webnovel

Tembakan

" Please, Ken!" ucap Netta lirih.

" Apa lagi yang ingin kamu lakukan? Dia ayah Malv, Tata! Dia berhak tahu tentang putranya!" kata Ken. Netta seketika menatap pria disampingnya itu, perlahan matanya berubah.

" Dia disini! Max disini, Ken!" jawab Netta dengan mata berkaca-kaca.

" Apa? Dimana?" tanya Ken sambil melihat ke sekeliling.

" Max sedang sakit! Dan dokter bilang sakitnya cukup parah!" kata Netta airmatanya menetes dikedua pipi mulusnya.

" Darimana kamu tahu? Mungkin hanya sakit biasa!" kata Ken terkejut.

" Tidak, Ken! Aku mendengarnya sendiri!" kata Netta menghapus airmatanya.

" Kamu yakin?" tanya Ken ragu.

" Iya!" jawab Netta.

" Aku akan mencaritahu yang terjadi!" Kata Ken lagi.

" Lo tahu apa yang paling miris?" tanya Netta tersenyum sinis.

" Apa?" tanya Ken balik.

" Dia dirawat di Kelas 2, Ken!" ucap Netta bergetar. Ken hanya diam saja, dia merasa itu terjadi akibat kesalahannya juga, karena dialah yang telah membuat Perusahaan Max hancur hingga keuangan Max menipis. Terlebih saat ini, setelah Netta membuangnya dari perusahaannya sendiri.

" Bukankah dia kaya raya? Kenapa dia harus dirawat disana?" tanya Netta masih dengan nada tidak percaya.

" Hah! Kelas II ! Bukankah menurutmu itu suatu candaan?" kata Netta sinis.

" Tapi aku percaya dengan candaan itu, Ta!" jawab Ken.

" Apa maksud lo?" tanya Netta menatap Ken.

" Apa kamu lupa jika kamu setuju kalo aku membuatnya bangkrut?" tanya Ken mengingatkan.

" Benarkah? Dan apa dia benar-benar bangkrut? Keluarganya sangat kaya Ken!" kata Netta dengan nada kesal. Ken hanya menghela nafas mendengar ucapan Netta yang seakan meragukan perbuatannya.

" Kenapa kamu berkata seperti itu?" tanya Ken.

" Entahlah, Ken! Apa orang tuanya tega melihat anak kesayangan mereka jatuh miskin?" kata Netta bertanya.

" Tapi kamu lihat sendiri bukan buktinya!" kata Ken sedikit kesal dengan mantan istrinya itu.

" Apa yang akan lo lakukan?" tanya Ken.

Sementara itu, Max jenuh di dalam kamar, dia ingin berjalan-jalan keluar. Dia tbangun dari tidurnya dan akan turun dari brankar.

" Ahhh!" rintih Max merasakan perutnya yang sedikit sakit, dia menurunkan kakinya dan berjalan pelan sambil membawa tiang infusnya membuka gorden yang menutup ruangannya.

" Mau kemana, Pak?" tanya seorang wanita yang sepertinya sedang menunggu suaminya.

" Mau keluar sebentar, Bu! Capek tiduran terus!" kata Max tersenyum.

" Oh! Hati-hati, Pak!" kata wanita itu lagi. Sementara di bagian pojok sedikit ramai, mungkin ada beberapa orang anggota keluarganya yang datang. Max membuka pintu kamar tersebut dan melangkah keluar. Dia melihat ke kanan dan ke kiri, ada beberapa orang sedang duduk di kursi tunggu dan ada juga yang menggelar karpet untuk duduk dan tidur! batin Max. Lalu dia berjalan ke arah kanan, Ting! Lift berdenting dan pintu lift terbuka. 2 orang pria dengan jaket warna hitam keluar dan berdiri di pojok pagar pembatas RS. Max berjalan mendekati mereka, karena dia merasa gerak gerik mereka sangat mencurigakan. Max berjalan dan menemukan sebuah tembok yang menjorok sedikit hingga bisa dijadikan tempat untuk bersembunyi..

" Mana kamarnya? Yang itu?" tanya salah satu pria sambil kepalanya digerakkan sebagai tanda menunjuk ke arah sebuah kamar di bawah sana..

" Iya, nama kamarnya Anggrek 1!" kata satunya.

" Lo yakin itu kamarnya bukan?" tanya pria itu.

" Iya! Jangan khawatir tadi siang aku lewat beberapa kali disana!" jawab satunya.

" Kau cari cara mengalihkan perhatian pengasuhnya dan aku akan menculik anaknya!" kata pria yang pertama bicara.

" Ok! Kebetulan tadi orang tuanya pergi semua! Hanya ada pengasuhnya!" kata pria itu.

" Penjaganya?" tanya pria itu.

" Anak buah kita sudah siap ditempatnya masing-masing!" jawab temannya.

