webnovel

Tentang Kita (Completed)

Cinta itu bukan tentang kamu, bukan pula tentang aku. Tapi... Tentang kita

Choco_0992 · Teen
Not enough ratings
23 Chs

Chapter 9

Sasha sedang menyalin catatan fisika milik Friska ketika Felix masuk kedalam kelas. Cowok itu menenteng sebuah bungkusan kecil. Lalu ketika sampai di meja Sasha cowok itu berhenti.

Dia meletakkan bungkusan itu begitu saja tanpa banyak bicara.

Aku menatapnya bengong.

"Felix, ini apa?" Tanyaku sambil berbalik ke belakang, Felix meletakkan tasnya lalu duduk.

"Roti isi. Makan aja," kata Felix singkat.

"Duh, pagi-pagi udah mengumbar kemesraan di muka umum. Bikin iri aja, deh," celetuk Dido yang di kerumuni beberapa orang teman sekelas mereka.

"Siapa juga yang mengumbar kemesraan," sahutku ketus. Sementara Felix membenamkan kepalanya di antara tangan-tangannya. Sepertinya tertidur.

"Galak amat, sih," kali ini Roni yang berkomentar. Teman-temannya cekikikan.

"Terserah apa kata lo, deh," kataku lalu berbalik kembali menulis catatan.

Sesekali ku tatap bungkusan plastik itu. Penasaran aku buka plastiknya. Dan mendapati sebuah kotak dari plastik berisi 2 potong sandwich isi keju dan sosis didalamnya. Kelihatan menggiurkan. Kok Felix tahu aja kalau aku belum sarapan.

Aku kembali berbalik ke arah Felix ingin mengucapkan terima kasih, tapi cowok itu sepertinya tertidur pulas. Memang bel masih sekitar 15 menit lagi.

Aku tersenyum. Nanti saja aku mengucapkan terima kasihnya.

Tak lama kemudian bel berbunyi dengan suaranya yang khas, nyaring-nyaring mirip sirine mobil ambulans.

Felix bangun dan mengucek-ngucek matanya, sesekali dia menguap.

Aku memperhatikan matanya yang kelihatan ngantuk dan merah. Memangnya semalam dia begadang lagi?

Felix melangkah keluar kelas menuju toilet untuk mencuci muka.

Dia tidak tahu bahwa badai akan datang sebentar lagi. Badai lama yang dia kira tidak akan pernah datang lagi.

Bu Rima, guru matematika melangkah masuk kedalam kelas diikuti langkah seseorang. Siswa yang memakai seragam putih abu-abu seperti mereka, namun mereka belum pernah melihatnya sama sekali disekolah ini.

Semua mata tertuju pada siswa tersebut. Siswa tersebut melemparkan senyumnya yang penuh pesona membuat beberapa siswa cewek kelepek-kelepek.

Aku heran, kok bisa-bisanya ada murid baru di tengah tahun ajaran kelas 3 yang beberapa bulan lagi malah akan UAN. Didalam pikiranku itu nanggung banget. Dulu aku memang pernah jadi murid baru, tapi itu waktu masih di kelas 2.

"Nah, semuanya perkenalkan ini siswa pindahan baru dari Jakarta, namanya Harry. Harry perkenalkan dirimu," kata Bu Rima sembari meletakkan buku-bukunya di atas meja.

"Selamat pagi semuanya, nama saya Harry. Senang berkenalan dengan kalian semua," kata cowok itu.

Beberapa siswa cowok berbisik-bisik. Merasa saingan mereka bertambah. Sebelumnya dikelas ini Felix lah siswa paling cakep, dan sisanya para siswa cowok mendaulat Riko, si ketua kelas sebagai cowok tercakep kedua dikelas.

"Saingan lo nambah tuh, Rik," kata Dido.

Riko tersenyum kecut. "Bawel lo," katanya.

Sementara siswa-siswa cewek, sepertinya akan banyak yang naksir Harry, karena cowok itu memang harus diakui mempunyai wajah yang gak kalah cakep dengan Felix dengan tubuh tinggi dan cukup atletis. Bisa jadi dia akan menjadi selebriti baru disekolah.

"Nah, kamu duduk di bangku dibelakang sana di sebelah Felix," kata Bu Rima.

