webnovel

Sembilan

Tidak terasa sudah satu minggu Arga dan Eza berada di kota Jogja. Tinggal hanya berdua saja di rumah sewa yang begitu kecil. Hubungan keduanya juga semakin dekat dan terlihat akrab.

Selama satu minggu Eza begitu sabar membimbing, dan mengarahkan apa yang musti Arga kerjakan. Eza juga tidak pelit membagi ilmu kepada Arga bagaimana caranya supaya tidak grigi jika sedang berhadapan dengan client.

Begitu juga dengan Arga, ia selalu antusias, memperhatikan Eza yang dengan sabar membimbingnya. Arga juga tidak segan bertanya kepada Eza, jika ia belum mengerti dengan penjelasan Eza.

Berkat kesabran Eza membimbing Arga, dan semangat yang di miliki Arga, ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Arga bisa menyerap ilmu yang diberikan oleh Eza.

Selama beberapa hari mereka tinggal di kota Jogja, Arga selalu memberikan perlakuan yang cukup istimewa terhadap Eza. Hampir semua pekerjaan rumah, Eza tidak pernah menyentuhnya. Semua dikerjakan Arga sendiri dengan ikhlas dan tidak pernah mengeluh.

Mulai dari menyiapkan sarapan, makan malam, mencuci pakaian, menyapu, negepel, bahkan menyetrika semua dikerjakan oleh Arga dengan sangat sempurna.

Eza sendiri terkadang merasa heran dan kagum kepada Arga. Bagaimana bisa seorang pria seperti Eza bisa melakukan semua pekrjaan rumah tangga, yang sama sekali ia tidak pernah melakukannya.

Alasan Arga melakukan sendiri pekerjaan rumah, itu karena waktu luang yang dimiliki Arga lebih banyak dibandingkan Eza yang harus menyelasaikan pekerjaan kantor. Selain itu Arga juga merasa berhutang budi, lantaran Eza sudah banyak membimbing nya. Tidak ada yang bisa ia berikan selain menyelesaikan pekerjaan itu. Itung-itung sebagai bentuk ucapan terima kasihnya kepada Eza.

"Teh nya, Za." Ucap Arga sambil menaruh secangkir teh hangat di atas meja. Membuatkan dan menyiapkan teh untuk Eza, juga hampir setiap pagi Arga lakukan jika ada waktu luang.

"Makaasih, Ga." Balas Eza sambil menoleh ke arah Arga.

Menyeruput teh hangat tersebut, kemudian Eza kembali fokus ke layar laptop yang ada di hadapannya.

"Trus, apa program kita hari ini? Za." Arga menduduk dirinya di samping Eza, yang tengah sibuk membaca kiriman email dari Tias.

"Bentar ya." Ucap Eza, tanpa menoleh. Ia sedang memahami intruksi dari kantor pusat yang dikirim lewat Email oleh Tias barusan.

Beberapa saat kemudian, setelah paham intruksi dari kantor, Eza baru foukus menjelaskan agenda hari ini kepada Arga.

"Hari ini kita disuruh ketemu sama dua client, tapi deket kok, semuanya masih di dalem kota," jelas Eza yang ditanggapi anggukan kepala sama Arga.

"Yaudah, abisin dulu teh nya, aku mau manasin motor," Titah Arga.

Setelah menyampaikan itu, Arga berdiri dari duduknya, berjalan ke arah teras untuk menyiapkan kenderaan. Sementara Eza mengikuti apa yang disuruh Eza__menghabiskan teh hangat, lalu merapihkan berkas dan laptop yang baru saja ia gunakan.

Beberapa saat kemudian setelah selesai membereskan berkas, Eza berdiri dari duduknya, lalu berjalan untuk menemui Eza yang sudah menunggunya di luar rumah.

"Yuk, berangkat," ucap Eza setelah ia nangkring di atas motor, di belakang Eza.

Arga tersenyum simpul, kemudian ia menyalahkan mesin motor lalu menarik gasnya. Lantaran sudah merasa akrab, Arga sudah tidak ragu lagi berbuat usil. Ia seperti dengan sengaja menarik gas secara mendadak, sehingga membuat Eza sedikit terjengkang dan harus memeluknya erat. Jika Eza ngomel, Arga hanya terbahak.

