1 FIBRIODENOMA MAMMAE

Jakarta, Mei 2007

Ibukota menuju tengah tahun. Sudah 9 tahun Reformasi. Demo besar-besaran tahun 1998 cepat berlalu. Mungkin hampir terlupa. Bagiku, Reformasi 98 adalah penutup dari drama berhari-hari yang digelar di Ibukota.

Pasca penembakan mahasiswa Trisakti, Jakarta mencekam. Kota pesisir yang ramah ini mendadak rasis. Keturunan Tionghoa diburu di jalanan. Belum lagi ruko milik mereka yang dijarah dan dibakar. Ah, sudah Reformasi, tapi bagai hidup di tengah peristiwa Geger Pecinan 1740.

Tinggal di Roxy, aku ikut was-was. Berhari-hari, aku dan tetanggaku—yang mayoritas keturunan Tionghoa—terkurung dalam rumah. Meski ya, memang ada juga yang dengan gampangnya kabur ke negara seberang.

Roxy seperti kota mati. Jangan ditanya jalan raya di depan Roxy Mas dan Banjir Kanal Barat itu, sudah tak berbentuk lagi.

Kaca berhamburan di jalanan, menyatu dengan ban bekas yang dibakar seenaknya. Darah mengalir tak jelas dari mana. Bangunan yang dahulu cantik berubah jadi gosong. Ingatanku tentang Reformasi 98 di Ibukota adalah hari-hari kelabu yang tanpa ampun.

Pemerintah berganti wajah. Pembaharuan menjadi gaung yang merebak seantero Nusa Antara. Tak lama setelah Abdurrachman Wahid naik jadi Presiden, Kong Hu Cu jadi agama resmi yang diakui negara. Orang-orang yang kemarin menjarah di toko kokoh dan cici sangat gembira melihat pertunjukan barongsai yang meliuk-liuk.

Memang apa istimewanya? Tanpa Gus Dur jadi Presiden pun, di depan rumahku barongsai lewat saban hari. Mulutnya menganga menanti angpao yang datang. Ya, bersyukurlah aku dibesarkan di kota bandar ini, Jakarta dengan segala rupa, cerita dan ironinya.

Aku tinggal di keluarga angkat. Abah angkatku keturunan Arab yang moderen. Nenek moyang ayahnya berasal dari Hadramut, Yaman. Sedang ibunya campuran Tionghoa. Nenek moyang Abah dari Tionghoa bermarga Tan. Sedang yang dari Yaman famnya Basalamah.

Abah dulu tinggal di Cirebon, lalu lari ke Jakarta saat dikejar tentara Belanda—karena menjadi bagian Tentara Rakyat. Tiba di Jakarta, namanya diganti jadi Affandi. Biar tidak terendus pemerintah kolonial. Waktu itu sedang populer lelaki bernama Affandi atau Effendi. Lolos dari kejaran Belanda, ia melanjutkan kuliahnya sambil terus aktif dalam kegiatan pemuda di tingkat nasional.

Tak lama, orang tuanya menyusul ke Jakarta. Mereka menempati rumah di Kalibaru. Ayahnya yang bernama Ali sering dipanggil dengan Tuan Ali, lalu jadi akrab dengan sapaan Wan Ali. Ibunya yang berdarah Tionghoa dan bernama Maryam, dipanggil Nona Maryam, jadi makin singkat dengan Nah Iyam. Kelak, cucu-cucunya ikut memanggilnya dengan Nah Yem. Gaya Nah Yem khas perempuan peranakan. Kebaya panjang, kerudung bordir pinggir dan kain batik pagi sore—yang punya motif berbeda di sisi kiri dan kanan.

Suatu hari, Affandi bertemu Sicilia (gadis keturunan Belanda) dalam sebuah pesta dansa—saat pembukaan toko roti di Jakarta. Keluarga Sicilia (keluarga Hooghervorst) adalah pelanggan setia toko roti itu. Ayah Sicilia anggota Red Cross Belanda yang memiliki darah Belanda dan Prancis. Tapi lama tinggal di Indonesia, karena ayahnya ditugaskan di Kotaraja (Aceh) dan menikah dengan perempuan asli Borneo (Kalimantan) yang bernama Siwa.

Sedang ibu Sicilia keturunan Ambon-Manado. Sebab ayah Sicilia bekerja pada Pemerintah Belanda, anak dalam keluarga mereka tidak dilahirkan di satu tempat. Ada yang lahir di Aceh, Kalimantan, Surabaya, Lombok, bahkan ada yang lahir di kapal—saat sedang berlayar di laut lepas.

