1 1. Mayat Hidup!

Juli, 1951

Masniah di pembaringannya terhentak-hentak seraya mendelikkan matanya seperti tersiksa. Matanya membelalak dan mulutnya mengerang kesakitan.

"Aarrgh... hrrkkkkhh...!" Tangannya menggapai kesana-kemari, kakinya dihentak-hentakkan. Burhan menggigil di sudut ruangan melihat isterinya sekarat.

Tubuh wanita cantik yang semula montok itu, kini terlihat kurus kering. Burhan hampir saja meneteskan air mata melihat kondisi isterinya yang semakin parah.

Benar saja. Tiga hari kemudian Masniah akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia meninggal di pelukan suaminya yang setia menemaninya. Tubuh wanita itu terlihat melepuh dan berwarna biru.

Matanya membelalak menatap langit-langit kamar. Orang-orang banyak yang melayat, sebagian besar hanya karena memandang kebaikan Burhan sang suami di kampung itu.

Masniah meninggalkan suaminya yang begitu mencintainya, sekaligus meninggalkan cerita tak sedap di kalangan warga.

Cerita tak sedap itu tersiar saat Burhan berbisik bahwa ia minta ditemani untuk menjaga kuburan isterinya selama tiga malam. Hal itu menimbulkan kecurigaan di hati warga.

"Sesuai pesan mendiang isteriku, Pandi. Aku harus menunggui makamnya selama tiga malam setelah kematiannya. Ada sesuatu yang harus kulakukan pada makam isteriku jika sesuatu terjadi..."

Begitu Burhan pernah berbisik saat meminta Ruspandi dan beberapa rekannya untuk menemaninya. Bahkan sebegitu penting nya ia sampai rela mengeluarkan uang yang cukup banyak demi membayar orang-orang tersebut.

Burhan juga berkeinginan memakamkan isterinya di halaman belakang rumah. Tak ada kemauan bagi dirinya untuk memakamkan isterinya di pemakaman umum kendati pihak fardukifayah menyarankan demikian. Ia seperti mewaspadai sesuatu sehingga menghindari isterinya dimakamkan di pemakaman umum.

Satu persatu orang-orang tersebut dihubungi oleh Ruspandi, akhirnya ditemukan juga sebanyak lima orang relawan, ditambah Ruspandi dan Burhan sendiri. Mereka yang dipilih adalah orang-orang yang bermental kuat dan dianggap bisa menjaga rahasia.

Menjelang sore jenazah Masniah dimandikan. Satu persatu pelayat pulang ke rumah masing-masing. Sehingga yang tersisa adalah orang-orang yang menangani jenazah saja.

Saat memandikan, empat orang pemandi jenazah menemukan kejanggalan pada jasad Masniah. Kendati telah terbujur kaku, namun mayat tersebut masih terlihat berkeloyotan saat air diguyurkan ke tubuhnya. Kedua jempol kaki si mayat juga terlihat melekuk ke atas, tak seperti jenazah pada umumnya.

Mata si mayat juga terlihat membelalak kosong dan kadang bergerak memandang satu persatu mereka yang memandikan secara bergiliran.

"Auzubillah!" bisik Siti Jumriah saat melihat kepala si mayat berpaling ke arahnya seraya menatapnya. Ia memejamkan mata sesaat sambil memalingkan wajah seraya melanjutkan tugasnya. "Kalau sampai aku berteriak dan lari, bakalan tidak ada lagi yang mau mengurusi mayat ini," pikirnya sambil menguat-nguatkan hati.

Tak berapa lama kemudian kepala mayat itu berputar lagi, kali ini mengarahkan pandangannya kepada Umi Kalsum yang menangani di bagian betis si mayat. Perempuan berusia lima puluhan tahun itupun terperanjat, dan mengucap istigfar. "Astagfirullah...!"

Keempat pemandi mayat sama-sama merinding, namun tak berani berkata apa-apa selain berusaha menyelesaikan tugasnya secepat mungkin. Dan dengan tergesa-gesa pula. Tangan dan kaki mereka sama-sama gemetar. Mereka saling berbisik satu sama lain.

"Jangan katakan pada siapa-siapa, ya, karena ini aib bagi si mayat dan keluarganya..." bisik Siti Jumriah kepada ketiga rekannya.

Usai dimandikan, mayat Masniah pun segera dikafankan. Saat prosesi pemasangan kain kafan, mayat Masniah kembali 'bertingkah'.

Beberapa kali keempat perempuan yang mengurusi mayat Masniah melihat mata Masniah mendelik ke arah mereka secara bergiliran, membuat keempatnya hampir saja terkencing di celana karena ketakutan.

