webnovel

Tentang Kita (Completed)

Cinta itu bukan tentang kamu, bukan pula tentang aku. Tapi... Tentang kita

Choco_0992 · Teen
Not enough ratings
23 Chs

Chapter 15

"Lo kira gue bakal berterima kasih karena elo udah maafin gue dan ga ngelaporin gue ke polisi?" Harry menatap Felix ketika mereka berpapasan di koridor didekat mading yang berbatasan dengan gedung kelas 3. Felix baru saja datang dan Harry baru keluar dari kelas dan akan ke toilet.

Felix balas menatap Harry dengan tajam.

"Gue ga bakal berterima kasih. Cih," Harry membuang ludahnya sembarangan. Untung belum banyak siswa yang datang.

"Emang lo kira gue butuh ucapan terima kasih dari elo? Gue juga ga sudi," kata Felix.

Dia lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas sembari sengaja menabrak pundak Harry.

Harry mendengus.

"Sialan," umpatnya.

***

Semalam di apartemen Harry

Herlinda memencet bel berkali-kali di depan pintu apartemen Harry yang terletak di lantai 19. Wajahnya tampak gusar tapi juga tampak lega.

"Siapa sih mencet bel berkali-kali, emang gue budek apa?!" gerutu Harry dari dalam kamar mandi. Cowok itu bergegas mengenakan kaosnya dan membuka pintu depan apartemen.

Dia tertegun mendapati Herlinda yang menyambutnya dengan tatapan setajam mata pisau.

"Kakak," bisiknya.

Herlinda melangkah masuk ke dalam apartemen kecil yang ditempati Harry selama beberapa minggu ini.

"Gimana kabar kamu?" tanya Herlinda. Matanya menatap sekeliling apartemen. Apartemen itu tidak bisa dibilang luas bila dibandingkan dengan rumah besar mereka di Jakarta. Hanya tipe studio dengan 1 kamar. Bisa-bisanya Harry mau tinggal di tempat sekecil ini.

"Baik kak. Kenapa kakak disini?" Harry mengerutkan keningnya.

Herlinda duduk disalah satu kursi didekat jendela apartemen yang menghadap kearah kota Bandung. Dikejauhan kelip-kelip kota Bandung terlihat indah.

"Kakak datang untuk menyelesaikan masalah yang kau buat," kata Herlinda tajam.

"Masalah yang aku buat? Masalah apa?" Harry tampak tidak mengerti.

"Jangan kau pikir kakak tidak tahu apa yang telah kau perbuat. Biarpun kau tinggal jauh dari kakak, kamu tetap dalam pengawasan kakak, Har," ujar Herlinda.

Harry mendengus lalu terkekeh.

"Memang ada masalah apa sih? Aku sungguh tidak mengerti maksud kakak," kata Harry. Cowok itu melangkah ke dapur dan membuka lemari es ukuran kecil yang memang sudah tersedia ketika dia menyewa apartemen ini. Ada beberapa botol air mineral dingin, beberapa snack dan roti lapis yang tadi pagi belum sempat dia habiskan.

"Kakak mau minum apa?" tanya Harry sambil meraih botol air mineral.

"Tidak usah. Kakak juga tidak lama berada disini. Kakak hanya ingin memperingatkanmu untuk tidak lagi mengganggu kehidupan keluarga tante Margaretha."

Harry yang sedang meminum airnya berhenti sejenak dan menatap Herlinda seakan-akan kakaknya itu sudah gila.

"Jangan bercanda. Aku baru saja mulai. Mana mungkin aku berhenti sekarang," kata Harry tampak gusar.

"Kakak serius Harry. Tadi sore kakak pergi menjenguk Elia di rumah sakit. Keadaan gadis kecil itu sangat menyedihkan. Akibat perbuatanmu kakinya patah dan dia belum bisa keluar dari rumah sakit selama sebulan ini untuk memulihkan kakinya."

"Bukannya bagus kalau kakinya patah. Aku malah mau bikin tangannya patah sekalian," Harry melempar dirinya keatas ranjang kecilnya.

"Harry!" bentak Herlinda.

Harry diam. Tampak tidak ingin menanggapi kemarahan Herlinda.

"Dengarkan kakak, kakak mohon. Tadi sore juga kakak bertemu dengan Felix, kakak mewakilimu meminta maaf padanya atas musibah yang menimpa Eli. Untung saja Felix mau memaafkan kau," Herlinda menarik napas panjang sejenak.