Tumbuh di masa perang sangat sulit. Sicilia harus pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pengalaman hidupnya semakin bertambah, seiring jejak langkahnya yang terus berpijak di kota-kota yang berbeda. Merasakan pula tinggal di dalam Kelder saat harus menghindar dari ledakan bom.

Apalagi saat pendudukan Jepang, miris hatinya melihat orang-orang melapisi kulit mereka dengan karung goni dan hanya mampu makan bulgur (makanan kuda). Meski dimatanya, tentara Jepang itu lucu sekali. Kaki mereka kecil-kecil.

Orang bilang, kaki tentara Jepang diikat sejak mereka orok. Kaki itu tidak akan bisa besar. Kalau jalan, harus pula diseret-seret kaki kecil itu. Bikin bocah ingusan yang melihat bukannya takut, tapi malah cengengesan. Paling-paling yang takut anak perawan.

Ada yang lebih lucu dari tentara Jepang, namanya Burgo. Tentara India yang mendukung Inggris tapi belakangan dikabarkan membelot dan membela Indonesia. Ah, untung saja Soekarno dan Hatta diculik golongan muda. Lebih cepatlah Indonesia merdeka. Ya, negara jajahan lebih dari 300 tahun ini akhirnya merdeka juga.

Namun cobaan belum berakhir untuk Sicilia.

Tak berapa lama setelah dia menjadi mualaf dan menikah, nasionalisasi besar-besaran terjadi di Indonesia Raya. Tahun 1957-1958, seperti yang banyak dikabarkan dalam buku pelajaran sejarah, Indonesia dilanda kekacauan.

Kemarahan rakyat akibat Konfrensi Meja Bundar (KMB) tidak dapat dielakkan. Perjanjian yang dinilai lebih banyak merugikan pihak Indonesia—ketimbang memberi solusi jitu perdamaian antara penjajah dan negara jajahan—membuat rakyat tidak dapat lagi menahan diri. Puncaknya, terjadilah tragedi itu. Nasionalisasi aset asing (khususnya Belanda) di Indonesia.

Proses ini dimulai dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957-1958 oleh serikat buruh yang bekerja di perusahaan Belanda. Tindakan ini dihentikan oleh pihak militer. Pada bulan itu juga, Jendral Nasution mengeluarkan perintah bahwa seluruh milik Belanda di bawah pengawasan militer. Setahun kemudian, DPR menyetujui pengambilalihan tersebut.

Hingga saat ini, tidak banyak yang tahu nasib seluruh perkebunan yang dinasionalisasi. Termasuk perkebunan teh di Sukabumi yang dahulu dimiliki keluarga Hoogervorst, tak lagi jelas rimbanya. Sicilia sendiri tidak banyak mendapat informasi mengenai perkebunan keluarga mereka. Hanya sesekali dia ingin pergi ke Sukabumi, melihat-lihat daerah sekitar, kalau-kalau masih ada jejak kabar yang bisa dia dapatkan tentang perkebunan itu.

Tapi, jangankan kebun teh di Sukabumi, tanah milik keluarga ibunya di dekat Pasar Baru saja, tidak bisa lagi dia miliki. Pemerintah Orde Baru menyatakan seluruh ahli waris tanah itu sudah pergi ke negeri Belanda. Secara otomatis, tanah itu diambil alih negara.

Setelah nasionalisasi aset terjadi, tahun 1959, orang-orang Belanda yang ada di Indonesia boleh memilih: tinggal di Indonesia atau kembali ke Belanda. Semua biaya kepulangan mereka akan ditanggung oleh negeri Belanda. Keluarga Hoogervost memutuskan kembali ke Belanda pada tahun 1963. Hanya Sicilia dan beberapa sepupunya yang memilih tinggal di Indonesia.

Diana Hoogervost (ibu Sicilia) membuka restoran dan toko yang menjual produk Indonesia di Belanda. Namanya toko Ibu atau Iboe, aku tidak tahu persis. Barangkali Oma Diana senasib dengan Wieteke van Dort—yang begitu rindunya dengan kuliner dan budaya Indonesia, hingga menggubah syair lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng. Kata Sicilia, pada era Soekarno, lagu legendaris itu pernah dinyanyikan di Istana Negara oleh Anneke Gronloh—sang biduan cantik pelantun lagu Nina Bobo.

Tahun 2005, Diana Hoogervost tutup usia. Perempuan yang masih senang naik kuda hingga usia 80 tahun itu mewariskan isi toko Iboe yang menarik perhatianku. Selepas pemakamannya di Rotterdam, Sicilia membawakanku 2 kain batik. Satu berwarna hitam-kuning dengan motif bunga tulip. Satu lagi berwarna merah dengan motif Qillin. Pada kedua kain itu ada tulisan Java-Dutch Batik.

