webnovel

Bukan Gadis Biasa

Rumor mengenai perkelahian yang dilakukan Ersha dan teman-temannya sampai ke telinga dosen pembimbing. Membuat Ersha kini dipanggil oleh para dosen karena sikapnya itu.

Benar atau salah, mereka tak peduli. Mereka hanya menyayangkan sikap Ersha itu. Tidak sepantasnya Ersha melakukan kekerasan, apalagi di lingkungan kampus, dengan identitas dirinya sebagai mahasiswi teladan. Dia adalah ikon dari universitas tersebut, maka jika dia salah melangkah, nama kampus pun ikut tercoreng karenanya.

Ya, ini terdengar sangat tidak adil bagi Ersha. Dia di sana hanya membela diri. Dia hanya melawan dan melakukan keadilan bagi dirinya, yang nyaris saja dilecehkan oleh salah satu anak fakultas hukum. Namun, Ersha tak membuka mulut, dia lebih memilih untuk bungkam. Bukan karena takut. Tentu saja karena dia memiliki rencana lain untuk membungkam mereka semua.

Saat di dalam ruangan, Ersha hanya menunduk sembari meminta maaf di depan para dosen yang melakukan sidang untuknya. Aksinya hari itu membuat beasiswanya dalam bahaya. Ersha diancam akan mendapatkan sanksi berupa pencabutan beasiswa dan gelar mahasiswi teladannya akan dihapuskan. "Mengerti, Ersha?!"

Ersha pun mengangguk.

Rektor, dosen, senat fakultas, dan beberapa jajaran kepengurusan universitas semuanya menghadiri rapat tersebut. Bukan karena kesalahan yang dilakukan Ersha sangat fatal, melainkan karena Chiko, si pemuda yang mengklaim dirinya sebagai korban merupakan putra dari salah satu wakil rektor.

"Ini bukti visumnya dan jumlah biaya yang harus kamu lunasi!" ucap seseorang yang ternyata adalah ibu dari Chiko.

Ersha mengangkat kepalanya, dia sudah muak berpura-pura diam seperti itu.

"Baiklah. Terima kasih untuk ini semua, tapi apa boleh saya meminta satu hal?"

Tak menunggu jawaban mereka, Ersha langsung mengatakan keinginannya itu. Dia hanya ingin semua orang menonton rekaman cctv kampus, yang mana kejadian itu berlangsung. Ya, tepatnya di tangga menuju atap gedung tersebut.

Ersha bukan ingin menang, dia hanya tak sudi menonton ketidakadilan di depannya seperti ini.

"Bagaimana?" ucap Ersha dengan nada penuh menantang.

Seseorang yang memang ada dipihak Ersha, tepatnya merupakan anak buahnya sendiri pun mengungkap kesediaannya. Membuat beberapa dosen ikut menyetujui itu.

Mungkin mereka tak akan mengubah keadaan atau sanksi, tetapi dengan menonton keadaan sebenarnya akan mengungkap kalau Ersha tak sepenuhnya bersalah.

"Baik," jawab kepala rektor yang membuat Ersha tersenyum penuh arti.

Rekaman pun diputar, di mana suara dari Chiko begitu jelas terdengar dalam rekaman tersebut. Semua rekaman itu tidak dimodifikasi, diedit, atau disentuh olehnya. Ini benar-benar bukti dari nyata dari apa yang terjadi hari itu.

"I-ini pasti salah!" bantah si wakil rektor, tepatnya ibu dari Chiko.

Bagaimana dia bilang tak mungkin, sementara suara Chiko begitu jelas dan lantang saat menawar harga dari tubuh Ersha. Ya, semua ditonton dengan sangat serius, membuat detail setiap tingkah dan kata yang dilakukan Chiko sangat jelas terekam.

"Ini akan cukup dijadikan bukti ke pengadilan, tapi—"

"Ersha, kamu di sini hanya anak yang menerima beasiswa. Kamu ada di sini karena beasiswa, jika itu dicabut maka tak ada alasan kamu ada di sini!" tegasnya.

Ersha mengangguk.

"Iya, saya tahu. Maka dari itu saya tidak akan mengangkat kasus ini, terlebih lagi Chiko anak fakultas hukum. Ini akan sangat memalukan kalau terungkap," ucap Ersha.

"Apa mau kamu?"

"Tak ada. Hanya ingin segera keluar dari ruangan ini," jawabnya.

