7 Kembali Ke Jakarta

Tia dan Rere berlari terengah-engah. Gesa terpisah dengan mereka. Ketika mereka akan pergi meninggalkan rumah sakit ternyata para penjahat itu masih menunggu mereka. Taksi yang mereka tumpangi ternyata telah di sabotase. Sopir taksi salah satu dari penjahat. Mereka dibawa ke tempat sepi. Mereka berlari berpencar menyelamatkan diri.

Terpaksa mereka menyelamatkan diri masing-masing. Gesa berlari masuk hutan. Tia dan Rere juga masuk hutan tapi mereka berlari ke arah yang berlawanan dengan Gesa.

Mereka memberanikan diri masuk hutan menghindari para penjahat itu. Mimpi apa Rere bisa mengalami kejadian buruk ini. Ujian silih berganti datang padanya. Ya Tuhan…..Rere mengucap dalam hati.

Kedua semakin masuk ke dalam hutan. Suara tembakan peringatan tak mereka hiraukan seolah rasa takut itu telah hilang. Kaki Rere kesakitan karena tertusuk batu tajam. Mereka berdua tak memakai sandal karena lepas ketika berlari.

Rere dan Tia sampai di depan sebuah sungai. Dahaga segera mereka tuntaskan dengan minum air sungai. Gelap dan suasana mencekam tanpa penerangan. Rasa takut itu seolah hilang. Yang penting mereka selamat dari kejaran para penjahat itu.

Tia dan Rere merendam kaki mereka dalam air. Otot kaki mereka jadi rileks karena dipakai berlarian seharian.

"Gesa dimana dia?" Rere masih saja memikirkan nasib orang lain. Baiknya kebangetan.

"Kita doakan saja Gesa bisa melarikan diri seperti kita."

"Tia apa sebaiknya kita lapor polis saja?"

"Bisa saja Re, tapi gue enggak yakin polis akan terima laporan kita. Gue rasa pembunuh Ananya ingin membunuh kalian berdua. Dalang pembunuhan ini bukan orang biasa. Dia pasti memiliki koneksi yang kuat. Melihat para penjahat itu, tampilan mereka seperti orang Kerajaan."

"Hussss. Jangan bicara sembarangan Tia."

"Gue enggak ngomong sembarangan. Feeling gue bilang gitu."

"Rere sebaiknya kita kembali ke Jakarta. KL sudah tak aman buat kita."

"Kuliah kita gimana?"

"Nyawa kita lebih berharga dari kuliah. Koneksi keluarga lo bisa membantu kita kuliah dimana aja."

"Tanggung Tia. Bentar lagi kita wisuda."

"Tanggung apa mau nyawa lo taruhannya?"

Rere terdiam. Ia meresapi kata-kata Tia.

"Bagaimana kita bisa kembali Tia? Mereka sudah mengetahui apartemen gue."

"Besok kita pikirkan. Besok pagi kita harus keluar dari hutan. Kita jangan masuk lebih dalam lagi. Gue takut jika kita semakin jauh dan tidak bisa keluar hutan sama sekali."

"Lo benar."

Ketika mereka sedang terlelap tidur. Mereka mendengarkan teriakan seorang wanita. Tia dan Rere bangun. Mereka waspada.

"Bukannya itu suara Gesa." Rere bersuara.

Rere dan Tia saling berpandangan. Samar-samar mereka melihat Gesa berlari menghindari kejaran para penjahat. Panik tentu saja mereka panik.

"Ya ampun. Bernafsu sekali mereka mencari kita," ucap Tia pelan.

Gesa terus menghindari kejaran para penjahat. Meski kakinya sakit karena berlari tanpa alas kaki. Gadis itu bertekad untuk hidup untuk mengungkap kematian Ananya. Sampai kapan pun ia tidak akan rela jika Ananya dihujat masyarakat. Image yang selama ini dibangun telah hancur karena fitnah itu.

"Tia, Rere," panggil Gesa ketika mendekati keduanya. Ketiganya berpelukan haru.

"Awak tak apa?" Rere menatap Gesa.

"Maafkan saya. Karena saya kalian dalam bahaya. Kalian bisa tinggalkan saya."

"Sudahlah. Tak usah bahas ini. Kita harus pergi dari sini."

Mereka bertiga berlari masuk ke dalam hutan. Para penjahat memberikan tembakan peringatan agar mereka tidak lari. Rere terjatuh karena tersandung batu. Gesa dan Tia membantu mereka. Para penjahat mengarahkan pistol pada Rere. Ketika pria itu akan melepaskan tembakan seseorang memukul kepala pria itu hingga pingsan.

"Uncle Mutu," ucap Tia dan Rere.

"Kalian tak apa?" Uncle Mutu mendekati ketiganya.

Suara tembakan terdengar saling bersahutan. Sepertinya ada pertarungan hebat sedang terjadi.

"Suara apa itu Uncle?" Rere ketakutan mendengar teriakan dan rintihan minta tolong.