Oma Diana pergi hanya 2 tahun setelah kematian Affandi. Masa yang begitu kelam bagi Sicilia, dan tentu saja bagiku juga. Tinggal bersama mereka berdua sungguh anugerah tidak terperi. Aku tumbuh dengan cerita perjuangan dan kepahlawanan dari Affandi.

Juga lakon pengantar tidur tentang keindahan pesisir dan budaya Indonesia dari Sicilia. Indonesia Raya ini—yang diklaim oleh Muhammad Yamin sebagai Asta Dwipa—menyimpan begitu banyak kisah bahari yang tersohor hingga mancanegara.

Alangkah irinya aku, setiap kali Sicilia bercerita dengan runut tentang kota dan budaya yang pernah ia serap. Tentang keindahan Kade—dermaga kecil di kota lama Semarang. Juga tentang pabrik pengalengan ikan sarden milik Opa di pinggir laut Banyuwangi—yang luluh-lantak setelah kena bom.

Perempuan yang pernah merasakan bangku H.B.S ini masih menyimpan ingatannya sejak masa penjajahan Belanda hingga tahun 65. Usia panjang membuatnya terus merangkum berbagai kisah sampai Reformasi datang.

"Pagi ini langit hampir mendung. Padahal beberapa menit lalu masih panas."

Sicilia bersama secangkir teh di tangannya, di tengah kota kami yang dekat dengan laut. Pagi ini aku memetik melati. Seperti ritual pagi yang selalu aku lakukan sejak kecil, ketika Affandi masih hidup. Pagi hari kami memetik bunga dan merangkainya dengan lidi kecil. Lalu rangkaian itu kami letakkan dalam vas mini yang ada di ruang tamu.

"Mungkin akan hujan, Ma, kasian warga jakarta, terpaksa harus mengungsi lagi. Musim banjir segera tiba."

Aku meletakkan bunga melati yang harum di pangkuan, sambil menyusunnya satu-satu. Memanggil ingatan masa kecil, saat aku duduk di pangkuan Affandi.

Sicilia menggeleng. Meletakkan cangkir teh porselen dengan gambar bunga yang digenggamnya. Beranda rumah kami cukup luas, dengan bunga dan tumbuhan dalam pot besar.

"Musim semakin tidak jelas, dulu tidak ada banjir begini."

Aku tertawa dan menggeleng melihatnya merasa kesal. Rasanya sebentar lagi ceramah kebangsaannya akan dimulai.

"Kota ini banjir sejak dulu, Ma, sejak zaman Belanda."

"Ya! Tetapi tak seluruh Jakarta. Hanya Oud batavia saja. Sekarang semuanya tenggelam. Pun rumah-rumah di pusat kota," sahutnya ketus.

"Jakarta kan kota pesisir, menjorok di dekat laut. Pasti gampang banjir. Plumpung dan Tanjung Priuk setiap hari banjir, biar tak ada hujan setetes pun." Aku masih khusyuk merangkai melati.

Udara menjadi dingin. Sicilia kembali menyeruput teh panasnya. "Itu banjir rob, air laut naik saat pasang. Beda dengan air kali yang meluap di pusat kota. Negeri Belanda juga pesisir. Kotanya malah lebih rendah dari laut. Mereka uruk kota yang rendah itu."

Aku tertawa keras, hampir saja buyar rangkaian melati di tanganku. "Aduh Mama, mereka menguruk negerinya dengan hasil bumi kita. Seperti adagium yang terkenal: Jawa adalah busa yang membuat Netherland tetap mengapung." Aku menggeleng beberapa kali. "Aku taruh dulu bunga-bunga ini di meja. Aku langsung ke kampus ya, Ma."

Sicila mengangguk. "Naik apa ke sana?"

"Seperti biasa, kereta." Aku bangkit dari kursi tempatku duduk.

Sicilia tertawa. "Hahaha…pasti sudah tidak ada lagi andong yang mengangkut penumpang ke kandang sapi di Depok ya? Suasananya pasti akan sangat berbeda dengan dulu. Terakhir aku ke sana, saat ada undangan pesta dansa dari Jonathan. Ke mana sekarang Jonathan?"

Hampir saja aku masuk ke ruang tamu. Aku berhenti sebentar. "Kandang sapi masih ada di Beji. Tapi sudah tak sevital dulu. Siapa yang masih minum susu sapi segar, selain mahasiswa yang indekos dekat sana?"

"Ya..ya…kalau sempat, cari tahu tentang Jonathan ya…."

Astaga Sicilia, ke mana aku harus cari para keturunana Belanda Depok? Bekas pekerja Chastelein yang merdeka dan berganti marga. Aku tinggalkan Sicilia saat tetangga depan rumah kami datang bertamu. Tetangga kami yang keturunan Tionghoa itu memang senang berkunjung.