Namun, tentu saja jawaban itu tak masuk diakal. Semua orang akan langsung menentangnya, saat Ersha keluar, atau saat seseorang sudah keluar dari ruangan ini, maka tak ada satu pun rahasia yang aman. Semua akan terungkap dengan bukti-bukti kuat, yang mana akan memberatkan pihak kampus.

Orang seperti Ersha itu banyak dan mereka akan memeras untuk kepentingan mereka sendiri. "Benar, kan? Mana rekaman suara atau rekaman video di ruangan ini," pinta salah satu dosen pada Ersha.

Dengan penuh hormat dan lemparan senyuman manisnya, Ersha mempertegas kalau dirinya tak pernah membawa gawai dalam bentuk apa pun. Dia datang dengan tangan kosong.

Bahkan Ersha berani diperiksa lebih dulu sebelum keluar dari sana. Dia hanya ingin segera keluar, untuk urusan rahasia dan semacamnya, Ersha tak peduli. "Bukankah tugas saya hanya menyelematkan beasiswa. Jadi kenapa kalian semua khawatir?" tanya Ersha.

Benar.

Mereka memiliki senjata yang lebih ampuh untuk menghancurkan Ersha. Kenapa harus takut hal ini terungkap ke luar ruangan atau bahkan ke media.

"Oke. Periksa dia sebelum keluar!"

Ersha diperiksa salah satu dosen perempuan. Sementara anak buahnya, yang merupakan dosen di sana hanya bisa diam. Dia mengerti lirikan mata Ersha. Itu semua memerintah, agar dia tetap diam, sebagaimana dosen lainnya.

Selagi tak membahayakan, Ersha tak pernah ingin melibatkan siapa pun dalam urusannya. Dia akan menangani semua sendirian. "Angkat tangannya!"

"Bersih, Bu."

"Suruh dia keluar!" perintahnya.

Pintu pun dibuka membuat Ersha melangkahkan kakinya keluar dari tempat itu.

Ternyata di baliknya sudah ada Bisma dan Arka yang menatap Ersha. Mereka berdua tampak khawatir, ya karena ulah mereka juga Ersha bisa disidang seperti ini. Mereka. Memasang wajah penuh rasa bersalah.

"Kalian kenapa?"

"Gak ada. Nih, minum!" ucap Bisma sembari memberikan minuman yang sudah dibukanya.

Ersha tersenyum, dia mengambil botol itu. Namun, tidak meminumnya. Siapa yang akan meminum minuman bekas Bisma? Tentu saja tak ada. Kalau itu Arka, mungkin saja para mahasiswi akan melakukannya, tetapi tentunya bukan Ersha juga.

Bisma hanya melongo, saat dia melihat botol minumnya itu dimasukkan ke tempat sampah. Tentunya di protes dengan tindakan Ersha. "Sha, lo gila apa gak punya hati? Kenapa malah dibuang?"

"Lo sih, kenapa juga ngasih yang bekas," cibir Arka.

"Sha, gue beliin yang baru mau gak?"

Ersha menghentikan langkahnya, tiba-tiba dia menatap keduanya dan menangis sejadinya di sana. Membuat mereka panik. Ya, tentu saja, karena tindakan Ersha membuat mereka menjadi pusat perhatian.

"Eh, eh, kok malah nangis. Kenapa ini?" tanya Bisma panik.

"Sha, jangan nangis dong. Mereka liatin kita, kalau gue digebukin gimana coba, nanti kegantengan gue berkurang," ujar Arka ikutan panik.

Ersha malah semakin memperbesar tangisannya. Dia memang senagaja ingin mengerjai kedua temannya itu. "Jangan nangis ya, udah ya, kita pergi ke kantin aja gimana. Lo boleh deh, makan apa aja, yang penting berhenti na—"

"Beneran? Oke, kita pergi sekarang," ucap Ersha memotong kalimat Bisma.

"Ayo, kenapa masih diam. Kapan lagi dia traktir kita," tambahnya sembari menarik Arka.

Bisma yang merasa terjebak pun hanya bisa menggaruk kepalanya. Dia benar-benar terlihat seperti orang bodoh sekarang.

"Ersha memang bukan gadis biasa." Seseorang menatap tingkah Ersha sedari tadi, dia merasa yakin kalau keputusannya untuk mendekati gadis itu adalah langkah yang tepat.

"Apa dia tak akan merugikan kita?"

"Dia akan menjadi alat yang sempurna," ucapnya sembari melenggang pergi.