webnovel

9. Undangan Pernikahan

Hari ini matahari bersinar lebih cerah dari biasanya, secerah hati Rissa. Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak, tapi setelah menjelang pagi, tubuhnya kelelahan dan akhirnya terlelap sampai alarm berbunyi. Ia merasa tubuhnya ringan dan agak sedikit panas. Tidak heran, setelah apa yang telah ia alami tadi malam bersama pria tampan pujannya.

Hampir saja bibirnya bersentuhan dengan bibir sensual Charlos. Dasar tissue bodoh yang menyebalkan. Kenapa Charlos harus repot-repot memungut tissue itu dari dahi Rissa? Dan yang paling memalukan adalah saat Rissa memejamkan mata berharap sekali bahwa Charlos akan menciumnya. Ya Tuhan, dia pasti terlihat murahan sekali.

Rissa menutup wajahnya yang merona dengan kedua tangan sambil menggosoknya keras-keras. Sadar sadar. Charlos tidak akan pernah menjadi miliknya.

Satu hal yang membuat Rissa senang adalah mengetahui kenyataan bahwa ternyata Charlos dan Reva belum berpacaran. Bagaimanapun juga Rissa masih saja berharap bahwa tidak tertutup kemungkinan baginya untuk bisa memperoleh kesempatan walaupun hanya sedikit.

Rissa merasa beruntung sekali bisa makan malam dengan pria paling tampan yang pernah ia temui seumur hidupnya. Ia tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian saat Charlos menarik tangannya untuk berteduh di bawah payung.

Dan saat Charlos tersenyum, seolah dunia berhenti berputar. Ia begitu bercahaya seperti malaikat. Lesung pipinya begitu manis. Tatapan matanya begitu dalam, hingga Rissa bisa tenggelam di dalamnya.

Rissa tidak yakin kalau hari ini ia akan bisa berkonsentrasi bekerja. Beruntung tidak ada pekerjaan yang tertunda. Hari ini ia bisa sedikit bersantai mengerjakan tugasnya seperti biasa.

Saat Rissa sedang memasukkan data ke komputer, ia melihat Esther sedang berjalan masuk ke ruang kantor. Sudah sejak kemarin Esther tidak masuk kerja. Rissa menghentikan pekerjaannya dan kemudian menghampiri Esther.

"Kak Esther! Kakak baik-baik saja? Kemarin sakit apa?" tanya Rissa.

Esther tersenyum lemah, wajahnya masih pucat. Ia menggeleng, "Aku juga tidak tahu sakit apa. Setiap bangun tidur aku mual-mual dan muntah. Kepalaku juga pusing."

"Mungkin Kakak masuk angin."

"Iya bisa jadi. Tapi masa iya aku masuk angin terus? Kalau siang hari aku baik-baik saja. Aneh. Kadang malam juga sebelum tidur aku memuntahkan semua makan malamku." Esther menghela napas.

Rissa memekik seperti teringat sesuatu. "Jangan-jangan..."

"Apa? Kamu jangan menakutiku. Aku tidak mau ke dokter," sergah Esther sambil menyalakan komputernya.

"Tanggal berapa Kakak terakhir kali datang bulan?"

Pertanyaan Rissa menarik perhatian Esther. Segera saja ia membolak-balik kalender mejanya. Tanggal yang ditandai spidol merah itu memberitahunya bahwa ia telah telat datang bulan selama...

"Aku telat dua bulan. Aku lupa..." Suara Esther nyaris hilang.

Rissa tersenyum kegirangan sambil bertepuk tangan dan meloncat-loncat. Orang-orang di sekitar mereka menoleh penasaran. "Selamat ya Kak! Setelah sekian lama akhirnya..."

"Ssssssttt..." Esther menaruh telunjukknya di bibir. Ia mengerutkan keningnya tidak tampak sesenang Rissa. "Aku tidak mungkin hamil. Maksudku... belum tentu. Aku kan belum mencoba test pack."

Tanpa sadar Esther seolah memeluk perutnya sendiri. Rissa meletakkan tangannya ke bahu Esther mencoba menenangkan. Ia tersenyum setulus mungkin.

"Sekarang Kakak beli test pack. Besok pagi Kakak coba tes. Aku yakin sekali Kakak pasti positif hamil."

