1 Pulang Kampung

Bus melaju semakin perlahan ketika hendak sampai di perbatasan gapura desaku, tertulis "Selamat Datang di Desa Pangumbara".

Sudah lama sekali aku tidak pulang kampung. Sudah sekitar dua belas tahun lamanya. Ayah memutuskan mengajakku ikut bersamanya tinggal di Jakarta, untuk menemaninya sekaligus melanjutkan ke sekolah yang lebih bagus katanya.

Ayah dan ibu sudah lama berpisah, sejak aku berusia tujuh tahun. Terkenang jelas dalam ingatan ketika ayah pergi.

Saat itu, aku lihat ayah keluar rumah dengan wajah yang penuh amarah. Lalu, ibu keluar dari kamarnya diikuti seorang pria asing. Ibu mengejar ayah sampai depan rumah.

Aku mengekor di belakang ibu. Ibu berlutut di kaki ayah, bersimpuh memohon maaf. Ayah memandangku dengan berurai air mata. Kemudian pergi meninggalkanku dan ibu.

Sebenarnya, jika boleh memilih, aku ingin terus tinggal bersama ayah di Jakarta. Namun, ibu sedang sakit, dia lebih membutuhkanku di sampingnya.

Aku tidak suka kepada ibu dan keluarganya. Mereka tidak pernah menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.

Selama aku tinggal di kampung bersama ibu, tidak pernah diajari salat dan mengaji. Untung saja Ayah membawaku di usia sepuluh tahun, sehingga belum terlambat bagiku untuk belajar ilmu agama.

Aku menghela nafas berat, memang lebih baik jika tinggal bersama Ayah.

***

Aku sudah turun dari bus, kupandangi lahan kosong yang luas di depan mata. Kampungku masih jauh sekali dari gapura desa ini, akan memakan waktu lebih dari satu jam jika ditempuh dengan berjalan kaki.

Apalagi, jika harus melewati hutan dan lahan kosong lainnya. Menakutkan sekali. Namun, jalanan ini sedari dahulu selalu sepi, jarang ada kendaraan yang lewat kemari.

Aku menghela nafas berat, melangkahkan kaki masuk ke dalam gapura. Berjalan gontai dengan membawa tas besar di punggung dan satu koper berukuran sedang, di jinjingan.

Samar terdengar dari kejauhan suara kendaraan sepeda motor, senyumku mengembang ketika terlihat siapa orang yang mengendarai motor tersebut.

Itu Fatma, adik sepupuku. Fatma adalah anak dari Bik Yum, adik ibuku.

Sebelumnya, ayah sudah memberitahukan kepadaku jika Fatma akan menjemput di gapura desa.

Aku antusias mendengar namanya, begitu senangnya akan bertemu kembali dengan adik sepupu yang paling dekat denganku.

Sepeda motor matic berbodi merah putih itu perlahan berhenti di depanku, senyum sang pengendara mengembang menatapku.

"Lama gak?" ucap Fatma padaku, aku menggelengkan kepala seraya tersenyum kepadanya.

"Masih inget 'kan sama aku, Teh?" tanya Fatma menaikkan kedua alisnya yang tercukur rapi, aku tersenyum unjuk gigi.

"Iyalah, inget," ucapku sembari mengusap lengannya.

"Yo, naik," ucapnya menengok ke jok belakang, mengisyaratkan padaku untuk naik.

Fatma membantu mengangkat koper sedang yang kubawa, menaruhnya di bagian pijakan kaki sepeda motor. Lalu, kembali menaruh tas punggungku di atasnya. Aku naik tanpa beban di jok belakang.

Fatma mulai melajukan sepeda motornya, perlahan menyusuri hutan pinus, hutan mahoni, hutan kopi, hutan nangka, dan lainnya.

Banyak pepohonan tinggi yang menghalangi sinar matahari. Meskipun siang hari, tetapi keadaan sekitar begitu gelap karena sinar matahari tertutup oleh rimbunnya dedaunan.

Saat itu aku dan Fatma sering bermain bersama, usianya lima tahun di bawahku. Baju, sepatu, topi, bahkan mainan pun harus sama layaknya seperti adik-kakak.

Keluarga kami adalah keluarga jaipong, sebut saja begitu karena semua perempuan di keluargaku adalah penari jaipong.

Kami sering berlatih tari jaipong di sanggar kesenian milik kakek, tubuhku saat itu begitu luwes menari. Namun, kini tubuhku sudah kaku dan tak bisa menari.

Aku heran kenapa anak dan cucu dari nenekku semuanya perempuan. Tidak ada satu pun anak lelaki diantara kami. Aku hanya mempunyai Uwa perempuan dan Bibi.

