mau, ya, gak mau, dong! Dibilangin kok gak mau denger kayak gini sih?!"

"Lima puluh atau tujuh puluh?"

Nisa meloto. "Nggak!"

"Tujuh puluh atau delapan puluh?"

Nisa berdiri dari duduknya, merasa tak terima."Hy! Gue cewek, ya! Nggak ngotak banget nyuruh lari sampai delapan puluh putaran."

Bayu bangun kemudian menatap Nisa dengan pandangan mengejek. "Yang bilang lo cowok siapa?"

Nisa melupakan kekesalannya, cewek itu lantas mengaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ya … ya nggak ada, sih."

Bayu berjalan mendekati Nisa. "Tujuh puluh atau lima puluh?"

Nisa berpikir sejenak.

'Jadi ceritanya mau di turunin nih?' batin Nisa.

"Nggak ada! Lima puluh itu masih keparahan banget buat gue yang berkelamin cewek. Kalau cowok kan beda cerita lagi," balas Nisa dengan santainya.

"Lima puluh atau dua puluh?"

"Nggak, ya! Nggak bakal mau gue!"

"Dua puluh atau gue cium lo?"

avataravatar
Next chapter