Untung saja ada Burhan yang mendampingi mereka sehingga keempat wanita separuh baya itu tidak lari lintang pukang.

"Nanti akan aku bayar mahal Nyai, selesaikan saja tugasnya," Burhan setengah memohon. Mereka pun diwanti-wanti untuk tidak menceritakan kejadian itu kepada orang-orang di luar.

Selewat magrib, agak menjelang malam barulah selesai pemakaman. Masniah dimakamkan di halaman belakang rumah, yang sekelilingnya dihalangi oleh tembok. Sehingga tak seorangpun bisa melihat kuburan itu dari luar. Terkecuali harus masuk dahulu ke dalam rumah.

Burhan agaknya memang sengaja menyembunyikan makam isterinya dari pandangan banyak orang. Untuk membantu pemakaman itu ia hanya mempekerjaan Ruspandi dan seorang kawannya di belakang rumah. Dan itu termasuk harus ikut berjaga di sekitar makam selama tiga hari tiga malam.

Ada sesuatu yang ia tunggu terhadap makam isterinya. Sesuatu yang mungkin bakal membuat Ruspandi dan kawannya merinding, andai saja Burhan tidak berpesan terlebih dahulu bahwa mereka harus kuat nyali dalam menjalankan tugasnya.

"Aku akan bayar mahal kalian semua, kerja kalian tidak akan sia-sia," ujarnya membujuk. Sebab Ruspandi dan kawannya dilihatnya sudah agak menciut tatkala ia ceritakan kemungkinan apa yang terjadi terhadap makam isterinya. "Kalian tak perlu takut. Aku yang akan mengerjakan segala sesuatunya, kalian hanya menunggu dan hanya membantu jika terjadi sesuatu yang sulit kukendalikan."

"Maksud Bang Burhan...?"

Belum lagi pertanyaan Ruspandi terjawab, tiba-tiba terdengar lolongan anjing.

AAUUUUUNG....!

Suara lolongan itu terdengar begitu dekat dengan rumah yang ditempati Burhan, membuat Ruspandi dan kawan merinding. Mereka terjengit sesaat karena terkejut, bahkan keduanya terlihat mengurut dada.

Burhan tertawa sumbang, seperti menutupi perasaan serba salah. "Tak usah berlebihanlah, Rupandi, itu cuma suara seekor anjing..." kilahnya.

Namun raut wajahnya menunjukkan kalau ia juga mencemaskan sesuatu.

Sesekali, dengan perasaan gelisah ia menoleh ke arah makam isterinya yang baru saja dikuburkan. Tanah makam itu terlihat masih membasah dengan taburan bunga rupa-rupa di atas gundukannya.

Burhan lantas teringat sesuatu. Ia lupa mengajak Ruspandi dan rekannya untuk makan.

"Rus, aku siapkan makan dulu buat kalian, ya? Kalian tunggu sebentar,"

"Santai aja bang, sebenarnya saya belum ada selera makan," kata Ruspandi sambil mengibaskan tangan. Berusaha ia tersenyum meski senyumnya terlihat kecut.

"Hm, kau benar! Dalam situasi begini tak mungkinlah kita punya selera makan," Burhan memaksa tertawa tapi suaranya terdengar sumbang.

"Tapi aku tetap siapkan makan untuk kalian. Toh kita perlu tenaga untuk berjaga-jaga malam ini," katanya seraya melangkah ke dalam rumah.

Malam semakin merangkak naik.

B

ulan purnama sebagian tertutup oleh awan. Bergumpal-gumpal di langit gelap. Hampir menutupi seluruh cahaya pucat yang dipancarkan oleh sang rembulan.

Malam juga ditingkahi oleh suara burung hantu yang terdengar mengeluh menyambut datangnya gelap.

Suara anjing kembali lagi terdengar. Kali ini saling bersahut-sahutan.

Ruspandi merapatkan jaket kulitnya. Angin malam yang berhembus sepoi-sepoi begitu terasa menusuk tulangnya. Ia menggigil. Lantas merapatkan tubuhnya ke dinding tembok yang mengelilingi halaman belakang.

Dilihatnya kawannya juga telah telah membungkus diri mereka dengan kain sarung. Matanya setengah terpejam, tapi tak berani terpejam betulan. Yang ada hanya mulut yang menguap, serta tepukan pada pipi untuk mengusir nyamuk yang semakin malam semakin mengganas.

"Tak ada obat nyamuk, Rus?" desis Mat Arpan, teman Ruspandi. Pria berdarah Madura itu terlihat kesal sembari tangannya sibuk tepuk sana tepuk sini mengusir nyamuk.