Harry melotot.

"Kakak ini buat apa minta maaf pada bocah itu?!" kata Harry ketus.

"Tentu saja kakak harus minta maaf pada Felix. Kakak tidak ingin kamu dilaporkan ke polisi," kata Herlinda. Kali ini dia menatap adiknya dengan wajah sendu.

"Sekarang hanya kamu yang kakak punya. Kakak sudah tidak punya siapa-siapa lagi," katanya pelan membuat Harry tercekat.

Selama ini dia hanya sibuk memikirkan cara membalaskan rasa sakit hatinya pada keluarga tante Margaretha hingga dia tidak memikirkan bagaimana perasaan yang melanda kakaknya.

Harry menunduk.

"Aku minta maaf, kak," gumamnya pelan.

Herlinda menghampiri ranjang Harry dan berjongkok didepannya. Mengusap-ngusap kepala adiknya itu lembut. Sesuatu yang sudah lama tidak dia lakukan dan merupakan sesuatu yang sangat dirindukan Harry.

"Kakak senang kau mengerti. Keadaan kita yang seperti ini bukan sepenuhnya kesalahan tante Margaretha dan Felix. Apalagi Eli," kata Herlinda. "Gadis itu bahkan tidak mengerti apa-apa. Apa kau tidak kasihan melihat gadis kecil itu terluka? Sejak kapan adik kakak ini menjadi anak yang tidak punya rasa belas kasih? Apa mama dulu mengajarkan kita seperti itu?"

Tes... setetes air mata jatuh membasahi seprai Harry.

"Aku hanya ingin mengobati rasa sakit hatiku, kak. Rasanya sangat sakit, kak," katanya sambil terisak. Herlinda merasa matanya mulai basah. Dia menunduk dan menangis. Memang sudah setahun berlalu semenjak mama mereka meninggal.

Dan Herlinda tahu bahwa sampai sekarang-pun Harry masih belum menerima kepergian mama yang begitu cepat. Masih jelas dalam ingatannya, saat mama mereka sedang sakit, Harry-lah yang senantiasa mendampingi dan menjaganya. Oleh karena itu, ketika mama mereka pergi, Harry lah yang paling kehilangan.

"Kakak tahu... kakak tahu," Herlinda kemudian memeluk Harry dan membiarkan cowok itu meluapkan semua emosinya dan perasaannya yang selama ini tidak pernah dia tunjukkan dihadapan Herlinda maupun keluarga besar mereka.

***

Seminggu sudah berlalu sejak Eli keluar dari rumah sakit. Sekarang gadis cilik itu mulai melakukan pemulihan terhadap kakinya yang patah dirumah. Karena Eli masih belum pulih betul, sekarang Felix selalu pulang tepat waktu dan memilih untuk tidak mengikuti pelajaran tambahan. Aku senang sih melihat Felix yang begitu perhatian pada Eli. Tapi, entah kenapa hatiku sedikit iri melihat perhatian yang diberikan oleh Felix pada Eli.

"Kok lemes gitu, sih?" tanya Rani sambil melirikku yang sejak dari sekolah hanya diam saja. Kami berdua sedang menuju halte terdekat untuk naik bis.

"Gue ga apa-apa, kok," kataku berkilah.

"Ga apa-apa tapi kok muka elo ditekuk sebelas gitu sih?" tanya Rani.

"Aduh lo bawel banget, sih," kataku jengah. Paling sebel kalo lagi bête, punya temen ga tahu sikon. Nyerocos aja kerjaannya tanpa henti.

Rani monyong tapi dia kemudian berhenti mengoceh. Mungkin dia tahu apa sebabnya aku tampak bête.

"Felix kenapa ga ikut pelajaran tambahan lagi?" tanyanya tiba-tiba setelah lama dia diam.

"Adiknya sakit. Dia mesti ngerawat adiknya," jawabku.

Rani mengangguk-angguk. Kemudian dia diam. Mungkin dia sudah mulai menyadari wajah beteku. Sejujurnya aku agak bersalah pada Rani. Padahal gadis ini bertanya baik-baik padaku dan begitu perhatian padaku, tapi aku malah bicara padanya dengan nada ketus.

"Maaf yah, Ran," bisikku dalam hati.