Sepupuku semuanya perempuan, tidak ada anak laki-laki. Anehnya, Uwa dan Bibi semuanya janda. Termasuk ibuku.

Hanya ada satu laki-laki di keluarga ibu, yaitu kakek. Ya, hanya kakeklah satu-satunya lelaki di keluarga ibu. Sudah 12 tahun, aku tidak bertemu atau mendengar kabarnya. Apa kakek masih hidup?

Semenjak dibawa ayah, aku tidak pernah tahu kabar ibu dan saudara-saudara yang lainnya. Ayah selalu melarangku untuk menelpon atau menemui mereka, bahkan saat aku sakit dan butuh kehangatan ibu, tak pernah sedikit pun ayah mengizinkan walau hanya sekadar mendengar suaranya saja.

Aku tahu ayah begitu kecewa kepada ibu, tetapi aku juga merindukan ibu. Seburuk apapun ibu, dia tetaplah ibuku. Meskipun nyatanya lebih nyaman tinggal bersama ayah, di banding ibu yang berprofesi sebagai seorang penari jaipong.

Bila aku ingat kembali, tinggal bersama ibu pun seperti tinggal sendirian. Keseharianku hanya di temani oleh Fatma dan Ailin. Ailin adalah anak Uwa Isah, kakak dari ibuku.

Entah seperti apa wajah mereka sekarang, apakah mereka semua sehat?

***

"Teh, kalau nanti aku ikut ke Jakarta boleh gak?" ucap Fatma tanpa menoleh padaku.

"Boleh," ucapku.

"Kamu masih sekolah?", sambungku.

"Masih, Teh."

Aku mengernyitkan kening, "Loh, kok, mau ke jakarta?"

"Nanti kalau udah lulus, Teh. Aku pingin jadi artis," katanya sambil tertawa.

Aku menarik nafas, menghirup udara segar ketika sepeda motor sudah memasukki kebun teh. Mataku di manjakan oleh pemandangan indah hamparan luas kebun teh yang tidak pernah terlihat di kota Jakarta.

"Ma, kamu ... jadi penari jaipong?"

"Iya, hehe. Nanti malam Teteh nonton, ya," ucap Fatma, menatapku dari kaca spion.

Aku mengernyitkan kening, "malam ini tampil? Dimana?"

"Di balai desa, Teh."

Aku mengangguk-anggukkan kepala, tanda mengerti.

***

Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri, ketika sepeda motor matic Fatma mulai memasukki hutan pinus.

Senyumku mengembang, pemandangan di sini begitu indah dan terjaga keasriannya.

Ehh~

Mataku memicing ketika tak sengaja melihat seorang nenek berdiri di samping pohon pinus yang cukup besar, dia seperti tengah tersenyum kepadaku.

Aku terus memperhatikan nenek itu dari jauh, sampai sepeda motor matic Fatma berbelok dari tikungan depan dan tidak lagi menampakkan deretan pohon pinus.

"Masih jauh, ya?" tanyaku pada Fatma, ketika sepeda motor mulai memasukki kebun dengan banyaknya pohon mahoni yang berjejer rapi di pinggir jalan.

"Bentar lagi, Teh. Tinggal lewatin kebun cengkeh di depan sana," ucapnya seraya menunjuk ke arah depan.

Aku mengerucutkan bibir, masih cukup lama rupanya. Ini kebun atau hutan, ya? Ujung jalannya saja tidak terlihat, bokongku sudah panas berlama-lama duduk di atas sepeda motor.

"Ma, kakek sehat?"

"Sehat, Teh. Sehat banget," ucapnya melirikku dari kaca spion, aku balas tersenyum.

Anak ini sekarang sudah remaja dan tumbuh dengan cantik, tubuhnya pun bagus. Mungkin karena sering menari dari kecil, sehingga lekuk tubuhnya terbentuk sendiri.

Masih jelas dalam ingatanku, wajah Fatma yang dahulu. Ingusan, dekil, kotor karena selalu bermain tanah. Dan, tingkahnya persis anak lelaki.

Kini, dia tumbuh cantik, anggun, menawan, dan memiliki tubuh yang indah.

Senyumku kembali mengembang teringat kebersamaan kami ketika kecil dahulu, terkadang aku selalu turut serta membantu Bik Yum memandikan Fatma.

Kata kebanyakan orang, kami seperti kakak beradik yang kompak.

Meskipun kami sudah lama sekali tidak bertemu, tetapi rasanya seperti baru kemarin berpisah.

Fatma yang memiliki sifat ceria, membawaku dalam suasana yang nyaman. Syukurlah, sifatnya tidak berubah.

Bagaimana dengan Ailin, ya?

avataravatar
Next chapter