Candaan dan gurauan selalu merka lakukan saat sedang berboncengan di sepanjang jalan. Terkadang Eza suka menatap punggung Arga dengan tatapan aneh. Ia selalu mengingat bagiman Arga memperlakukannya dengan baik. Tidak jarang Eza memergoki Arga yang sedang mencuci pakaian, menyetrika, dan menyiapkan sarapan.

Eza juga sering memperhatiakan Arga yang masih saja tidur di ruang tamu karna alasan sebelumnya. Lambat laun, hati Eza mulai tersentuh dengan apa yang sudah dilakukan Arga terhadapnya. Ia mulai menaru hatinya sudah simpatik terhadap Arga. Bahkan Eza sering tersenyum sendiri saat mengingat kejadian malam itu, kejadian saat bibir mereka bersentuhan.

Anehnya jika malam itu ia merasa sangat kesal, tapi kenapa akhir-akhir ini perasaannya berbeda?

***

Malam minggu, adalah malam yang harusnya digunakan oleh pasangan muda-mudi untuk memadu kasih. Tapi tidak untuk Eza dan juga Arga yang masih merasa lelah karna aktifitas siang tadi. Selain itu mereka juga masih ingat bahwa keduanya sudah mempunyai pasangan masing-masing. Meskipun terpisah oleh ruang dan waktu.

Arga memeiliki pacar di kampung halaman, sedangkan Eza memeliki tunangan yang sedang menyelesaikan S2 nya di Jakarta.

Oleh sebab itu Arga dan Eza lebih memilih menghabiskan malam minggunya nongkrong berdua di depan teras.

"Ga, besok libur," Eza memulai obrolan sambil fokus dengan smartphone miliknya. "Kamu nggak pingin jalan-jalan kemana gitu?" tawar Eza. Walau sebenarnya ia sedang malas, tapi ia mencoba mengajak Arga. Eza cuma merasa tidak enak. Siapa tahu Arga jenuh lantaran selama di Jogja mereka selalu disibukkan dengan pekerjaan.

"Dingin Za," ujar Arga. Udara di kota Jogja kalau malam hari memang terasa dingin. "Mending di rumah aja."

Eza tersenyum simpul, "yaudah," ucapnya. Beberpa saat kemudian ia menyentuh menu kontak di layar HPnya, lalu mencari kontak yang bertuliskan mine.

Setelah menyentuh menu panggil, Eza menempelkan benda persegi empat itu pada daun telinganya.

Sementara Arga juga tengah sibuk dengan HPnya.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara seorang wanita dari HP Eza, setelah panggilannya terhubung.

"halo sayang. Gimana kabarnya...?

sayang maaf ni aku lagi bener bener sibuk. Aku lagi ngurua thesis jadi nggak punya banyak waktu baut ngubungin kamu. Kamu jaga diri baik baik ya, nanti aku telfon kamu kalo udah nggak sibuk lagi..."

"Halo yang__"

Tuut... tuut...

Belum sempat Eza melanjutkan kata-katanya, panggilan telfon diputus secara sepihak.

Hal itu membuat Eza merasa geram, hingga ia melemparkan HPnya di atas meja.

"Ini malam minggu lhoo... masak iya tunangan ku  nggak punya waktu buat aku!" Kesal Eza, wajahnya terlihat murung. "Nelfon sebentar masak nggak bisa?" Membuang napas kasar, Eza menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Sesibuk itu kah?"

Melihat kejadian itu Arga tidak bisa tinggal diam. Ia berdiri dari duduknya berjalan mendekati Eza, lalu menyandar pada tembok di samping Eza.

"Sabar..." ucap Arga sambil meletakkan telapak telapak tangannya di pundak Eza, memijat nya sedikit. "Aku sih nggak tau sibuknya orang kuliah kayak apa. Soalnya aku nggak pernah kuliah. Tapi aku yakin tunangan kamu nggak berbuat aneh-aneh. Mungkin dia emang benar-benar pingin fokus. Mikir yang positif aja."

