webnovel

37. Flashback 1

Rose berjalan mendekati Ken dan bersimpuh di depan Ken.

" No kissing!" kata Ken, karena dia merasa jijik jika harus bertukar saliva dengan Rose.

" Ok, Sir!" jawab Rose dengan suara dibuat semanja mungkin dan memang hal itu membuat Ken meremang. Ken membuka piyama mandinya dan Rose bisa melihat junior Ken yang masih dalam keadaan sedikit keras. Rose memulai aksinya dengan berbagai cara yang dikuasainya dan hingga beberapa jam, junior Ken tidak juga mengeras sempurna.

" Stop it!" ucap Ken menyerah.

" Sorry, Sir! Are you Ok?" tanya Rose heran, karena ini baru pertama kali dia gagal membuat seorang pria mengeras.

" Go!" kata Ken kesal.

" Can i try it again?" tanya Rose memohon.

" No!" jawab Ken.

" Jack! Take her!" kata Ken, lalu Jack masuk dan membawa Rose ke kamar mandi sedangkan Ken keluar menuju kamar sebelah dan membaringkan tubuhnya disana. Ken yang sangat takut tidak bisa bercumbu lagi, segera menyuruh Jack untuk menghandle seluruh pekerjaan di perusahaan, sedangkan dia berangkat ke Jerman untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan.

" Dianaaaaaa!" teriak Netta yang merasa perutnya mengejang. Tapi Diana tidak ada di apartement, karena dia sedang ada jadwal jaga di Rumah Sakit. Netta bangun dari tidurnya, dilihatnya jam sudah menunjuk angka 1 dini hari. Netta meraih ponselnya, perutnya sangat sakit sekali. Ditekannya nomor Diana, tapi tidak diangkat, karena Diana sedang menangani seorang pasien kecelakaan. Lalu Netta menekan nomor 118, beberapa menit kemudian tersambung.

" Ciao! Tu chi sei?

" Help...me! Akhhhhh! I..going...to..haveeeeee...aaaa....babyyyyy!" teriak Netta terbata, karena sakitnya yang timbul tenggelam.

" What? Baby? My, God! Breathhhh! Hufftttt! Hufftttt! Give me your address! Hufftttt!" jawab petugas itu yang ternyata wanita. Setelah Netta mengatakan alamatnya, segera wanita itu menyuruh pegawai ambulance untuk pergi ke tempat Netta. Netta dibawa ke Rumah Sakit tempat Diana bekerja.

" Dokter!" panggil seorang perawat pada Diana yang sedang memeriksa seorang pasien.

" Ya?" jawab Diana.

" Mrs. Banner is here! She will give birth! Her amniotic fluid broke!" kata perawat itu.

" What? Netta? My God!" kata Diana kaget.

" Handle him first! I am going to see her!" kata Diana berlari ke ruang persalinan.

" Netta!" panggil Diana pada Netta yang terlihat lemas akibat air ketubannya pecah di apartement.

" I'm sorry! Do you call me?" tanya Diana memegang tangan Netta erat.

" It's...Ok! If i ...don't make ...it..."

" Don't say that! You'll be alright!" kata Diana dengan mata berkaca-kaca.

" I can't reach Mr. Banner!" bisik perawat.

" I will be the one who responsible on her!" kata Diana, lalu dia menandatangani surat-surat yang diberikan padanya untuk segera menindak Netta.

" Think of something beautiful and fun!" bisik Diana.

" Marvin!" ucap Netta tersenyum dan tertidur akibat obat bius yang diberikan padanya.

Seorang pria menatap lama ponselnya, dia terharu melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dia meneteskan airmatanya sambil meneguk kembali minuman keras dalam bentuk kaleng itu. Hatinya sangat hancur dan sakit, jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga. Penyesalan yang tiada akhir, semua sudah terjadi dan tidak akan bisa terulang kembali. Dia berjalan terseok ke kamarnya, dia masuk ke dalam walk in closetnya dan membuka brankasnya. Diraihnya kotak bludru navy itu dan dipeluknya erat sambil tertidur di dalam situ.

Keesokan harinya pria itu terbangun saat ada sebuah tangan lembut mengusap wajahnya.

" Son!" ucap wanita itu lembut.

" Mama?" jawab pria itu setelah membuka kedua matanya dengan baik.

" What happen with you, son?" tanya wanita setengah baya tersebut. Pria itu menangis dipelukan mamanya, dia sangat merindukan wanita itu.

