1 Menemui Pria Asing

London, pukul 8 pagi.

Viona berhenti sejenak, menghela nafas di depan pintu kamar no.1220, mukanya sedikit pucat. Gadis cantik itu, memberanikan seorang diri menemui seorang pria asing yang belum pernah ia kenal sebelumnya, di kamar hotel presidental suite room Hotel Ritz Carlton, London. Tangannya memegang sebuah paket berukuran sedang, yang dibalut dengan kertas kado berwarna perak dengan hiasan pita merah besar di atasnya.

Viona berdiri gugup, berkali-kali menyeka keringat di keningnya dengan sapu tangan. Beberapa helai rambut pirangnya jatuh atas dahi.

Pada bulan Februari, London Inggris, memasuki musim dingin dengan suhu udara rata-rata 1 derajat celcius hingga 7 derajat celcius.

Hari ini 7 Febuari, seminggu menjelang hari Valentine. Pernak-pernik bernuansa valentine menghiasi hampir seluruh sudut kota London.

Yah, hari ini bulan Febuari orang-orang menyebutnya dengan bulan berkasih sayang. Hari dimana para pasangan mengungkapkan perasaanya dan memadu kasih.

Namun, tidak dengan Viona. Di musim dingin ini, alih-alih mengungkapkan memadu kasih atau sekedar duduk di sofa sambil menikmati secangkir coklat panas di dekat perapian. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Viona menjalani Hari Valentine seorang diri.

Perempuan muda ini, mengorbankan hari minggunya yang berharga, demi melaksanakan perintah dari sang atasan yang memintanya untuk mengantarkan paket bingkisan untuk orang penting di perusahaan LAVABRA.

LAVABRA adalah perusahaan fashion ternama yang khusus memproduksi pakaian wanita, tepatnya lingerie, bikini, dan pakaian dalam wanita dari bahan berkualitas tinggi.

Sebagai pegawai baru di perusahaan, Viona tentu saja ingin menunjukkan kinerja yang terbaik di mata atasannya. Viona melakukan apa pun demi kemajuan kariernya di perusahaan. Karena tiga bulan masa percobaan ini sangatlah penting untuk menentukan kariernya di masa mendatang. Selain itu, Viona juga sangat memerlukan uang. Cecilia Ryders, nenek kandung Viona sudah lama menderita sakit stroke dan kini penyakitnya itu semakin parah. Tentu saja, membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit.

***

Suara ketukan terdengar tiga kali dari arah luar pintu kamar.

Seorang pria dengan tubuh sempurna bangkit dari tempat tidur dengan gusar, melempar selimut yang menutupi tubuhnya yang tidak berbalut sehelai benang pun.

Mata birunya yang indah mengerjap-ngerjap, berusaha menggumpulkan kembali kesadaraan. Ia terlalu capek setelah seharian beraktifitas kemarin. Kepalanya agak pusing akibat sebotol wine yang ia habiskan semalam, bersama beberapa jajaran direksi di perusahaan LAVABRA.

Pria itu, meraih jam tangannya yang tergeletak di atas nakas. Waktu di jam tangan itu masih menunjukkan pukul delapan pagi waktu setempat.

"Damn, masih jam 8 pagi. Siapa sepagi ini sudah mengganggu?!" guman pria tampan berbadan atletis itu. Pria itu sangat kesal karena sepagi ini sudah ada yang mengganggunya tidurnya.

Suara ketukan di pintu masih saja terus terdengar.

"Bloody Hell! Sialan, pagi-pagi begini sudah mengganggu saja!" maki pria itu, karena tidak tahan dengan bunyi ketukan dipintu kamarnya.

Dengan cepat pria itu menyambar sebuah kimono tidur berwarna hitam, yang tergeletak di sofa untuk menutupi tubuhnya yang telanjang, mengaitkan tali pengikat dengan cepat dan serampangan.

Kemudian pria tampan itu, melangkah menuju ke pintu. Sebelum membuka pintu ia mencoba mengintip lewat door viewer. Tampak seorang perempuan muda dengan paras cantik, berambut pirang, di depan kamarnya. Perempuan itu berdiri dengan sedikit gugup sambil memegang sebuah kotak berukuran sedang.

Sepagi ini, Viona sudah berdiri di depan pintu kamar hotel 1220. Ia pun memberanikan diri untuk mengetuk sekali lagi. Masih belum ada jawaban dari dalam.