"Tak usah risau. Itu bala bantuan. Kenapa nomor awak tak bisa Uncle hubungi?"

"Saya ganti nomor."

"Jom pergi dari sini. Saya akan bawa kalian ke tempat aman."

Ketiganya keluar dari hutan. Mereka menatap ngeri mayat para penjahat. Mayat itu bergelimpangan di sepanjang jalan.

"Uncle macam mana ini. Saya takut." Rere menutup mata tak berani menatap mayat-mayat itu.

"Tak usah risau. Ada yang membantu bereskan ini."

Mereka bertiga gemetaran. Napas mereka naik turun. Malam ini malam paling dramatis dalam hidup mereka. Uncle Mutu membawa mereka ke sebuah tempat dengan penjagaan yang ketat.

"Siapa mereka Uncle?" Rere melihat banyak mobil mengiringi mereka.

"Jangan takut. Mereka bantu lindungi kalian semua."

"Thank you Uncle." Gesa menangis haru. "Semua karena saya. Andai saja Rere tak bantu saya mungkin kalian tidak akan susah."

"Tak elok cakap seperti itu."

Rere, Gesa dan Tia bisa bernapas lega. Mereka bertiga rebahan di atas kasur. Sementara waktu mereka bisa tidur dengan tenang. Efek kelelahan mereka bertiga ketiduran tanpa sempat mandi.

Paginya Uncle Mutu menyiapkan sarapan untuk mereka.

"Silakan makan. Apa tidur kalian pulas?"

Rere menggenggam tangan Uncle Mutu yang sudah ia anggap seperti ayah sendiri. "Thank for all Uncle. Kami tak bisa bayangkan apa jadinya tanpa Uncle."

"Tak usah risau. Sudah tugas Uncle jaga korang. Bunda awak percayakan awak pada saya."

Uncle Mutu mengambil pasport dan menyerahkan ke tangan Rere. Rere melihat tiket dalam passport yang diberikan Uncle Mutu.

"Apa ini Uncle?"

"KL sudah tak aman bagi awak. Mereka akan terus memburu awak jika tetap disini. Jika tetap disini kalian semua akan dibunuh. Orang yang mengincar kalian sangat berbahaya."

"Bagaimana Uncle melakukan semua ini?" Rere merasa ada keanehan. Tidak mungkin Uncle Mutu bisa mengurus semuanya begitu rapi.

"Makan. Setelah itu kita menuju bandara."

Terjadi drama dalam perjalanan menuju bandara. Ban mobil mereka ditembak hingga mobil itu menabrak pembatas jalan. Para bandit itu tak kenal menyerah untuk memburu Rere dan Gesa.

Uncle Mutu tak menyerah begitu saja. Ia tetap mengemudikan mobil meski ban sudah kembes. Mobil iring-iringan mereka bertabrakan satu sama lain. Terseok-seok mobil itu terus melaju menuju bandara KLIA.

Para penjahat gigit jari ketika melihat mobil mereka masuk dalam bandara. Ketiga segera turun dan melakukan check in.

"Aku pasti merindukan Uncle." Mata Rere berkaca-kaca.

Uncle Mutu mengelus kepala Rere. "Kita pasti akan berjumpa lagi. Jangan menangis. Tak comel jika awak menangis. Saya lega telah mengantarkan awak pulang."

"Thank for all Uncle."

Sesampainya di bandara Soetta Rere terkejut karena Bara sudah menunggu disana.

"Abang," cicit Rere berlari memeluk Bara.

"Kamu gapapa Re?" Bara menangis haru memeluk adiknya.

Tia dan Gesa ikut terharu melihat interaksi kakak dan adik.

"Kamu gapapa? Kenapa tidak bilang jika kamu dalam bahaya? Kenapa kamu diam saja?"

"Bang ceritanya panjang," lirih Rere memegang tangan Bara.

"Abang takut terjadi sesuatu sama kamu Re."

"Aku sudah di depan abang. Aku tidak apa-apa." Rere berusaha tersenyum. Ia tak mau menambah pikiran abangnya karena Bara dalam pengobatan dokter. Kata dokter Bara tidak boleh banyak pikiran agar cepat sembuh.

Bara memaksa Rere untuk menceritakan apa yang terjadi. Intimidasi Bara membuatnya tak berkutik. Rere dengan jujur menceritakannya. Bara sebenarnya sudah tahu dari Dian, tapi ingin mendengar langsung dari mulut Rere. Tak hentinya Bara bersyukur melihat keadaan adiknya. Malam itu yang menyelamatkan mereka di hutan adalah Dian dan orang-orangnya.

Dian menghabisi para penjahat itu dan membakar mayat mereka untuk menghilangkan jejak. Dian tahu jika para penjahat itu suruhan dari kerajaan. Dian tak seorang diri malam itu. Ia menurunkan tim terbaiknya untuk menghabisi para penjahat.

Bara sangat baik. Ia mau menampung Gesa untuk sementara waktu. Rere bahagia Bara mau menolong Gesa yang nasibnya terombang-ambing.

avataravatar
Next chapter