***

Aku melangkah gontai memasuki gerbang perumahan Nusa Indah. Rasanya ada yang hilang ketika aku tidak lagi pulang bersama Felix. Aku merindukan saat-saat kami pulang bersama, karena memang hanya pada saat itulah aku merasa bisa dekat dengan nya.

Aku berjalan sambil menunduk dan menendangi kerikil-kerikil kecil yang memang banyak berserakan diatas jalan perumahan yang memang terbuat dari bebatuan yang disusun rapi.

"Sha," panggil seseorang. Suaranya sangat aku kenal. Itu suara dari sosok yang aku rindukan.

"Sial, kenapa sekarang gue malah ngedenger suaranya. Ada yang ga beres sama kuping gue kayaknya," aku geleng-geleng kepala sendiri sampai tangan kekar Felix memegangku. Aku tersentak kaget dan mendongak. Mendapati wajah Felix dihadapanku yang menatapku dengan wajah bingung.

"Felix," aku menatapnya tak percaya. Apa yang sedang dia lakukan disini?

Felix sedang duduk dibalik pos jaga satpam yang memang berada di dekat gerbang utama perumahan.

"Aku sedang menunggumu," katanya pelan.

Aku menatapnya keheranan. Menunggu?

"Ayo kita pulang," dia lalu mengambil sepedanya yang diparkir didekat sepeda motor pak satpam yang sepertinya sudah sangat mengenal Felix.

Aku duduk diboncengan sepedanya dengan perasaan heran bercampur takjub. Ngapain Felix sengaja menungguku didepan gerbang seperti ini?

Felix mengayuh sepedanya dengan perlahan.

"Maaf, karena kita tidak bisa pulang bersama dulu untuk sementara waktu," katanya.

Aku terdiam dan tidak mengatakan apa-apa.

"Mungkin minggu depan aku bisa ikut pelajaran tambahan lagi," kata-katanya membuatku menatapnya. Menatap punggungnya yang bergerak seirama dengan kayuhan sepedanya.

Tanpa terasa kami sudah sampai didepan rumahku. Aku gelagapan. Aku lupa bahwa seharusnya aku turun di perempatan blok B. Aku menatap rumahku dengan ngeri. Memang saat ini mama sedang tidak ada diluar rumah, tapi tetap saja tidak ada yang menjamin mama tidak keluar rumah setiap saat.

"Mamamu sedang pergi," kata Felix sambil menatapku. Aku mengangkat alis. Bagaimana cowok ini bisa tahu apa yang sedang ada dalam pikiranku? Apa jangan-jangan Felix sudah tahu?!

"Kalau begitu aku pulang dulu. Besok aku tunggu lagi di depan gerbang," Felix kemudian menyeberang kerumahnya yang memang berada didepan rumahku.

"Felix!" aku memanggilnya. Cowok itu menoleh dengan pandangan bertanya.

"Terima kasih," kataku. Cowok itu tersenyum. Senyum termanis yang pernah aku lihat dari seorang Felix. Senyum yang bisa membuat siapa saja meleleh melihatnya. Aku terharu, mungkin selama ini hanya baru aku saja yang melihat senyumnya itu, dan aku tiba-tiba berharap, semoga senyum Felix itu hanya untukku.

Aku menatap punggung Felix yang menjauh dan kemudian menghilang dibalik gerbang rumahnya. Dadaku terasa sesak. Melihat perhatian Felix hari ini, bolehkah aku sedikit berharap kalau dia ada juga punya perasaan yang sama denganku?

"Kakak darimana?" tanya Eli ketika melihat kakaknya itu melangkah kedalam rumah.

Dia sedang duduk disofa dan menonton televisi sambil memakan semangkuk sereal.

Felix menggeleng kemudian mengambil tas basketnya. Sudah waktunya untuk bermain basket. Meskipun dia memang bertugas menjaga Eli, Felix tetap bermain basket sesuai jadwalnya. Dia bahkan masih menjaga warnet, hanya saja itu dia lakukan malam saat mamanya sudah pulang kerja. Mama mereka memang sengaja meminta ijin dari perusahaan untuk tidak dinas keluar kota dulu selama beberapa waktu dan hanya mengerjakan pekerjaan yang berada di kantor pusatnya saja.

Aku melihat Felix yang keluar dari rumahnya sambil menenteng tas basket dari jendela kamarku. Aku memperhatikan langkah sepedanya yang kemudian hilang di ujung blok B.