"Baiklah. Tidak ada salahnya dites." Esther mengangkat bahu. "Em Rissa, aku minta kamu jangan cerita ke siapa-siapa dulu ya. Aku tidak mau orang-orang menyangka aku hamil sebelum aku benar-benar dites. Oke?"

"Oke! Siap!" Rissa mengangkat jempolnya sambil nyengir.

Saat Rissa hendak kembali ke kursinya, Esther memanggilnya lagi. Rissa berbalik dan kemudian menerima sebuah amplop berwarna merah dengan strip emas di sekelilingnya. Terdapat inisial huruf T dan S di bagian depannya.

"Sabtu ini kamu ada acara tidak? Kalau tidak ada, apa kamu bisa mewakiliku untuk pergi ke sana?" Esther menunjuk undangan yang sedang Rissa pegang.

Rissa membuka amplopnya dan mengeluarkan undangan. Ia terperangah saat melihat undangan yang begitu mewahnya. "Seharusnya Sabtu adalah jadwal latihan paduan suara, tapi kemarin ini Pamela mengirimiku SMS. Dia bilang Sabtu ini tidak ada latihan."

"Bagus kalau begitu. Berarti kamu bisa pergi ke undangan."

"Tentu saja. Ngomong-ngomong siapa yang menikah, Kak?" tanya Rissa sambil mengagumi undangan yang sedang dibacanya.

"Anaknya Pak Albert dari MJ Group."

"Oh waw!" Rissa melebarkan matanya. Kalau tidak salah ia pernah bertemu dengan Pak Albert dari MJ Group saat rapat pertemuan di Jakarta.

"Sebenarnya undangan itu untuk Papa, tapi kamu tahu sendiri hari ini Papa ke Sydney dan belum kembali sampai minggu depan. Aku tidak bisa ke sana karena hari Sabtu Anton pulang dari Hongkong. Aku ada acara makan malam dengan mertua."

"Kakak yakin aku yang mewakili ke sana? Aku jadi tidak enak. Pasti mewah sekali. Aku rasa, aku tidak pantas berada di sana." Rissa menggaruk-garuk rambutnya.

"Tenang saja. Kamu bisa pakai gaunku. Aku akan mendandanimu. Bagaimana? Kamu mau ke sana tidak?"

Tidak perlu berpikir ulang untuk menerima tawaran Esther. Kesempatan untuk bisa memakai gaun indah milik Esther dan berdandan cantik mungkin tidak akan pernah datang dua kali.

"Tentu saja aku mau. Apa benar aku boleh memakai gaun Kakak?"

"Boleh. Ukuran badan kita sama kan."

Rissa senang bukan main. Wajahnya semakin berseri-seri. "Terima kasih ya, Kak."

"Aku yang berterima kasih karena kamu mau mewakili aku ke sana. Nanti lusa kamu ke rumahku ya."

"Ya!"

Rissa kembali ke kursinya dan semakin bersemangat menyelesaikan pekerjaannya. Sesekali Rissa melirik Esther yang wajahnya pucat dan tidak bergairah. Rissa yakin sekali Esther pasti positif hamil.

Ia kembali membuka undangan itu. Di sana tertera lokasi gereja untuk pemberkatan pernikahan dan resepsi. Rissa mengerjapkan matanya seolah tak percaya. Resepsi pernikahannya diselenggarakan di Hotel Golden Ring. Hotel mewah bintang enam milik Golden Group yang tidak lain adalah hotel milik Charlos.

Rissa semakin mengukur betapa jauhnya derajat antara dirinya dengan Charlos. Hanya wanita beruntung yang bisa mendapatkan hati sang malaikat tampan. Dan wanita itu sudah jelas bukan dirinya.

Akhirnya setelah Sabtu siang yang cukup melelahkan karena Rissa harus disibukkan dengan mengurus beberapa masalah di bagian penyediaan bahan baku, ia kemudian pergi ke rumah Esther. Untung saja hari Sabtu ia hanya bekerja setengah hari. Acara resepsinya pukul enam sore. Jadi ia masih punya waktu beberapa jam untuk bersiap-siap.

Rumah Esther sangat mewah, tidak diragukan lagi. Segala perabotan dan desainnya begitu minimalis dan elegan. Ruang tamunya mendominasi warna pastel berikut perabotannya.