Harry mengangguk.

"Loh, Felix kemana?" Tanya Bu Rima saat melihat bangku Felix kosong. Yang empunya sedang pergi ke toilet.

"Permisi bu," terdengar suara Felix diiringi ketukan dipintu. Sontak semua mata tertuju pada Felix yang dengan gaya tak peduli melangkah masuk.

"Darimana kamu?" Tanya bu Rima.

"Toilet. Cuci muka," sahut Felix pendek.

Belum sampai beberapa langkah Felix masuk ke dalam kelas, mendadak langkahnya terhenti saat cowok yang masih berdiri di dekat meja bu Rima itu menoleh dan tersenyum padanya.

Wajah Felix seketika memucat. Namun tidak ada yang menyadari perubahan rona wajahnya itu kecuali cowok dihadapannya itu.

"Nah, itu Felix. Kalian duduk sebangku di belakang sana," kata Bu Rima.

"Apa?!" Felix terperangah.

"Iya, disini kan bangku kosong hanya tinggal disebelah kamu, jadi nanti Harry duduk bersama kamu," kata Bu Rima. "Ayo cepat kalian berdua duduk. Ibu mau memulai pelajaran."

Entah kenapa aku merasa Felix tidak setuju siswa baru itu duduk disebelahnya. Itu kelihatan dari raut wajahnya yang mengeras dan mulutnya terkatup rapat, seperti menahan marah yang setiap saat siap meledak.

Siswa-siswa lain yang tidak tahu perubahan dari raut wajah Felix menahan napas terutama siswa cewek saat kedua makhluk tampan itu duduk bersama. Bagaimana tidak, pemandangan itu jarang sekali terjadi, dua cowok yang sama-sama cakep dan tinggi dan juga jadi pusat perhatian siswa cewek duduk bersama dalam satu meja.

"Apa yang lo lakukan disini?!" kata Felix setengah berbisik, nada suaranya terdengar dingin. Sambil mendelik di liriknya cowok disebelahnya itu yang pura-pura sedang sibuk mencatat.

"Apa yang gue lakukan disini?" Harry mengulang kata-kata Felix dengan nada sinis.

"Seperti yang lo lihat. Gue sekolah disini,

Siapa yang nyuruh lo satu sekolah sama gue?" kata Felix tajam.

"Gue. Lo ga suka? Emang punya hak apa lo ngatur-ngatur hidup gue. Terserah gue mau sekolah dimana," sahut Harry tak kalah tajam.

Harry kemudian mengubah posisi duduknya, sedikit mencondongkan tubuhnya dan menatap Felix.

"Denger yah, gue disini untuk mengambil kembali apa yang jadi hak gue, adikku yang manis. Jadi, elo sembunyi diujung dunia sekalipun, gue pasti bakal bisa nemuin elo," kata Harry, seulas senyum sinis menghiasi wajahnya, tapi tatapannya seakan ingin menelan Felix hidup-hidup.

"Hak? Apa maksud lo?" Tanya Felix tidak mengerti dengan apa yang Harry maksud.

"Hak gue adalah menghancurkan hidup elo," jawab Harry santai.

Wajah Felix menggelap seketika.

Brakkk...

Felix menggebrak meja dengan kedua tangannya membuat Bu Rima dan semua siswa menoleh ke arahnya.

"Felix?!!" tegur bu Rima.

Felix melangkah keluar dari kelas dengan langkah-langkah lebar. Rasanya amarahnya sudah diubun-ubun. Siap dia ledakkan kapan saja. Gebrakan meja itu hanya sebatas pemanasan. Dengan kemunculan Harry yang tiba-tiba saja sudah membuat amarahnya muncul, di tambah cowok itu duduk disebelahnya dan menyulut amarahnya, karena sudah tidak tahan lagi, Felix memilih untuk keluar dari kelas. Sekedar mencari udara segar.

Aku mengikuti langkah Felix yang kemudian hilang dibalik pintu.

Cowok itu tidak mengindahkan bentakan Bu Rima sama sekali. Dia bahkan sempat memandang gurunya itu dengan tatapan tajam.