"Sebentar, ya. Aku tanyakan dulu dengan Bang Burhan," Ruspandi hendak melangkah masuk ke dalam rumah menemui Burhan.

"Jangan lama-lama...! Aku takut!" bisik Mat Arpan gelisah. Ia sesekali melirik ke arah makam yang tanahnya masih basah, yang memperlihatkan aneka rupa bunga yang bertaburan di atasnya.

"Tenang saja, ah!...aku tidak akan lama...!"

Ruspandi hampir saja beranjak ke arah rumah, ketika lagi-lagi Mat Arpan memanggilnya, kali ini suaranya agak gugup. "Rus...! Ruspandi...!"

Ruspandi menoleh ke belakang. Keningnya berkerut. "Ya? Ada apa lagi?"

Mat Arpan menunjuk-nunjuk ke arah makam dengan

wajah ketakutan, matanya membelalak. Semula Ruspandi mengira Mat Arpan main-main, namun ketika dilihatnya sebagian tanah makam bergerak-gerak, langkahnya tertahan. Tanah yang mereka pijak terasa agak bergetar.

Ia tertegun sejenak.

"Cepat panggil Bang Burhan!" desis Mat Arpan panik.

Ruspandi langsung menerobos masuk ke dalam rumah. "Bang, Burhan! Bang Burhaaan...!" ia tergopoh-gopoh berlari sambil berteriak ke dapur. Dilihatnya Burhan tengah berada di dekat penggorengan, sedang menggoreng sesuatu.

Suami almarhum Masniah itu tersentak, seperti paham apa yang terjadi, ia bergegas mematikan kompor. "Ya, ya! Aku ke sana!"

Burhan bergegas berlari meninggalkan penggorengan yang masih mendidih. Keduanya tergesa-gesa menuju halaman belakang.

Saat mereka berada di halaman belakang, angin sudah berhembus kencang, serta berputar-putar mengelilingi makam.

Di tengah deru angin kencang yang menggoyang pepohonan, terdengar suara berderak seperti kayu patah yang disusul suara paku-paku yang dicabut dari tempatnya.

Kreooooootttt...tt-tt-t...

Bunyinya cukup menyeramkan. Seperti mengisyaratkan sesuatu yang bakal bangkit dari kuburnya.

Ruspandi dan Mat Arpan terlihat berkeringat dingin sembari bersandar di tembok, sementara Burhan terlihat komat-kamit bibirnya seraya satu persatu mengayun langkah mendekati makam isterinya.

Tanah kuburan itu tampak bergerak-gerak sendiri seperti ada sesuatu yang hidup hendak menyembul ke permukaan. Batu nisannya bergoyang-goyang, lalu oleng ke kiri. Asap tipis mengepul, membubung ke udara.

"B-Bang Burhan?!" Ruspandi melotot. Ia memilih bersembunyi di belakang Burhan dengan wajah ketakutan, sementara Mat Arpan hanya tersandar di tembok dengan mata melotot tak percaya.

Dari dalam kuburan muncul sepasang tangan berwarna pucat. Bergerak-gerak hidup! Terlihat gelisah dan berusaha mengangkat tubuhnya naik ke permukaan. Tangan penuh lumpur itu menggapai-gapai mencari tempat berpegang.

Burhan terlihat mengusap wajahnya yang pucat pasi, namun di antara mereka bertiga dirinyalah yang terlihat paling tabah.

Kilat memancar berkali-kali. Langit terlihat gelisah. Gerakan tangan pada kuburan itu berhenti, seakan si empunya tangan menarik nafas sesaat. Tangan itu terlihat kaku dengan cakar mengarah ke atas.

Sesaat hening. Tak ada yang bersuara. Sama-sama menahan nafas sejenak. Semuanya berkeringat dingin.

Ruspandi mengusap peluh dingin yang membanjiri jidatnya. Ia mundur perlahan-lahan sambil menatap Burhan. Andai saja ia tidak dipesani Burhan untuk tetap bertahan di tempat, mungkin ia sudah mengambil langkah seribu sejak tadi.

"Ayo... bangkitlah, sayang... perlihatkan seluruh badanmu..." Burhan berbisik, lebih seperti kepada dirinya sendiri. Ia berdiri harap-harap cemas sembari memegang sesuatu di tangannya. Seperti benda runcing yang terbuat dari logam.

Kilat kembali memancar. Cahayanya yang sekejab terang tampak menerangi permukaan tanah kuburan yang membasah. Sepasang tangan itu kembali bergerak-gerak. Gelisah.

avataravatar
Next chapter