webnovel

Pergi

Kedua tangan mengepal, rahang mengeras, mata pun sudah penuh dengan air mata. Hatinya hancur melihat pertengkaran yang setiap hari ia lihat, pertengkaran yang selama ini tak ia inginkan, pertengkaran yang semakin hari semakin memburuk bukannya membaik.

Karena tak tahan lagi, pria berkacamata yang sedari tadi melihat pertengkaran langsung membanting pintu kamarnya, menutupnya dengan kencang sekencang yang ia bisa. Tak peduli jika pintu itu akan roboh menimpanya. Hatinya tak tahan jika ia harus hidup di keadaan yang seperti ini.

"Kenapa dia? Apa dia melihat kita bertengkar?" tanya wanita paruh baya pada suaminya sendiri.

"Hah? Kau bertanya padaku? Dia anakmu! Anakmu yang tak berguna! Urus saja dia! Aku muak melihatnya! Dasar! Anak dan ibu sama saja!" ketus seorang pria dengan bentakannya.

"Dasar preman tua! Kau bahkan tak mau mengakui anakmu sendiri! Ayah macam apa kau ini?!" teriak istrinya sambil menunjuk wajah sang suami.

Suaminya hanya diam tak menjawab, setelahnya ia langsung pergi meninggalkan rumah, tak mempedulikan suara istrinya yang terus memanggilnya agar kembali.

0××××0

Dengan gerakan cepat, tangannya memasukkan semua pakaiannya ke dalam sebuah koper berwarna hitam, nitanya sudah bulat, tekadnya sudah yakin. Mungkin ia akan tenang jika tak ada di dalam kondisi yang membuatnya depresi.

Pergi dari rumah, mungkin itu satu-satunya cara agar ia terhindar dari suara-suara bising yang selalu ia dengar setiap hari. Mungkin jika ia pergi ia bisa menjalani hidup yang lebih menyenangkan dan lebih indah. Hanya itu harapannya.

"Xio, mau kemana kau?" tanya wanita paruh baya pada anaknya. Ia heran kenapa anaknya mengemas bajunya.

"Bukan urusanmu, urus saja urusanmu itu dengan lelaki itu. Jangan libatkan aku dalam masalah keluarga ini, aku sudah muak," jawab pria itu sambil membenarkan posisi kacamatanya.

"Nak, kau ini bicara apa? Ini keluargamu? Mau kemana kau? Jangan seperti ini!" wanita itu langsung memeluk anak satu-satunya itu. Air matanya berderai membasahi pipinya. Entah ke berapa ia menangis, yang ia tahu ini adalah tangisan yang paling menyedihkan. Ditinggalkan oleh anak? Apakah semudah ini? Apalagi anak satu-satunya yang dimiliki.

"Aku akan pergi, jangan halangi aku. Aku sudah muak dengan pertengkaran yang selalu menghantuiku! Jangan cari aku kemanapun! Keputusanku sudah yakin tak bisa diubah!" laki-laki itu langsung menyeret kopernya menuju ke depan pintu. Walaupun ibunya menangis tersedu-sedu, ia tetap acuh dan membiarkannya begitu saja.

"Xio! Tolong jangan pergi! Ibu janji tidak akan membuatmu tersiksa lagi!" teriak wanita itu namun tetap diabaikan oleh anaknya yang kini semakin jauh meninggalkan rumah.

"Xioo!!"

"Xioo!! Ibu mohoon!! Xioo kembalii!!"

0××××0

"Haaaah." Helaan nafas berat terdengar, kini seorang pria tengah duduk di dalam bus yang entah kemana tujuannya. Pria ini tak terlalu memikirkan kemana ia akan pergi dan dimana ia akan tinggal. Yang penting sekarang hanya satu, ia bisa tenang dengan uang hasil tabungannya sendiri selama tiga tahun terakhir. Ia hanya berharap tabungannya cukup untuk biaya hidupnya sementara ini.

Matanya menatap sepanjang jalan yang ia lewati melalui kaca bus, lampu-lampu yang selalu menyinari jalanan kini mulai dinyalakan karena hari sudah gelap. Walaupun begitu, masih banyak orang yang berlalu lalang di jalanan, seperti beberapa karyawan yang baru pulang kerja maupun anak remaja yang baru pulang dari kegiatannya.

"Permisi, apakah aku boleh duduk di sini?" tiba-tiba seorang gadis cantik berambut panjang menyadarkan lamunan sang pria, wanita itu tersenyum menatap pria itu yang hanya mengangguk sebagai jawaban.

Akhirnya, sang gadis itupun duduk dengan tenang di sebelah kanan pria yang baru saja meninggalkan rumahnya. Walaupun malam ini terasa dingin, si pria ini merasakan bulu kuduknya meremang. Ia merinding.

"Apakah ini karena suhunya? Atau suasana bus ini yang agak sepi?" gumam sang pria menatap sekeliling, hingga pandangannya terhenti oada gadis di sebelahnya.

"Ada apa? Apa aku aneh?" tanya sang gadis karena merasa diperhatikan.

"Tidak! Bu-bukan itu, ha-hanya saja aku kira kau memakai baju berwarna merah muda, tapi ternyata putih." Sang pria memperhatikan rok yang wanita itu kenakan, memang warnanya putih tapi sepengetahuannya tadi ia melihat warna merah muda.

"Matamu salah lihat," jawab gadis itu terdengar dingin. Dan entah kenapa suasana terasa semakin mencekam.

"Aah ... ba-baiklah. Maafkan aku."

"Huh, tak apa."