Bu Rima kemudian menatap Harry yang tampak menulis catatan yang sedang di tulis di whiteboard. Cowok itu tampak tenang meski tadi mejanya sempat di gebrak oleh Felix.

"Harry, apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya bu Rima, wajahnya tampak pucat. Tentu saja, bagaimana tidak, pelajarannya baru berjalan beberapa menit, tak lama Felix langsung membuat kekacauan dikelas. Padahal sebelumnya cowok itu tampak baik-baik saja.

"Saya tidak tahu bu. Tiba-tiba saja dia marah begitu melihat handphonenya. Sepertinya ada sms seseorang yang membuatnya marah," kata Harry beralasan.

Semua siswa yang tadi menatap ke arah Harry langsung berbisik-bisik. Bu Rima menghela napas.

Harry tersenyum dalam hati. "Ini baru permulaan, Lix. Gue mau bikin hidup lo setelah ini lebih sengsara."

***

Felix tidak kembali bahkan sampai jam pelajaran bahasa inggris yang di ajar oleh Miss Jenny. Wali kelas mereka itu langsung marah-marah ketika masuk ke kelas setelah mendapat laporan dari Bu Rima bahwa Felix membuat kekacauan dikelas dan bolos pelajarannya.

Aku sendiri bingung kemana Felix pergi dan apa yang sebenarnya yang membuat cowok itu begitu marah tadi pagi. Tidak biasa-biasanya emosi cowok itu meledak-ledak. Aku bahkan belum pernah melihatnya marah, semarah tadi pagi.

"Sha, pacar lo kenapa, sih?" Tanya Riko ketika bel istirahat berbunyi, cowok itu menghampiri mejaku. Beberapa mata yang masih ada dikelas ikut menatapku ingin tahu.

"Gue juga ga tau dia kenapa," kataku jujur.

Sementara Harry memperhatikan baik-baik percakapan di depannya itu. Bangku Sasha dan bangkunya memang hanya berjarak beberapa meja.

"Lo cari dia gih, suruh masuk ke jam pelajaran berikutnya. Gue denger-denger akan ada ulangan fisika dadakan," kata Riko yang kemudian melangkah keluar menuju kantin.

Aku garuk-garuk kepala lalu pergi keluar kelas untuk mencari Felix.

Mata Harry menyipit. "Jadi, itu pacarnya Felix."

Aku melangkah ke arah taman sekolah yang berada di utara. Biasanya cowok itu tidur-tiduran di salah satu bangku panjang yang terbuat dari batu.

Benar saja, dari jauh aku melihat siluet tubuh Felix yang sedang merebahkan tubuhnya. Tangan kanannya di letakkan diatas kedua matanya untuk melindunginya dari sinar matahari yang membuat silau.

"Felix," panggilku pelan.

"Apa?" tanyanya dingin tanpa memandangku sama sekali, masih dengan posisi tiduran.

"Kamu kenapa, sih?" tanyaku. Semua orang bertanya-tanya apa yang terjadi sama kamu. Guru-guru juga tadi banyak yang cari kamu.

"Gue ga kenapa-kenapa," sahutnya ketus. Dia bahkan lupa untuk menggunakan kata aku dan kamu saat sedang bicara padaku. Sepertinya dia masih sangat kesal. Tapi aku tidak tahu apa yang membuatnya kesal.

"Maaf," ucapku pelan.

"Bukan salah lo. Ngapain lo minta maaf," katanya.

Aku terdiam beberapa saat. Iya juga, aku kan tidak salah apa-apa. Kenapa aku mesti minta maaf? Aku memukul-mukul kepalaku sendiri.

"Udah sana lo balik ke kelas," katanya kemudian. Suaranya tidak seketus dan sedingin tadi.

"Ayo, kita ke kelas sama-sama. Setelah ini ada ulangan fisika," kataku.

"Gue ga ikut, bilangin sama Pak Hilman," kata Felix.

Mendengarnya bicara demikian membuatku sedikit kesal. Udah cape-cape dicariin, diajak masuk kelas malah nolak.

"Ayo kita ke kelas," kataku lalu menarik-narik tangannya.

"Apa sih?" Felix refleks bangkit dan menyentak tanganku membuatku terhuyung ke belakang dan jatuh.

