23 Bertemu Pria Masa Lalu ( 1 )

POV Rere

Hatiku masih sakit ketika menatap Dino dari jauh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telingaku. Ucapan Dino tak pernah aku lupakan. Makanya sampai sekarang aku tidak pernah mengatakan pada Dino jika ia telah melahirkan anaknya. Aku bukan perempuan murahan seperti dugaannya. Takdir macam apa ini? Kenapa aku melihat dia ada di tenda pengungsian ini? Apa dia mencari keluarganya? Lagian aku tidak mau merusak rumah tangga orang lain. Dia sudah punya istri dan anak.

Aku tidak bisa berlama-lama disini. Aku putuskan membawa Tia dan Daniel ke hotel lalu kami melakukan pencarian bang Bara. Aku berharap dia selamat dari peristiwa itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan kami jika bang Bara tiada. Dia sosok pria yang sangat berarti untukku dan Leon. Jika bukan karena dia mungkin aku sudah menjadi gembel karena diusir bunda. Dia menyayangi Leon seperti menyayangi anak kandungnya. Aku terharu dan terenyuh melihat perhatiannya. Tidak pernah aku temukan saudara tiri sebaik dia. Bang Bara ikut begadang ketika Leon masih bayi. Bagaimana aku tidak khawatir padanya? Baiknya kebangetan meski masa lalunya sangat buruk.

"Re, kenapa lo buru-buru pulang?" Tia bertanya padaku ketika kami sudah berada dalam mobil. Gesa menjadi sopir kami kali ini karena dia warga asli sini. Daniel bisa saja mengemudi, tapi belum tahu jalan.

"Gue capek Tia. Gue mau istirahat. Banyak yang harus kita bicarakan. Kalian dekat terus. Apa punya hubungan?" Aku mencecar Tia dan Daniel. Sejak tadi aku lihat mereka tidak mau berpisah sedetik pun. Gestur tubuh mereka memperlihatkan hubungan spesial mereka.

"I-itu.." Tia terlihat gugup.

"Akui saja Tia. Nanti Daniel marah lo tidak mengakui dia sebagai kekasih." Aku punya bahan untuk memperolok Tia.

Wajah Tia memerah seperti tomat. Tebakanku benar. Mereka berdua memiliki hubungan khusus. Aku senang jika Tia bahagia. Sudah seharusnya Tia menikah. Umurnya sudah dua puluh lima tahun. Umur yang cukup matang seorang wanita menikah.

"Tunggu sebentar Gesa. Itu mobil siapa?" Tia melihat kaca spion mobil. "Dari tadi kok ngikutin kita terus."

Aku melihat kaca spion. Aku mendengus kesal. Siapa lagi jika bukan Angga. Pria itu tidak ada kapok-kapoknya. Aku heran dengan kebandelan Angga. Sudah aku tolak berkali-kali tetap saja pendiriannya teguh.

"Itu Angga," jawabku kesal. Mau aku hempaskan saja Angga ke rawa-rawa agar tidak bisa mendekatiku. Aku benar-benar kesal dengan ulahnya.

"Dia ikutin lo sampai sini?" Raut wajah Tia tidak percaya.

"Menurut lo?" Aku menjawab datar. Entahlah. Angga makin menambah masalahku. Aku mengambil napas lalu membuangnya. Perjalanan kami terasa singkat karena aku sudah menemukan Tia dan Daniel. Aku tinggal mencari bang Bara. Setelah ditemukan, aku akan pulang ke Jakarta. Aku tidak mau bertemu lagi dengan Dino. Menyebut namanya saja bikin aku kesal. Melihat wajah Leon selalu mengingatkanku dengan peristiwa jahanam itu. Susah memiliki hati ibu peri, malah aku sendiri yang terjerumus. Kan kampret.

Sesampainya di hotel kami bercerita banyak hingga tengah malam. Entah siapa yang tidur duluan aku tidak tahu. Gesa dan Tia tidur bersebelahan sementara aku tertidur di sofa. Malam ini aku sedikit tenang karena Angga tidak menggangguku. Aku meminta Daniel untuk menghalanginya mendekatiku.

Pagi buta aku sudah terbangun. Aku mendapatkan berita dari tim relawan jika bang Bara ditemukan nelayan di kota Ipoh. Tak kusangka mereka bisa terdampar ke kota kecil itu.

Aku sangat bahagia. Saking bahagianya aku sampai menangis. Moodku mendadak baik, apalagi aku dengar jika bang Bara terdampar bersama kak Dila. Syukur alhamdulilah banget. Aku segera menghubungi papa dan mengabarkan pada beliau jika bang Bara selamat. Aku akan segera menjemputnya di kota Ipoh.

