webnovel

Makan Malam Bersama Keluarga Dion

Aku yang saat itu sedang di mabuk cinta, tentu saja tak kuasa menolak untaian kata indah yang diselimuti dengan sentuhan lembut nan mesra dari seorang kekasih hati. Getaran demi getaran yang seakan menyetrum dirinya yang membuat Hana tak bisa berkutik karenanya.

"Dion, jangan aneh-aneh ah" ucap Hana tak lama ketika Dion berhasil memagut bibir ranumnya. Dion pun semakin mengeratkan pelukannya kala itu. Mendekatkan wajahnya ke wajah Hana yang tampak sendu sehingga membuat Dion semakin bergairah. Entah pergolakan batin apa yang membuat Hana tak kuasa menolak keindahan yang dihadirkan oleh seorang Dion yang merupakan kekasih tersayangnya tersebut. Seakan tak kuasa menolak setiap sentuhan yang dihadirkan oleh kekasihnya itu. Berusaha menolak sekalipun, tetap percuma karena serangan yang diberikan Dion selalu mampu meluluhlantakkan perasaannya yang awalnya tak ingin menjadi ingin. Berulang kali ia selalu berusaha untuk menolak agar Dion tak bertindak terlalu jauh, tapi semakin kuat ia menolak, semakin kuat pulalah rayuan dan sentuhan yang dilancarkan oleh Dion sehingga membuatnya takluk dan takluk kembali. Plinpan memang tapi mau bagaimana lagi, siapa yang tahan mendapatkan perlakuan begitu mesra dari sang kekasih. Awalnya saja menolak namun akhirnya hancur juga tembok pertahanan karena digempur dari berbagai sisi.

"Sayang, aku mencintaimu. Mau kan kamu selalu menemaniku. Aku tak pernah segila ini ketika emncintai seseorang" tanya Dion padaku.

"Aku juga mencintaimu sayang". Tak lama bibir kami saling bertaut, entahlah waktu begitu cepat berlalu. Pagutan mesra itu membuatku terlena, sangat terlena. Memang tak dipungkiri, gaya berpacaran anak-anak seumur kami apalagi di kota besar seperti ini tentu merupakan hal lumrah bila hanya sekadar berciuman dengan pasangan atau lebih tepatnya yang berstatus kekasih namun hubungan yang lebih jauh dari itu belum pernah ku lakukan sebelumnya. Aku tentu saja kagok ketika pertama kali menyerahkan diri ini untuk seorang pria yang kuinginkan menjadi pendamping hidupku kelak. Rasa sakit pasca berhubungan pun aku alami, untung saja mama tak begitu mencurigaiku. Bayangkan saja, jalan berjalan yang tertatih-tatih sempat meninggalkan tanya saat itu, namun bisa ku tutupi dengan alasan yang masuk akal. Ya, Dion berasal dari keluarga yang berkecukupan, untuk masalah keuangan tentu tak menjadi masalah. Lagipula orang tua kami hamper sejajar saja tak begitu jomplang lah dalam hal strata sosial yang sejajar. Satu yang kukeluhkan, Dion terkadang suka malas-malasan kuliah kalau tak diingatkan ia sering bolos. Entahlah apa maunya, padahal sudah beberapa kali aku menyuruhnya untuk lebih rajin kuliah agar cepat selesai. Proses kuliahnya seakan menjadi begitu rumit karena memang Dion seolah setengah hati menghadapi perkuliahan padahal mama papanya seorang Abdi Negara yang tentu akan semakin mudah baginya masuk ke dunia kantor pemerintahan namun lagi dan lagi Dion tetap saja suka uring-urungan. Kalau sudah begitu, kalapaku kesal ya aku diamin aja dia sampai beberapa hari. Biar nyesal terus bisa berubah, ehh nyatanya orangnya masih selow selow aja. Menyebalkan sekali bukan.