" Ayo!" ajak pria itu

Mereka turun melalui tangga dengan pelan agar tidak mencurigakan dan mereka tidak mau tertangkap kamera CCTV di tempat yang sama dalam pakaian yang sama lagi. Setelah mereka menghilang dibalik dinding, Max langsung berjalan menuju ke arah lift yang kebetulan berhenti di lantai 2 karena ada yang keluar. Max masuk ke dalam lift setelah mencabut jarum infusnya sebelumnya. Darah keluar dari bekas jarum, lalu segera di sobeknya ujung kaosnya dan dipakainya untuk membalut bekas jarum tersebut. Dia menahan rasa sakit di perutnya saat berjalan ke arah Ruang Anggrek dan bersembunyi di salah satu tanaman yang tumbuh di Taman depan ruang Anggrek tersebut. Dan seperti yang telah direncanakan entah oleh siapa, mereka melakukan rencana penculikan tersebut. Begitu pria itu masuk ke dalam kamar rawat inap anak yang akan mereka culik, Max segera menyusul berlari masuk ke dalam kamar tanpa memperdulikan rasa sakitnya. Dilihatnya penculik itu menodongkan sebuah pisau pada pengasuh anak itu, dengan cepat Max yang membawa tempat sampah diluar kamar memukulkan tempat sampah itu.

" Awas!" teriak pengasuh itu. Pria itu menoleh ke belakang, tapi kalah cepat dengan Max, pria itu terjatuh dengan kepala ynga mengeluarkan darah.

" Kamu tidak apa-apa?" tanya Max khawatir.

" Saya tidak apa-apa!" jawab pengasuh itu. Max menggendong kedua anak yang terlelap itu dikedua bahunya tanpa melihat wajah-wajah mereka.

" Kita sebaiknya pergi, sebelum teman dia datang! Kamu intip keadaan diluar!" kata Max. Susi berjalan mendahului Max dan membuka pintu, tapi perhitungan Max meleset, karena ada seorang wanita yang melihat Max masuk dan melaporkan pada temannya.

" Mau dibawa kemana mereka?" tanya seorang pria dengan menodongkan pistol ke arah pengasuh itu, Max terkejut dan diam ditempatnya.

" Tenang, Man! Kami hanya ingin mencari udara segar!" jawab Max.

" Letakkan mereka!" kata pria itu tanpa menurunkan senjatanya pada Susi.

" Ok! Tapi jangan sakiti mereka!" kata Max. Max meletakkan mereka kembali ke brankar dan melihat pisau buah ada di atas nakas. Dengan cepat diambilnya pisau itu dan dilemparkannya ke arah pria itu.

" Akhhhhh!" teriak pria itu, tangannya berdarah akibat pisau Max menancap di pergelangan tangannya hingga pistolnya terjatuh. Dengan cepat Max berlari akan mengambil pistol tersebut, tapi dia terkejut melihat apa yang terjadi dihadapannya.

" Kamu?" ucap Max tidak percaya.

" Maaf!" kata Susi yang menodongkan pistol ke arah Max lalu mengambil pistol yang terjatuh tadi kemudian memberikannya pada pria itu.

" Cih! Bawa mereka cepat!" kata pria itu menodongkan pistolnya pada Max. Susi menggendong Malv di bahu dan berjalan ke arah pintu kamar. Tapi sebelum dia keluar, di depan pintu telah berdiri Netta Diana dan Ken.

" Susi?" ucap Netta.

" Netta awas dia membawa pistol!" teriak Max, dengan cepat Ken merampas pistol dari Susi dan memutar tangan Susi ke belakang.

" Auchhh! Sakit, Tuan!" kata Susi yang menyebabkan Malv terbangun dan digendong oleh Netta. Sementara Max yang tadi berteriak dipukul kepalanya oleh pria itu dengan pistol hingga terjerembab dan keningnya berdarah. Pria itu membuat Max duduk bersimpuh dengan darah menetes pada keningnya. Netta memandang apa yang ada di depannya dengan hati yang kacau.

" Menyerahlah! Kamu sudah terkepung!" kata Max.

" Diam!" teriak pria itu dengan pistol mengarah di kepalanya.

" Max benar! Sebaiknya kamu menyerah saja!" kata Ken dengan tegas dan mendekat.

" Berhenti! Atau aku akan meledakkan kepalanya!" kata pria itu.

" Pergilah Netta! Bawa keluargamu!" kata Max.

" Diam! Apa kamu mau kepalamu meledak?" tanya pria itu gugup.

" Tembak saja! Aku hanya seorang diri didunia ini!" kata Max.

" Aku akan benar-benar menembakmu!" kata pria itu. Dorrrr! Max memejamkan matanya, dia tersenyum sambil mengingat wajah Netta di pikirannya.