Felix yang kaget segera menghampiri Sasha dan dilihatnya telapak tangan gadis itu terluka dan berdarah karena terkena bebatuan.

"Lo ga apa-apa?" Tanya Felix sembari menarik tangan Sasha dan melihat lukanya. Aku yang terlanjur sakit hati dengan perlakuannya barusan segera menarik tanganku kembali dan berdiri. Felix kaget dengan tindakanku barusan. Dia menatapku dan ikut berdiri.

Aku balas menatapnya dengan kedua mataku yang aku tau mulai tergenang air. Mataku berkabut dan aku rasa aku akan menangis, tapi aku tidak ingin menangis di hadapan cowok brengsek ini.

Karena itu aku segera meninggalkan tempat itu. Felix berusaha mencegah Sasha tapi cewek itu keburu berlari meninggalkan taman. Dia perlahan duduk di atas rumput dan menengadahkan kepalanya. Ada sesak yang tidak tertahankan. Dia tidak ingin melukai siapapun terlebih lagi Sasha yang tidak bersalah.

***

Sesuai informasi dari Riko bahwa hari ini akan ada ulangan fisika dadakan, pak Hilman, guru fisika killer dengan rambut yang hampir botak datang membawa setumpuk soal dan menyuruh Erina untuk membantunya membagikan soal kepada siswa yang lain.

Harry memperhatikan Sasha yang sedang mengeluarkan kotak pensil dari dalam tasnya. Dia bisa melihat mata gadis itu sembab dan tangannya diplester. Padahal sebelumnya tangan gadis itu tidak kenapa-kenapa.

"Di apain dia sama si Felix?" beberapa pertanyaan muncul dari benak Harry. Istirahat tadi siang dia tidak sempat mengikuti kemana Sasha pergi karena gadis itu sudah keburu menghilang dibalik kerumunan siswa-siswa yang menuju ke kantin.

Sebagai gantinya dia pergi ke kantin dan langsung jadi pusat perhatian siswa-siswa di kantin, banyak yang saling berbisik saat melihat kedatangan Harry. Cowok itu hanya membeli sekaleng softdrink dan duduk menghadap lapangan basket yang dekat dengan kantin. Beberapa gadis dari kelas lain melihatnya dengan pandangan ingin tahu dan terpesona.

Ulangan fisika dadakan yang membuat siswa-siswi kocar kacir karena tidak sempat belajar itu baru berjalan setengah jam ketika terdengar ketukan di pintu yang membuat suasana hening terpecah seketika. Semua mata tertuju pada sosok di depan pintu.

"Maaf pak, saya terlambat," kata Felix. Pak Hilman yang mendengar dari guru-guru bahwa tadi Felix membolos jam pelajaran mereka berdeham dan memandang Felix galak.

"Darimana saja kamu? Membolos lagi?" kata pak Hilman.

Felix cuma diam, dia menghampiri meja guru fisika itu dan mengambil kertas ulangannya. Kemudian duduk di bangku dimana Harry menantinya dengan senyum sinis.

Felix sempat melihat ke arah Sasha saat dia menuju bangkunya.

Sasha langsung buang muka pura-pura tidak melihatnya. Sepertinya gadis itu masih kesal dengan kejadian istirahat tadi.

Setelah meninggalkan Felix, aku menuju UKS untuk meminta plester dan menemui Rani untuk menceritakan kekesalanku pada Felix.

'"Ternyata dia masih aja sinting, gue kira udah sembuh sintingnya," kataku kesal.

"Hush, pacar sendiri kok dibilang sinting," kata Rani.

"Habis tidak ada kata-kata yang cocok untuk menggambarkan dia selain kata sinting," kataku.

"Nih minum dulu-minum dulu," Rani buru-buru menyodorkan es jeruknya di hadapanku yang langsung ku minum habis tak bersisa.

"Lo sabar aja sih, Felix kan orangnya memang begitu. Kan lo tau sendiri dia kayak gitu dari dulu. Dingin-dingin batu es," kata Rani.

"Tetap aja gue ga terima. Itu sudah kekerasan dalam pacaran," kataku. Ini si Rani kok malah jadi ngebela si Felix, sih. Yang teman dia, Felix atau aku, sih.