Arga tersenyum nyengir, berusaha memberikan ketenangan kepada Eza.

"Thanks, Ga," balas Eza. Ia harus mendongakan kepala untuk melihat Arga yang masih berdiri di sampingnya.

Beberapa saat keduanya saling bersitatap, kemudian keduanya saling melemparkan senyum khasnya masing-masing.

Entahlah, tiba-tiba saja perasaan Eza sedikit lebih baik dari sebelumnya. Senyum Arga mampu mengusir rasa kesal yang sedang dialaminya.

"Cowok nggak boleh cengeng." Telapak tangan Arga berpindah ke pipi Eza lalu mencubitnya pelan. Hal itu sukses membuat Eza kembali mengulas senyumnya.

"Ups... sorry," gugup Arga, saat ia melihat manik mata Eza melirik telapak tangannya yang masih menempel di pipi Eza.

Eza hanya tersenyum nyengir seraya mendesis. Tidak bisa dipungkiri, perasaannya pun mulai merasa gugup.

Keduanya saling melemparkan pandangannya kemana saja, untuk menyembunyikan wajah masing-masing yang masih terlihat salah tingkah.

"Udah malem, aku masuk duluan ya, dingin." ucap Arga. Ia berusaha lari dari perasaan aneh yang tiba-tiba saja muncul di hatinya.

Setelah menyampaikan itu, Arga berjalan ke arah pintu rumah.

"Ga..."

Arga mengehntikan langkahnya saat Eza memanggil sambil memegang telapak tangannya.

"Jangan tidur di luar lagi, di kamar aja..." ucap Eza setelah Arga menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh tanya. "Aku nggak enak, kalo kamu di luar terus."

Arga hanya tersenyum nyengir sambil menganggukkan kepalanya. Ia melanjutkan perjalannya setelah Eza melepaskan genggaman pada telapak tangannya.

Beberpa saat kemudian Eza berdiri dari duduknya, ia berjalan ke arah pintu menyusul Arga yang sudah lebih dulu masuk kedalam rumah.

Sesuai perintah dari Eza, meski dengan perasaan canggung Arga masuk kedalam kamar. Sesampainya di dekat dipan, Arga mendudukan dirinya di tepi dipan, menunggu Eza yang baru saja masuk ke dalam kamar.

Eza membuang napas lega seraya menjatuhkan pantatnya di tepi dipan, duduk di samping Arga. Bibirnya tersenyum simpul saat pandangan keduanya secara tidak sengaja bertemu.

"Ga..." panggil Eza.

"Ya..." balas Arga.

"Udah seminggu lebih kita di sini. Makasih ya, kamu udah nglakuin banyak hal buat aku."

Kata-kata Eza membuat Arga mengerutkan kening, sambil menatap heran kepada Eza. "Emang, aku udah ngapain aja?"

"Banyak, banyak banget malah." jawab Eza yang semakin membuat Arga heran. "Kamu udah nyuci, nyetrika bajuku. Trus kamu juga nggak pernah kasih aku kesempatan buat bantu kamu." Eza membuang napas lembut sebelum ia melanjutkan, "Pas aku sakit kemaren kamu juga udah ngerawat aku."

Eza memang sempat sakit selama dua hari. Cuma demam biasa sih, mungkin karena kelelahan.

"Dan__" Eza menggantungkan kalimatnya. Ia merasa tidak enak untuk melanjutkannya.

"Dan apa Za?" heran Arga.

"Enggak, jangan dibahas." ucap Eza berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tapi, aku penasaran, nanggung. Udah ceritain aja nggak apa__"

"Dan kamu sering curi pandang sama aku," pungkas Eza menghentikan kata-kata Arga.

Hal itu membuat Arga terdiam seribu bahasa. Rona wajah nya terlihat merona karena salah tingkah. Arga harus membuang mukanya kemana saja untuk menyembunyikan kegugupan nya di hadapan Eza. Ia juga merutuki dirinya sendiri, lantaran tidak pernah bosan untuk mencuri pandang kepada Eza.

Tapi, bagaimana Eza tau kalu Arga diam-diam suka curi pandang?

"Ga..." panggil Eza kembali.