***

Saat aku tiba disekolah keesokkan harinya, semua siswi-siswi tampak grasak grusuk. Mereka sibuk membicarakan sesuatu yang tampaknya sangat penting. Aku menghampiri Rani yang sedang duduk diteras depan kelasnya bersama Dewi.

"Ran, ada apa, sih? Kok kayaknya cewek-cewek hari ini heboh banget," kataku.

"Loh, elo ga tau?" tanya Rani. Aku menggeleng. "Memangnya ada apaan, sih?"

"Semuanya lagi pada ngomongin valentine. Kan lusa ini hari valentine," kata Rani. Aku mengangkat alis. Oh, iya. Valentine. Hari kasih sayang, hari istimewa buat semua cewek, karena hanya pada hari itu saja, kami bisa mengungkapkan perasaan kami pada orang yang kami sukai.

"Lo ga mau kasih coklat buat Felix, Sha?" tanya Rani dengan pandangan ingin tahu.

"Gue ga tau. Ga kepikiran," aku angkat bahu. Meskipun aku berkata demikian, tapi dalam hati aku kepikiran juga apakah mau berikan coklat atau tidak pada Felix.

***

Felix berhenti didepan sebuah toko yang dalam rangka menyambut Valentine menjual aneka pernak-pernik Valentine. Semua aksesoris toko berhiaskan ornamen-ornamen pita berwarna pink, lalu balon berbentuk hati berwarna merah dan bertuliskan I love you. Felix tampak ragu-ragu ingin masuk.

"Mungkin sebaiknya gue pulang aja," desah Felix. Tapi, dia tidak beranjak pergi juga. Dia masih memandangi pintu toko bertuliskan open dihadapannya. Beberapa menit berlalu. Masih ada keraguan diwajahnya tapi entah kenapa hatinya tidak mengatakan hal yang sama.

Tiba-tiba seorang wanita dewasa memakai seragam toko keluar membawa sekantung plastik hitam besar berisi sampah.

Mereka bertatapan.

"Eh, kok berdiri saja diluar, dik? Tidak mau masuk?" tanya penjaga toko itu.

Wajah Felix tiba-tiba memerah malu karena kepergok, dia menyesal karena tidak segera pergi dari depan toko itu sejak tadi. Selesai penjaga toko itu menaruh kantung sampah didekat bak sampah didepan toko, penjaga toko itu menghampiri Felix lagi dan mengajaknya masuk. Mau tidak mau Felix mengikuti penjaga toko itu karena merasa tidak enak jika dia pulang begitu saja.

Ornamen-ornamen Valentine lebih kentara saat Felix masuk kedalam toko. Balon-balon berwarna merah dan pink menghiasi langit-langit toko, bunga-bunga mawar yang sudah dikeringkan beraneka warna, boneka-boneka dari ukuran kecil sampai ukruan yang paling besar, lalu dalam etalase ada kue-kue dan coklat-coklat beraneka bentuk. Semuanya benar-benar pink.

"Kenapa gue jadi masuk kesini?" gumam Felix tak jelas. Felix mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru toko yang tampak lengang. Tidak banyak pengunjung datang hari ini karena kebanyakan pengunjung biasanya akan datang satu hari menjelang valentine yaitu besok.

Penjaga toko itu tersenyum. "Mau beli apa, dik?"

"Hmm... anu, coklat buat seorang gadis. Kira-kira yang bagus dan enak yang mana?" tanya Felix. Meskipun Felix sendiri suka coklat, tapi dia tidak tahu selera perempuan seperti apa.

"Apa gadis itu pacarmu?" tanya penjaga toko itu masih tetap tersenyum.

"Eng, bukan. Dia bukan pacarku," kata Felix cepat. Dia bukan pacarku, kami hanya pacaran pura-pura, batin Felix.

"Yang benar bukan pacar? Kalau gadis itu dengar dia bisa sedih loh."

Felix tersentak. "Sebenarnya iya."

Penjaga toko tersebut tersenyum "Kalau begitu cokelat ini pasti cocok buat pacarmu," penjaga toko mengambil sebuah coklat berwarna-warni berbentuk hati dengan toples berbentuk hati juga.

Felix menatapnya. Berpikir sejenak. "Sebaiknya jangan berbentuk hati kali yah, nanti Sasha bisa salah paham. Tapi ga apa-apa kali yah?" Pikirnya ragu.

"Bagaimana?"