"Iya gue tau. Tapi Felix mungkin ga sengaja kali. Setau gue dia itu ga pernah main kasar sama cewek. Yah elo juga sih, orang dia ga mau masuk kelas malah lo paksa-paksa," sahut Rani.

Aku mendelik. "Lo temen gue bukan sih. Perasaan dari tadi lo ngebelain si Felix terus," kataku ketus.

Rani terkekeh.

"Gue temen lo sama temen Felix juga. Yang kenal dia dari kelas 1 itu gue, yah meskipun lo pacarnya sekarang. Tapi harusnya lo juga lebih mengerti dia dibanding gue," ujar Rani. Aku tertegun. Apa yang dikatakan Rani ada benarnya juga. Aku'kan pacarnya, yah meski aku masih sadar bahwa status kami hanya pura-pura.

"Ngomong-ngomong kemarin gimana Festival natalnya?" Tanya Rani sambil mengunyah bakso ikan berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Bagus. Lumayan, ada banyak stand dan pohon natal yang super gede," kataku.

Rani mengangguk-angguk. "Kalian ngapain aja disana?"

"Cuma jalan-jalan sama makan aja," kataku. Mengingat kata makan membuatku ingat waktu Felix mengelapkan tisu ke bibirku yang terkena saus. Mendadak wajahku memerah dan itu di tangkap oleh Rani.

"Makan apa makan? Kok muka lo jadi merah gitu," katanya penuh selidik. Matanya menyipit tanda curiga.

"Beneran, gue cuma makan aja. Emang lo kira gue mau ngapain?" aku berkilah.

"Hem," Rani menatapku sembari jarinya di dagu, berlagak layaknya detektif sedang menganalisa. Aku tahu dia tidak percaya padaku. Dan aku tidak peduli.

"Beneran cuma makan gue," kataku setengah berteriak membuat beberapa pasang mata yang berada di dekat kami melihat kami keheranan.

Rani tergelak. "Iya..iya gue percaya. Lo ga usah sampe marah gitu kaliii," Rani mengusap matanya yang sempat berair.

"Suka-suka lo deh," kataku dongkol.'

Aku kembali memusatkan perhatian pada kertas ulangan di hadapanku ini, meski sempat belajar sedikit tapi tidak tahu kenapa semua rumus yang aku pelajari langsung buyar seketika ketika Felix masuk ke kelas. Akhirnya tuh cowok masuk juga. Kirain mau bolos lagi.

Tak sampai setengah jam kemudian Felix menyerahkan kertas jawaban fisikanya pada Pak Hilman yang terheran-heran. Kami semua melongo dibuatnya. Felix memang cerdas, tapi tetap saja dia hanya mengerjakan 10 soal fisika dalam waktu 30 menit, dan itu cukup mengejutkan, padahal kami yang memulai lebih dulu setengah jam masih belum selesai mengerjakan soalnya.

Setelah menyerahkan jawabannya pada Pak Hilman, Felix pergi keluar kelas tanpa meminta ijin lebih dulu.

Pak Hilman sampai geleng-geleng kepala. Beliau tahu tidak ada gunanya menahan Felix lebih lama di dalam kelas, yang penting Felix sudah selesai mengerjakan soal ulangannya dan kenyataannya jawaban cowok itu benar semua.

***

Felix berdiri di dekat gerbang bersama sepedanya. Berkali-kali melongokkan kepala ke arah gedung kelas 3.

Sasha belum juga nongol dari kerumunan anak-anak yang berhamburan keluar kelas.

Dari jauh, aku bisa melihat Felix yang berdiri di gerbang sambil menundukkan kepalanya, sesekali kakinya menendangi kerikil kecil.

"Dia ngapain?" kataku heran.

Rani yang berdiri disampingku ikut memandang ke arah Felix berdiri.

"Ngapain? Yah pastilah nungguin lo," jawab Rani. Aku meliriknya.

"Sha," Felix menghampiri kami yang berjalan mendekati gerbang. Aku memasang wajah jutek dan ketus.

Rani menyikutku. Aku memelototinya. "Apaan sih si Rani ini?" gerutuku dalam hati.