Sekarang mereka berada di kamar Esther yang terletak di lantai dua. Rissa terkagum-kagum saat melihat kamarnya yang super keren. Dindingnya berlapis wallpaper dengan motif klasik berwarna merah. Rasanya setiap ornamen yang ada di kamar itu begitu saling berhubungan seperti kepingan puzzle.

Foto pernikahan Esther berukuran besar dipajang di dinding di atas ranjangnya. Ia terlihat sangat cantik dan muda. Sampai sekarang pun Esther tidak terlihat lebih tua. Kulitnya memang halus tanpa kerutan.

"Rissa, aku mau kamu lihat sesuatu." Esther menyerahkan sebuah kotak persegi panjang berukuran kecil berwarna biru. Rissa penasaran dengan isinya.

"Apa ini?"

"Sebaiknya kamu membukanya. Tapi sebelum kamu buka biar aku beri tahu, kamu adalah orang pertama yang pernah melihat isi kotak itu sesudah aku. Jadi... yaaah kamu bukalah!" Esther tersenyum simpul.

"Kakak yakin? Apa ini?" Saat Rissa membuka kotaknya seolah ia tidak perlu heran lagi dengan isinya. Sudah pasti isinya adalah ini, alat test pack. Di tengah alat itu terdapat dua garis tegas berwarna merah. Senyum merekah di wajah Rissa.

"Syukurlah," kata Rissa, lebih seperti desahan lega. "Benar kan ternyata Kakak positif hamil. Selamat ya!"

Mereka saling berpelukan. Saking semangatnya, Rissa sampai menjatuhkan kotak biru itu. "Aduh maaf!" Kemudian Rissa berjongkok untuk memungutnya. Ia membereskannya kembali seperti semula.

"Sudah tidak apa-apa. Lagipula ini kan hanya alat test pack. Nanti kalau Anton sudah pulang, aku akan memberitahunya." Esther tersenyum sekilas kemudian sikapnya berubah cemas.

"Ada apa, Kak? Apa Kakak merasa mual-mual lagi?" tanya Rissa khawatir. Ia membimbing Esther untuk duduk di kasur.

"Aku bukannya mual tapi... aku takut menceritakannya ke Anton. Bagaimana kalau dia tidak senang mendengar kabar ini?" Esther terlihat begitu sedih seperti hampir menangis.

"Kenapa Kakak bicara seperti itu?" Rissa meletakkan tangannya ke arah perut Eshter. "Aku yakin sekali kalau Pak Anton pasti akan senang sekali mendengar kabar ini. Yang penting Kakak jangan bersedih."

Esther menghela napas sekali kemudian mengangguk. Rissa tersenyum menyemangati. Esther tersenyum sedikit. Kemudian ia melihat jam di dinding.

"Rissa, waktu kita tidak banyak. Ayo kita mulai sekarang!"

Dengan cepat Esther mengeluarkan gaun-gaunnya dari sebuah ruangan berisi pakaian-pakaiannya dengan pakaian Anton. Rissa masih saja takjub melihat ruangan pakaian Esther. Baginya sebuah lemari saja sudah cukup.

"Kertas undangannya warna merah. Aku yakin sekali konsepnya pasti warna merah. Kamu pakai gaun yang ini saja." Esther mengangkat sebuah gaun merah panjang dengan model atasnya kemben yang ngepas.

Rissa tidak begitu percaya diri dengan gaun yang sedang dicobanya ini. Payudaranya terlihat sangat menantang. Belum lagi bentuk tubuhnya jadi tercetak jelas. Sebenarnya gaunnya sangat nyaman dipakai dan Rissa tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata betapa cantiknya gaun ini.

Sekilas ia ragu apakah ia pantas mengenakannya? Ia hanyalah gadis kampung yang sederhana. Esther bersikeras bahwa hanya itu gaun yang benar-benar cocok untuknya. Daripada banyak berdebat, akhirnya Rissa setuju untuk memakai gaun itu. Kemudian Eshter mulai mendandaninya tapi ia tidak mengijinkan Rissa untuk melihat ke kaca. Jadi Esther mendandaninya seperti sedang melukis di atas kanvas.

Rambutnya dicatok ikal kemudian dijepit ke samping. Anting dan kalungnya tampak sangat mencolok. Kata Esther ini bukan berlian asli. Entahlah bagaimana Rissa bisa percaya kalau ini bukan asli padahal sangat berkilau saat terkena cahaya.