"Jika bukan karena berhutang budi dengan Monica Lewisky, aku tak akan mau mengatarkan pa---"

Belum selesai Viona menggerutu, pintu kamar hotel itu pun terbuka. Seorang pria tampan dengan mata biru yang mempesona. Mata biru itu menatap Viona dengan pandangan kesal. Pria itu berdiri berkacak pinggang menatap Viona.

Bagian tengah kimono yang terbuka itu, memamerkan otot dada dan perut yang sempurna. Rona merah muncul di pipi Viona, melihat otot-otot tubuh yang maskulin dan terbentuk secara sempurna. Viona, segera menundukkan pandangannya berusaha mengahlihkan pandangan ke arah lain. Tetapi, pria terus menatapnya dengan pandangan tajam dan penuh selidik.

"Who the hell are you?" tanya pria itu dengan nada dingin.

"Sa-saya Viona, pengantar ---"

"Ada apa?"potong pria itu dengan cepat dan ketus.

"Ma-maafkan saya Tuan. Saya hanya ingin mengantar---,"

Viona mendadak menjadi tergagap, dan menjadi sedikit gemetaran kata-kata seolah tersendat di tenggorokannya. Viona, berusaha untuk mengumpulkan keberaniannya kembali.

Pria itu mengangkat sebelah alisnya dengan pandangan kesal. Kemudian mulai memperhatikan penampilan gadis yang ada dihadapannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan pandangan sinis.

Pria itu memperhatikan dandan Viona yang dinilai sangat konservatif, yang hanya mengenakan sweater tipis dari bahan wol yang dibalut dengan mantel panjang, dipadu dengan celana jeans warna gelap. Seutas senyuman tipis tersungging dibibir pria tampan itu.

"Masuklah! Di dalam lebih hangat," ujar pria itu dengan nada tegas.

"Ma-maaf?" Viona tercengang, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Gadis itu seperti membeku.

"Aku bilang masuklah!," perintah pria tampan itu sekali lagi, sambil membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Mata tajam pria itu seolah mengatakan perintah yang tidak dapat dibantah.

Dengan sedikit canggung, Viona pun melangkahkan kakinya secara perlahan masuk ke dalam kamar presidential suite no.1220.

Udara hangat menyergap seluruh tubuh, saat Viona memasuki kamar mewah dan luas itu. Rupanya penghangat di dalam kamar berkerja dengan sempurna. Viona melepas mantel luarnya, berdiri dengan canggung di dekat pintu masuk.

Perempuan muda itu mengedarkan pandangan, memandang dengan takjub kemewahan kamar. Kamar presidential suite no. 1220 itu, bagaikan kamar di istana pangeran negeri donggeng dalam buku-buku cerita yang dulu sering dibaca olehnya. Sangat berbeda dengan kamar apartemen miliknya yang kecil dan sempit.

Sebuah ranjang mewah bergaya klasik dengan kelambu berwarna coklat keemasan terletak di tengah ruangan, selimut di atas ranjang itu tampak berantakan.

Sekilas mata Viona teralihkan oleh sesosok gadis cantik berambut panjang yang sedang tertidur lelap hanya berbalut selimut putih diatas ranjang.

Viona terkesiap melihat bercak darah di selimut putih yang menutupi tubuh telanjang wanita itu. Gadis itu pun buru-buru mengalihkan pandanganya ke arah lain. Bersikap seolah-olah tidak melihat apapun.

Jantung Viona, berdebar kencang, sesekali ia mencuri pandang ke arah pria tampan yang dihadapannya itu. Dalam hati ia merasa was-was.

'Wah, gawat. Jangan-jangan pria ini seorang predator yang suka memangsa perempuan muda. Ya Tuhan, semoga pria ini tidak berbuat sesuatu yang jahat kepadaku,' batin Viona.

Sementara itu, Richard duduk dengan santai kursi di ruang tamu menyilangkan kedua kakinya. Gayanya terlihat sangat angkuh. Tanpa sadar mata Viona melihat kedua paha berotot milik Richard. Viona, buru-buru mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.

Richard memandang kearah Viona dengan tajam. Tentu saja itu membuat Viona merasa salah tingkah. Pandangan tajam pria yang duduk di hadapannya itu membuat gerogi perasaan Viona.

"Cepat katakan, ada keperluan apa kemari?" perintah pria itu dengan nada tidak bersahabat.

avataravatar
Next chapter