"Ayo pulang," ajak Felix. Tiba-tiba sikapnya berubah 180 derajat. Kemana sikap dingin dan kasarnya tadi?

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Terperangah pada sikap Felix. Nih cowok cepat banget berubah suasana hatinya.

"Aku mau pulang sama Rani aja," kataku. Felix tertegun lalu mengangguk-angguk.

"Baiklah. Soal tadi aku minta maaf sudah kasar," katanya pelan. Aku tidak menjawab. Biar saja dia tahu kalau aku masih marah.

Melihat Sasha tidak menjawab, Felix melanjutkan kata-katanya, "Ran, gue titip Sasha."

Rani cuma mengangguk. Setelah mengatakan itu Felix segera naik ke sepedanya dan berjalan menjauh menggowes sepedanya.

Rani kembali menyikutku ketika sepeda Felix beserta orangnya hilang dari pandangan.

"Lo gimana sih. Dia ngajak pulang masa elo tolak, sih? Dia juga udah minta maaf ke elo tuh," kata Rani. "Terus tampang lo jangan jutek-jutek dong. Ga enak di liatnya tau. Bikin sakit mata, Rani mengomel."

Aku mendengus. Bodo amat.

Aku berjalan meninggalkan Rani, lama-lama bersama si Rani bisa membuatku kena darah tinggi, kerjaannya seharian ini hanya membela Felix. Emang dia kira, dia superhero. Rani buru-buru mengejarku.

"Jangan cepet-cepet dong jalannya, Sha!" teriaknya. Aku tersenyum dalam hati.

"Rasain lo. Makanya jangan ngebelain Felix terus," gerutuku saat Rani sudah mensejajarkan langkah denganku.

"Yaelah, jadi ceritanya elo ngambek? Payah lo, ah. Gitu aja ngambek," kata Rani. "Nanti gue beliin permen deh."

"Apaan sih, emangnya gue anak bocah," sahutku.

"Kalo lagi ngambek gini elo emang kayak bocah," balas Rani. Liat aja tampang elo kalo lagi ngerajuk gitu, jelek banget.

"Sial lo. Iya, iya. Gue ga ngambek lagi," kataku sambil tertawa. Rani nyengir.

Kami berdua kemudian menuju halte.

***

Felix mendadak memberhentikan sepedanya. Keningnya berkerut saat mendapati sosok yang dia hindari disekolah kini malah muncul di depan gerbang kompleks rumahnya.

"Elo," Felix memandang Harry tajam.

Harry menaikkan alisnya.

"Halo adik," sapa Harry manis.

"Mau apa lo disini? Dan darimana lo tau rumah gue?" kata Felix ketus.

"Tau darimana itu ga penting. Yang penting adalah mau apa gue disini," Harry yang sedari tadi duduk di atas boncengan motor hitamnya kini berdiri dengan tegak menghadapi Felix.

"Well, jadi Sasha itu pacar elo?" Tanya Harry dengan senyum miring khasnya yang membuat Felix ingin sekali menonjoknya, untung saja dia masih bisa menahan diri. "Dia manis juga."

"Jangan macem-macem lo, Har," kata Felix dengan nada tinggi.

"Ups, tenang. Gue ga bakal macem-macem sama dia, kok. Tapi apa reaksinya yah kalo dia gue kasih tahu bahwa pacarnya ini, Felix yang terkenal satu sekolah adalah anak haram," kata-kata terakhir Harry telak menampar Felix.

Felix menggeram menatap Harry. Tangannya mencengkeram stang sepeda kuat-kuat.

"Dan ibunya itu adalah seorang wanita jalang yang suka jadi tukang selingkuhan suami orang," Harry melanjutkan. Dia tahu Felix sudah sangat marah. Rahang Felix yang mengeras dan wajahnya yang memerah karena menahan amarah sungguh membuat Harry merasa kesenangan.

"Denger yah, meski lo pergi ke ujung dunia sekalipun, gue bakal tetap ngejar lo sama nyokap lo yang sialan itu. Gue pengen ngebuat elo, nyokap lo sama ade lo itu sengsara. Kayak apa yang gue sama nyokap gue rasain!!" kata Harry. Nada suaranya mendadak tinggi dan raut wajahnya berubah kasar.