"Tenang saja, Rissa. Ini bukan berlian asli. Kamu tidak perlu khawatir." Esther terkekeh. "Kamu kelihatan cantik. Sungguh."

"Benarkah? Aku ingin sekali melihat kaca."

Akhirnya setelah benar-benar selesai, Esther baru mengijinkannya untuk melihat kaca.

"Tunggu sebentar!"

Esther mengambil sepasang sepatu berwarna emas kemudian menyerahkannya ke Rissa. Ukurannya kebesaran satu nomor. Tapi untung saja tidak terlalu kentara. Jari-jari kaki Rissa memang panjang dan kurus. Terkadang dari nomor tiga tujuh sampai tiga sembilan bisa masuk.

"Nah," Esther kemudian memutar tubuh Rissa untuk menghadap ke kaca.

Apa yang dilihatnya di kaca benar-benar bukan dirinya. Seseorang di kaca itu terlihat terkejut sama seperti dirinya. Tubuhnya terlihat langsing dan wajahnya begitu cantik dan mulus. Bulu matanya berkedip saat Rissa mengedipkan mata. Itu memang dirinya hanya saja tidak seperti Rissa.

"Cantik sekali, Rissa. Apa kamu menyukainya?" Rissa tak sanggup menjawab, ia begitu tercengang. "Kamu kenapa Rissa?"

"Ini benar-benar tidak seperti diriku, Kak." Alisnya bertaut, bingung bagaimana mengungkapkan kekagumannya pada bayangan di cermin. "Ini... ini benar-benar luar biasa. Kakak hebat sekali!"

Esther terkekeh. "Kamu tidak perlu memujiku. Kamu cukup dipoles sedikit sudah cantik." Rissa pun tersenyum. Saat ia melihat senyumannya di kaca, Rissa semakin meragukan bahwa itu memang dirinya.

"Sekarang sudah jam lima. Waktunya hanya sedikit. Tempatnya lumayan jauh. Aku tidak bisa mengantarmu ke Golden Ring. Kamu naik taksi saja. Tidak apa-apa kan?" kata Esther.

Terdengar suara gerbang pintu dibuka. Esther melongok ke jendela. Sebuah mobil sedan putih melintasi halaman.

"Anton! Dia sudah tiba." Esther mendadak gugup kemudian mengaduk-ngaduk isi laci dan mengeluarkan kotak biru berisi alat test pack. "Di mana aku menyimpannya?"

Rissa meraih kotak itu kemudian memasukkannya ke dalam saku celana Esther. Kemudian merapihkan kemeja Esther. "Sudah aman. Kakak jangan gugup. Tenang saja. Ini adalah berita bahagia. Pasti Pak Anton senang."

"Oke. I'll try..."

Mereka berdua keluar dari kamar Esther dan mendapati Anton sedang naik tangga menghampiri mereka berdua.

"Hai, Sayang!" Suara Anton begitu dalam dan menggoda. Senyum lebar merekah di wajahnya yang tampan. "Aku pulang."

Lalu Anton segera memeluk istrinya dan tanpa ragu menciumnya di depan Rissa. Merasa malu dan risih, Rissa memalingkan wajah dan pura-pura memperhatikan lukisan yang tergantung di sebelahnya.

Ketika diliriknya, pasangan suami istri itu telah melepaskan ciumannya dan saling bertatapan mesra. Rissa mendekati mereka kemudian tersenyum menyapa Anton.

"Pak Anton, apa kabar?"

"Kabar baik. Wah Rissa kamu cantik sekali. Apakah kamu akan ke undangan anaknya Pak Albert?" kata Anton.

"Ya benar, Pak. Ini gaunnya Kak Esther saya pinjam dulu. Nanti saya kembalikan." Rissa mengangguk ke arah Esther.

"Ah santai saja, Rissa. Lagipula kamu kan perwakilan atas nama Kharisma juga," kata Esther.

"Baiklah. Kalau begitu aku langsung berangkat ya."

Setelah berpamitan, Rissa kemudian naik taksi menuju ke Hotel Golden Ring. Ia teringat untuk mengeluarkan jepitnya yang berbentuk bunga, dihiasi mata-mata di sekelilingnya. Ini milik ibunya. Pasti akan pas sekali dengan tatanan rambutnya. Rissa memasang jepit itu sambil melihat kaca spion.