Akhirnya Felix mengangguk pelan. "Tolong dibungkus sebagus mungkin," kata Felix.

Penjaga toko itu mengangguk lalu membungkusnya rapi dan diberinya pita sebagai pemanis.

***

Jumat sore itu, aku pulang sendirian, Rani sudah pulang sejak tadi karena dia tidak ikut pelajaran tambahan. Ada untungnya sih aku tidak pulang bersama dengan Rani, karena sore ini aku berencana mau membeli coklat untuk Valentine besok.

Aku juga sudah sengaja sms Felix untuk tidak menjemputku di pos satpam.

Aku berhenti didepan toko kecil tak jauh dari sekolah. Toko itu tampak ramai dan penuh sesak.

Aku mengeluh dalam hati. "Tokonya rame banget." Aku-pun urung untuk masuk kedalam. Aku agak malas berdesak-desakan didalam bersama belasan pengunjung lainnya.

Aku kemudian melanjutkan langkah menuju halte, mungkin sebaiknya aku beli di supermarket saja, batinku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di dekatku yang memang berjalan dengan langkah pelan.

"Hai, Sha," sapa Harry saat cowok itu menaikkan kaca helmnya.

Aku menoleh. Sedikit heran melihatnya disini. Masih pakai seragam pula, aku bisa tahu karena jaket yang dikenakan cowok ini tidak dikancing.

"Elo,"

Harry menaik-naikkan alisnya. "Kebetulan banget kita ketemu disini."

"Bukannya elo udah pulang dari tadi?" tanyaku keheranan.

Harry memang sudah pulang sejak tadi, dia membolos pelajaran tambahan mata pelajaran Kimia hari ini.

"Gue abis ketemu temen. Nih baru mau pulang. Cowok elo kemana?" tanya Harry basa-basi. Padahal dia sudah tahu jawabannya.

"Dia udah pulang duluan, kan dari kemarin dia emang ga ikut pelajaran tambahan. Tumben elo nanyain dia? Biasanya kayak anjing sama kucing, kalo ketemu berantem terus," kataku.

Harry terkekeh. "Itu sih dia aja sensi sama gue. Padahal gue ga ngapa-ngapain dia."

Sudah seminggu lebih berlalu sejak insiden kecelakaan Eli, dan sejak itu juga dia tidak lagi mengganggu Felix. Meskipun tetap duduk bersama, mereka bagaikan 2 orang asing yang tidak saling menyapa. Harry tidak lagi berusaha untuk mengajak Felix bicara yang biasanya sih berupa ancaman, Felix apalagi, cowok itu tidak peduli pada kehadiran Harry.

Tapi didalam hatinya dia cukup lega melihat Harry tidak melakukan apa-apa hingga saat ini, namun Felix tetap menyesal karena keadaan Eli sekarang. Gadis kecil itu tidak bisa bersekolah untuk sementara waktu karena kakinya masih belum pulih betul. Sejak kedatangan Herlinda diapartemennya beberapa waktu lalu, Harry banyak berpikir dan menurutnya balas dendam memang merupakan sesuatu perbuatan yang buruk dan hal itu tidak mencerminkan dirinya.

"Elo mau pulang? Gue anter, yuk. Udah sore," kata Harry kemudian.

Aku menggeleng. "Gue masih mau cari coklat."

Harry mengerutkan keningnya. "Coklat? Ah yaya. Gue ngerti. Valentine."

"Yaudah, gue duluan, yah," kataku lalu berjalan meninggalkan Harry yang kemudian mengejarku.

"Bareng gue aja, yuk," kata Harry. Aku berhenti dan menatap cowok ini lagi.

Harry mengangkat bahunya, "Kebetulan gue juga mau cari coklat buat cewek gue."

Padahal bohong, Harry sama sekali belum punya pacar. Dekat dengan cewek saja tidak pernah. Padahal dulu disekolah lamanya di Jakarta, Harry termasuk kalangan cowok yang digandrungi cewek-cewek.

Aku menatapnya sejenak sebelum akhirnya aku mengangguk dan Harry menyuruhku duduk diboncengannya. Dalam hati aku sedikit merasa bersalah pada Felix, sebelumnya cowok itu bilang padaku untuk menjauhi Harry, tapi kini aku malah ada di boncengan motor cowok ini. Mungkin sebaiknya nanti aku turun di depan gerbang perumahan saja biar tidak ketahuan Felix.