" I am broken, ma!" ucap pria itu. Wanita itu menghela nafasnya, dia sangat sedih melihat keadaan anaknya yang seperti itu. Dia mendengar semua kisah putranya itu dari Feri. Awalnya dia sangat marah karena dia merasa kecewa dengan sikap putranya yang tega menyakiti hati wanita. Sebagai sesama wanita mamanya bisa merasakan betapa hancur perasaan keduanya.

Flashback ON

" Ada apa ini, Max?" tanya Grace yang menyambut kedatangan putranya dirumahnya. Max kaget melihat seluruh anggota keluarganya duduk di ruang tengah rumahnya.

" Aku capek! Aku ingin istirahat!" jawab Max lesu.

" Maximiliano Smith! Jangan berani maju selangkah lagi jika kamu masih ingin menjadi putra mamamu!" teriak Seno, papa Max. Max langsung berhenti mendengar ucapan papanya.

" Jelaskan perbuatanmu di pesta tadi!" kata Seno lagi.

" Tidak ada yang perlu dijelaskan! Dia sudah pergi!" ucap Max datar.

" Siapa? Apa dia lebih penting dari istri dan calon anakmu?" tanya Panji papa Vina.

" Apa ini? Sidang keluarga? Aku sudah berkeluarga! Dan apa yang terjadi dalam keluargaku adalah urusanku!" kata Max marah.

" Tapi Vian adalah putriku! Dan kamu meninggalkan dia diatas panggung demi pelacur itu!" teriak Panji.

" Diam!"

" Max!" teriak Panji dan Seno bersamaan.

Semua yang ada di ruangan itu terkejut mendengar teriakan Max yang berani pada mertuanya.

" Dia bukan pelacur! Dia..." Max menghentikan ucapannya.

" Dia apa?" tanya Panji.

" Dia apa, Max?" tanya Panji lagi dengan keras.

" Jawab, Max!" kata Seno.

" Jangan diam saja! Damn it!" teriak Seno.

" Aku mencintai dia!" teriak Max tanpa sadar akibat tekanan yang ada. Vina terhuyung mendengar jawaban Max, Dengan cepat Feri menahan tubuh Vina agar tidak terjatuh.

" Apa?" tanya Panji, lalu maju mendekati Max.

" Apa kamu sadar dengan apa yang kamu katakan?" tanya Panji lagi.

" Iya! Aku sadar!" kata Max tegas, secepat kilat Panji memukul wajah Max hingga sudut wajahnya berdarah akibat sobek. Pukulan Panji cukup keras meski usianya sudah hampir setengah abad.

" Aaaaaa!" teriak para wanita melihat kemarahan Panji.

" Dasar brengsek! Apa kamu sadar kalau istrimu sedang hamil?" tanya Panji emosi.

" Lepaskan!" teriak Panji meronta saat Joe dan Nick menahan tubuh Panji.

" Max!" panggil Vina. Max bergeming dari tempatnya, Vina berlari mendekatinya dan memukul-mukul dada bidang Max.

" Kenapa kamu lakukan ini padaku? Apa salahku? Aku mencintaimu, Max!" teriak Vina menangis.

" Aku sudah tidak mencintaimu!" ucap Max membuat Vina tercekat dan jatuh luruh dibawah Max sambil memegang tangan Max.

" Lalu bagaimana anak ini? Dia tidak bersalah! Kamu menginginkan anak bukan? Kita lupakan semua dan aku akan menganggap kamu hanya bercanda saja!" tutur Vina berdiri dan menatap Max dengan berharap.

" Jangan rendahkan dirimu, Vina!" teriak Panji.

" Diam, Pa!" kata Vina.

" Papamu benar! Jangan merendahkan dirimu!" ucap Max datar. Vina kembali terhuyung ke belakang. Plakkk! Tiba-tiba sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kanan Max.

" Ma!" teriak Vina kaget. Max melihat siapa yang menamparnya, ternyata Mustika, mama Vina yang melakukannya.

" Cukup! Keluarga kami adalah keluarga terhormat! Kami masih bisa membesarkan cucu kami tanpa bantuan ayahnya yang bejat!" kata Mustika penuh amarah. Dia mendekati Vina dan menangkup wajah putrinya.

" Kita pulang! Kita akan merawat anak kamu bersama-sama!" kata Mustika.

" Tidak, ma! Aku mencintai Max! Aku..."

Plakkk! Mustika menampar putrinya hingga wajah Vina memerah akibat tamparan itu.