Remasan telapak tangan yang tiba-tiba Eza lakukan membuat Arga terpaksa melihat melihat telapak tangannya yang sudah berada di genggaman Eza. Dengan perasaan ragu, Arga menatap Eza yang sedang menatapnya teduh.

"Maaf kalo aku salah nilai kamu," ucap Eza sambil ibu jarinya mengusap-usap punggung tangan Arga. "Entah cuma perasaanku aja atau apalah? Aku nggak tau. Lebih tepatnya mungkin aku yang ke-ge-er-an. Aku ngerasa kalo kamu punya persaan yang aneh sama aku." Eza menghela napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan. "Atau aku aja yang munkin terlalu pede ngambil kesimpulan tentang sikap kamu."

Arga terdiam, ia memikirkan kata-kata Eza barusan. Remasan telapak tangan Eza lambat laun membuat hati dan perasaannya menghangat.

"A-aku... aku minta maaf," gugup Arga. "Aku minta maaf kalo semua yang aku lakukan membuatmu jadi enggak nyaman. Enatalah Za... sebenrnya aku aku ingin bahas ini. tapi karna kamu tanya, jadi akan aku jawab."

Tidak ingin larut dengan suasan hati__akibat genggaman telapak tangan Eza pada tangannya, secara perlahan Arga melepaskan tangannya dari tangan Eza. Ia merunduk, sambil membuang napas gusar yang membuat hatinya merasa gelisah.

"-aku juga bingung. Aku ini laki-laki, normal! dan aku punya pacar. Tapi kalo aku deket sama kamu aku... aku nyaman." Lanjut Arag. "Aku udah berusaha buat ngilangin tapi susah. Jadi apa aku salah kalo aku jatuh hati sama kamu?"

"Terus apa aku juga salah, kalo ternyata aku juga punya perasaan yang sama?" pengakuan Eza memaksa Arga mengangkat wajahnya, menatap Eza dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Maksudnya?" tanya Arga.

"Jadi semua perlakuan mu, bikin aku juga jadi jatuh hati sama kamu."

"Hah?"

Pernyataan Eza membuat Arga melebarkan senyum, sulit dipercaya memang. Tapi ia benar-benar merasa bahagia mendengar itu.

Eza tersenyum nyengir sambil menganggukkan kepalanya. "Iya... aku... aku suka sama kamu." ucap Eza menegaskan pernyataannya barusan.

"Se-serius?" tanya Arga seolah tidak percaya.

Eza terdiam, sorot matanya lurus menatap wajah Arga. Secara perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Arga, hingga jarak wajah mereka tidak lebih dari tiga senti.

"Iyah..." aku Eza dengan suara yang berbisik.

Setelah menyampaikan itu, Eza semakin mendekatkan bibirnya hingga ke bibir Arga, akhirnya cup dengan lembut bibirnya mendarat di mulut Arga.

Deg!

Jantung Arga berdetak tidak karuan kala Eza mendiamkan bibirnya di mulut Arga selama beberapa saat. Beberapa detik kemudian Arga juga membalas ciuman itu, melumat bibir bawah Eza dengan begitu lembut dan penuh perasaan.

Keduanya memejamkan mata, saling menikmati tiap-tiap lumatan lembut yang mereka berdua lakukan. Hembusan napas dari mulut mereka menambah sensasi, membuat jantung keduanya berpacu lebih cepat dari biasanya.

Terlihat tangan Eza mulai meraih punggung Arga, menariknya hingga membuat jarak tubuh mereka menjadi sangat rapat.

Tanpa dikomando, tangan Arga denga sendirinya meraih tubuh Eza, dan memeluknya erat.

Seakan tidak ingin lepas dari nikmatnya berciuman dengan sesama lelaki, Eza mulai beraksi, mengeluarkan lidahnya, menyelusup masuk kedalam mulut Arga. Di dalam mulut Arga, lidah keduanya saling bergulat, menikmati air liur yang keluar lidah masing-masing.

Kriing... kriing...

Bunyi panggilan masuk yang berasal dari HP Eza, membuat mereka harus menghentikan aktifitas panas yang sedang berlangsung.

====

TBC

Next chapter