"Eli ga ada hubungannya dengan ini," kata Felix.

"Oh ya, gue lupa. Eli'kan bukan ade kandung elo. Dia cuma anak angkat," kata Harry menekankan kata-kata anak angkat kemudian tertawa.

"Brengsek lo," Felix melepas cengkraman sepedanya dan menghampiri Harry, di cengkramnya kerah seragam cowok itu sampai terangkat.

"Silakan pukul gue sesuka hati elo," kata Harry. Suaranya terdengar tenang tanpa rasa takut sama sekali. "Gue heran sama elo, sama ade elo yang anak angkat itu elo sayang banget. Tapi kenapa sama kakak elo ini, elo kasar banget."

Felix mencengkram kerah itu lebih kuat.

"Gue ga punya kakak brengsek kayak elo," kata Felix. Matanya melotot tajam ke arah Harry.

Di luar dugaan Harry tertawa. Dia berdecak.

"Ckckck... elo sama nyokap lo lebih brengsek dari gue," kata Harry. "Silakan aja lo pukul gue. Tunjukin karate sabuk hitam lo."

"Gue belajar karate bukan buat ngegebukin elo," kata Felix. Dia melepaskan cengkraman kerah Harry. Napasnya tersengal-sengal menahan amarah.

"Denger yah adik gue yang manis," Harry membetulkan letak kerahnya lalu menatap Felix tajam. "Seperti yang udah gue katakan tadi. Gue disini dengan tujuan ngancurin keluarga elo. Seperti yang dilakukan nyokap lo ke keluarga gue. Meski sekarang nyokap gue udah nyusul bokap kita yang brengsek itu ke surga tapi gue yakin, nyokap gue pasti senang kalau ngeliat anaknya ini berhasil ancurin keluarga lo."

Ada nada kebencian dalam suara Harry. Kebencian yang sejak 4 tahun tertanam kuat dalam dirinya. Kebencian yang semakin lama semakin kuat.

Felix tertegun. Mama Harry sudah meninggal? Kapan?

"Kapan tante Renita meninggal?" Tanya Felix. Perlahan emosinya menurun.

Harry menatap Felix dengan mata berkilat-kilat.

"Jangan sebut-sebut nama nyokap gue dengan mulut kotor lo itu. Dan elo ga perlu tahu kapan nyokap gue meninggal. Yang jelas yang perlu lo tahu adalah, nyokap gue meninggal karena nyokap elo!!" bentak Harry.

Untung saja saat itu tidak banyak orang berlalu lalang sehingga pertengkaran mulut mereka tidak sampai mengundang kerumunan orang-orang.

Hanya beberapa orang yang akan memasuki kompleks memperhatikan mereka berdua dengan pandangan ingin tahu.

Harry kemudian berbalik menuju motornya. Tanpa banyak bicara cowok itu langsung menyalakan mesin dan pergi dari hadapan Felix.

Felix memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa berat. Kenapa Harry muncul kembali? Mau apa sekarang dia datang lagi ke kehidupan Felix dan keluarganya? Bukankah dulu keluarga mereka yang meminta keluarga Felix untuk pergi sejauh mungkin? Padahal dia sudah merasakan ketenangan sejak pindah ke Bandung.

Aku melangkahkan kaki dengan semangat, selain ingin cepat sampai rumah, perutku juga sudah berteriak meminta diisi. Ini semua karena istirahat tadi siang aku cuma minum es jeruk Rani.

Dari jauh aku menatap Felix yang menuntun sepedanya dengan langkah lunglai.

"Dia kenapa?" pikirku keheranan.

Penasaran aku ikuti cowok itu dari belakang. Langkah-langkahnya tampak tidak bersemangat. Sepertinya dia habis mendapat masalah. Aku ingin memanggilnya tapi kuurungkan niatku.

Aku hanya berjalan mengikuti langkahnya yang berat. Berkali-kali bisa ku dengar cowok itu menghela napas. Pasti masalahnya berat banget. Melihatnya seperti itu, muncul rasa iba di hatiku. Harusnya aku tidak marah-marah padanya tadi.

Pokoknya nanti sesampainya di rumah aku akan sms Felix dan meminta maaf padanya.