Untaian kata yang selalu membuatku seakan menjadi sangat terlena itu akhirnya membuatku dan Dion selalu melakukan rutinitas suami istri hampir di setiap kami bertemu. Tak akan bisa aku menolak keinginannya, aku seperti terkerangkeng dalam lingkaran yang tak bertepi. Mau bagaimanapun aku menghindar, ujung-ujungnya pasti akan kembali seperti semula. Sama halnya dengan penolakan untuk tidak menuruti semua kemauannya. Semua akan sia-sia saja karena Dion pasti akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Aku yang tak bisa sekalipun menolak apa yang diinginkan olehnya pun mau tak mau, bisa tak bisa harus menuruti semua kemauannya.

"Hari ini makan malam di rumah ya, mama sama papa nyuruh aku ngajakain kamu kerumah malam ini"

"Oh ya, oke deh aku izin sama mama papa dulu. Ntar aku telepon kalo diizinin ya".

Tentu aku sangat senang mendapatkan ajakan makan malam, apalagi memang jarang aku dan orang tua Dion bisa bertemu. Hanya sesekali saja, itu pun hanya mengobrol sepintas saja karena orang tua Dion yang sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku mengenal orang tua Dion dengan cukup baik, mereka berdua adalah orang tua yang baik, namun aku merasa mereka seakan tak begitu senang kepadaku. Entah karena Dion masih kuliah sehingga harus fokus dengan kuliahnya atau itu hanya perasaanku saja. Namun dari sorot mata mama Dion, aku merasa ia tak begitu menyukaiku. Kalau papanya aku rasa biasa saja menyikapi hubungan kami, tetapi kalaau mamanya Dion aku merasa ya dia sedikit tak senang dengan kehadiranku. Adik Dion pun entahlah, aku merasa mereka sekaan tak suka dengan kehadiranku. Terkadang aku berpikir, apa gara-gara aku, Dion jadi malas-malasan kuliah. Padahal kami saling mengenal tak terlalu lama, sejak awal aku merasa memang mereka tak begitu menyukaiku. Sempat beberapa kali aku sampaikan rasa yang mengganjal ini namun hanya di tanggapi secara santai oleh Dion.

"Udah lah beb, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Aku sayang sama kamu, udah itu aja yang harus kamu tahu. Masalah lain nggak usah dipikirin" begitulah Dion, walaupun terkadang menyebalkan ia sosok yang benar-benar membuatku mencintainya tanpa perlu banyak alasan. Ahh, Dion andai dirimu tahu bahwa aku sangat mengaguminya naamun cinta yang aku harapkan akan berjalan dengan wajar justru melenceng keluar jalur dari koridor yang ditentukan. Tentu perasaan bersalah pasti ada, mama dan papa tentu menganggap aku anak "gadis" yang pintar, cantik dan taat pada orang tua. Lantas, aku malah kehilangan kendali ketika berada dekat dengan Dion.

Malam menjelang, aku bersiap-siap. Mama dan papa mengizinkanku karena mereka berdua tahu bahwa Dion memang sedangd ekat denganku, Dion sendiri diterima dengan baik oleh mama dan papaku. Mereka tahu bahwa siapapun yang dekat denganku adalah yang terbaik menurut versiku. Begitulah orang tuaku, aku sangat menyayangi mereka. Semoga saja kelakuan liarku di luar pengawasan mereka akan segera berakhir dan tanpa sepengetahuan mereka. Ahh, terlalu naif bila aku mengatakan bahwa aku menyayangi Dion tapi tak ingin selalu diperlakukan seperti budak cintanya. Namun lagi-lagi aku tak bisa menolak. Sulit untuk menolak pesona, sentuhan, hembusan napas yang seakan memburu bila Dion sedang berada di dekatku dalam kondisi sepi pastinya. Dion menjemputnku tepat pukul tujuh malam, setelah kami berpamitan dengan kedua orang tuaku, mobil melaju menuju rumah Dion. Rasa was-was pun timbul dalam hati. Ada apakah gerangan sampai orang tua Dion mengajakku makan malam bersama.

"Tangan kamu kok dingin beb, kamu nggak lagi sakit kan" tanya Dion ketika di lampu merah ia menggenggam tanganku.

"Emmm, aku cuma gugup aja. Kan ini momen pertama kita maakan bareng sama keluarga kamu beb" ujarku sambil mengeratkan tanganku dan merebahkan kepala ke bahu Dion. Tak lama, ia pun memagut bibirku dengan penuh mesra.