Sejak tadi Rissa memperhatikan sang supir yang terus menerus melirik kaca spion di atas kepalanya. Untung saja ia membawa mantel. Rissa menutup seletingnya rapat-rapat sampai ke leher. Ia berusaha memasang wajah masam setiap kali sang supir meliriknya.

Jalanan Bandung hari Sabtu tidak diragukan lagi macet total. Mobil hanya bisa bergerak dengan kecepatan sepuluh kilometer. Belum lagi ketika hampir tiba di Hotel Golden Ring, berjajar mobil mewah bermeter-meter untuk memasuki parkiran.

Cuaca malam ini nyaris kering tanpa hujan. Rissa memutuskan untuk turun saja dan berjalan kaki masuk ke dalam hotel. Jalan masuk ke dalam hotel agak menanjak. Belahan rok gaunnya sangat tinggi. Ia jadi seperti yang sedang pamer kaki.

Karangan bunga berjajar sepanjang pintu masuk. Salah satunya pasti ada dari PT. Kharisma. Sayang sekali Rissa tidak dapat memeriksa satu per satu karena saking banyaknya.

Beberapa pasang mata memandangnya dari atas sampai ke bawah. Rissa tidak mengenalnya sama sekali. Tapi kalau dilihat dari cara berpakaiannya, mereka pasti tamu terhormat dari kalangan para pengusaha.

Rissa sudah tidak punya waktu lagi untuk malu-malu dengan berjalan sendirian sepanjang pintu masuk yang lumayan macet karena banyak mobil mewah yang berhenti untuk menurunkan penumpangnya.

Tidak apa-apa ia sendirian. Yang penting ia telah berpenampilan sesempurna mungkin. Sepatu Esther berhak tinggi, saat melirik kaca pintu masuk hotel, Rissa merasa tubuhnya tinggi sekali.

Walaupun Rissa tidak tahu letak persisnya tempat resepsi, tapi ia tidak perlu cemas karena orang-orang dengan pakaian gaun dan jas sudah pasti bermaksud ke undangan. Jadi Rissa tinggal mengikuti saja.

Ia membuntuti tiga orang pria dengan setelan jas. Mereka berhenti di depan sebuah lif. Salah satu pria itu menoleh ke belakang ketika Rissa ikut naik lift bersama mereka. Pria yang paling dekat tombol lift menekan angka enam. Di dalam hanya mereka berempat. Ketiganya melirik Rissa dari atas ke bawah, sama saja seperti orang lain. Memang apa yang salah dengan dirinya? Semua orang juga banyak yang bergaun merah dan memakai hak tinggi.

Rissa berusaha untuk tidak terlalu menghiraukan tatapan pria yang berdiri di tengah. Matanya terus menerus melihat ke area terlarang. Rissa semakin merapatkan mantelnya.

Kemudian pintu lift terbuka. Ketiga pria itu keluar. Rissa kembali mengikuti mereka. Pria yang di tengah itu kembali menoleh ke belakang, memperhatikan Rissa sekali lagi dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Wajahnya tampak ragu sejenak.

Ya Tuhan, Rissa terus bertanya-tanya, apa yang salah dengan dirinya?

Pria yang di tengah itu berbisik sesuatu ke temannya sehingga teman yang satunya lagi pura-pura mencari sesuatu ke belakang hanya untuk melirik Rissa.

Tiba-tiba ketiganya seolah mendapatkan interupsi, mereka melangkah dengan cepat. Rissa harus berlari-lari kecil untuk mengimbangi mereka.

Rissa memperhatikan pria itu seperti sedang menekan sesuatu di kupingnya, lalu berkata : "Iya, Pak. Kami segera ke sana."

Ketiga pria itu kemudian berjalan cepat meninggalkan Rissa. Ia tiba-tiba merasa sangsi apakah ia berada di lantai yang benar. Lampu koridornya berwarna kuning remang-remang. Deretan sebelah kiri terdapat banyak pintu-pintu besar yang tertutup.

Rissa menyesal karena tidak membawa undangannya. Seharusnya ia membaca undangannya dengan saksama. Ia terus menelusuri koridor, berbelok beberapa kali. Ia melihat keluar jendela. Terdapat kolam renang besar di luar sana, tapi ia tidak menemukan pintu keluarnya.

Kemudian setelah melewati koridor lebar yang di tengahnya terdapat lampu kristal besar, Rissa melihat pria paling tampan yang ia kenal.

Next chapter