Kepergian kami ke kota Ipoh menimbulkan drama. Siapa lagi yang membuat ulah jika bukan Angga. Mau aku tabok saja pria itu. Kenapa begitu bebal? Pakai bahasa apa aku harus bicara padanya? Apa harus keluar semua bahasa binatang baru Angga menjauh dariku?

Kami berempat, aku, Gesa, Tia dan Daniel bertolak menuju kota Ipoh untuk menjemput bang Bara.

Ipoh ibu kota Negara Bagian Perak, merupakan kota terbesar ketiga di Malaysia. Lokasinya memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan dengan menggunakan kereta api. Kereta berangkat dari KL Sentral Kuala Lumpur dan berhenti di Ipoh Railway Station. Orang lokal menyebutnya KTM Ipoh. Sebetulnya naik mobil juga bisa, tapi waktunya lebih lama. Aku memilih naik mobil, malas naik kereta. Aku tidak suka keramaian.

Daya tarik Ipoh adalah kota tuanya. Begitu turun di stasiunnya, kita akan mendapatkan suasana yang vintage. Mulai bangunan hingga kendaraannya. Soal transportasi, tak perlu pusing. Sebab, akses untuk taksi online sangat mudah. Masalah komunikasi juga tidak begitu sulit karena penduduk lokal masih sering menggunakan bahasa Melayu. Cari penginapan di sana pun mudah. Harganya tak terlalu mahal jika dibandingkan dengan penginapan di Kuala Lumpur.

Ipoh juga terkenal karena tempatnya yang artsy banget. Hampir di setiap sudut jalan terdapat mural unik yang dibuat oleh seniman-seniman lokal.

Salah satu objek wisata terkenalnya adalah Concubine Lane. Nama tempat itu memang unik, Jalur Selir atau Lorong Selir. Nama tersebut didapat karena aktivitas zaman dulu yang terjadi di jalur itu. Konon, lorong tersebut dimiliki taipan yang menguasai pertambangan bijih timah pada waktu itu. Selain untuk perdagangan, tempat itu menjadi kawasan perempuan simpanan orang-orang kaya dari Tiongkok dan Inggris di Tanah Melayu.

Aku sudah tak sabar untuk bertemu bang Bara dan kak Dila. Aku sudah mendapatkan informasi jika mereka dirawat di Pantai Hospital Ipoh. Aku merasa lega. Setelah hampir sepuluh hari menghilang akhirnya mereka ditemukan. Gesa sangat ngebut membawa mobil. Aku pikir dia pembalap yang sedang balapan di lintasan. Aku melihat jika Daniel sampai berteriak melihat kegilaannya membawa mobil.

Mobil kami memasuki pelataran parkir rumah sakit. Aku segera menanyakan pada bagian informasi dimana kamar perawatan bang Bara. Angga kembali bikin ulah. Aku meminta Tia dan Daniel membereskan pria itu. Terpaksa mereka berdua tidak bisa naik ke atas.

"Jangan biarkan Angga menemui bang Bara." Aku mewanti-wanti Tia dan Daniel.

"Baik Re," balas Tia padaku.

Aku berjalan menuju lantai atas bersama Gesa. Namun tiba-tiba Gesa turun karena handphonenya ketinggalan. Aku terpaksa pergi seorang diri. Gesa juga menghubungiku katanya menunggu di mobil saja. Untuk sementara aku menghilangkan rasa kesal pada Angga. Aku membuka pintu kamar perawatan bang Bara.

"Hai sayang," sapa bang Bara melambaikan tangan padaku.

WTF? Apa-apaan ini? Kenapa memanggilku sayang? Menyebalkan sekali sikap kakakku. Aku melihat sekitarnya. Aku melihat kak Dila dan...

Napasku terasa berhenti ketika melihat pria itu. Ya…pria yang telah menghamiliku. Leherku terasa tercekik. Aku berusaha tenang dan tidak bertindak bodoh. Otakku berpikir cepat. Berarti bang Bara mengajakku sandiwara. Baiklah jika itu yang diinginkan kakakku. Sepertinya dia ingin memanasi kak Dila. Aku pura-pura tak kenal dengan pria itu.

"Bahagianya aku melihat kamu." Abang Bara tersenyum kecut. Jelas sekali jika senyumnya dipaksakan. Aku tahu bang Bara sedang cemburu. Aku menarik kesimpulan berarti Ayah Leon bukan… Dino maksudku adalah sepupu kak Dila. Begitu info yang aku dapatkan dari Tia.

avataravatar
Next chapter