Kebetulan pagar rumah kami dibuat rendah dan transparan. Siapa saja yang lewat pasti bisa melihat dan bertegur sapa dengan nyonya rumah yang duduk di beranda. Sebentar lagi ibu-ibu yang pulang mengantar anaknya sekolah pun bisa ikut bertamu.

Saat keluar dari lorong kanan rumah yang bersambung hingga ruang keluarga, aku melihat Yono baru selesai mengantar koran di depan pagar rumah. Sepeda onthelnya dipacu kembali. Berkeliling menyapa warga yang lewat.

Hari ini dia datang terlambat. Maklum, ayahnya yang usaha bakmi legendaris itu sudah meninggal dunia. Yono harus mengurus bisnis bakmi warisan keluarga, sekaligus mengantar koran. Ketika Yono benar-benar hilang dari pandangan, aku pamit pada perempuan yang tetap terlihat cantik di usianya yang ke-65 tahun. Menuju stasiun kereta.

Hampir setiap hari aku tempuh rute yang sama. Tapi, perjalanan ini tidak terlampau buruk. Ada banyak hiburan dalam kereta. Pemain gitar akustik, dangdut, campur-sari, sampai konser mini orchestra juga ada. Tidak ketinggallan pengamen yang mengaku baru keluar dari penjara dan sangat yakin, kalau menyisihkan uang untuk mereka tidak akan membuat penumpang kereta jatuh miskin.

Jajanan pun aneka rupa. Jangan khawatir bila tak sempat sarapan. Kuliner dalam kereta ekonomi Jakarta-Bogor tidak pernah mengecewakan.

Hanya yang sering bikin gusar adalah kaki orang-orang yang memanjat jendela untuk naik ke atas kereta. Kadang, lemparan batu bocah iseng di pinggir rel juga bisa bikin senewen. Kalau cuaca bagus, dari Stasiun Kalibata akan terlihat gunung yang indah. Kontras dengan pemandangan di bawahnya, ibu dan anak yang tidur di bawah peron kereta.

Tak berapa lama, kereta sampai di Stasiun Lenteng Agung. Stasiun yang sangat khas—karena peronnya dipenuhi pedagang kaki lima. Lalu melaju dan berhenti di Stasiun Pasar Minggu.

Persis di belakang stasiun ini, sahabatku tinggal. Seorang perempuan keturunan Betawi-Sunda yang tumbuh di pusat budaya Betawi: Condet. Tempat para jawara. Salah satu yang terkenal ya Entong Gendut—jawara Condet yang membuat Belanda kewalahan.

Di Condet, ada jalan Batu Ampar dan Bale Kambang—yang terkenal seantero tukang ojek Stasiun Pasar Minggu. Syahdan, ada seorang putri bernama Siti Maimunah yang terkenal dengan kecantikannya. Dia dilamar oleh Astawana, anak pangeran Tenggara dari Makassar.

Sang putri mengajukan sebuah syarat. Astawana harus bisa membuatkan rumah dan sebuah bale di atas empang dekat kali Ci Liwung. Bale itu untuk tempat istirahat sang putri. Pembangunan harus dilakukan dalam satu malam.

Tidak disangka, Astawana berhasil melakukannya. Esok pagi sudah tersedia sebuah rumah dan bale di atas empang. Sekaligus dibuat jalan penghubung dengan kediaman keluarga Pangeran Tenggara, yang diampari batu. Mungkin itu sebabnya, di sini terdapat kelurahan Batu Ampar. Tidak hanya itu saja, masyarakat menyebut jalan itu dengan sebutan Bale Kambang (balai yang mengambang di atas air).

Aku masih terus mengenang jenak-jenak kota ini, saat kereta melaju meninggalkan Stasiun Pasar Minggu. Menuju Stasiun Tanjung Barat. Hei, di mana kerajaan itu? Kerajaan Tanjung Barat yang menjadi bagian dari Kerajaan Padjajaran.

Putri dari Raja Tanjung Barat, Kinawati adalah istri Suryawisesa, Raja Padjajaran. Kerajaan Tanjung Barat memiliki peranan penting dalam menjaga Pelabuhan Kalapa, yang tidak hanya menjadi urat nadi perdagangan Kerajaan Padjajaran, tetapi juga kerajaan lainnya.

Dimanakah sisa Kerajaan Tanjung Barat kini? Aku sendiri tak tahu pasti. Tanjung Barat yang macet dan berdebu setiap hari, sama sekali tidak menyisakan kesan pernah menjadi istana. Ceritanya pun tenggelam begitu saja. Berlalu seperti kereta yang kutumpangi. Berlalu seperti hidupku yang begitu nyaman di kota yang ramai.

Dalam risau kupanjat doa. Tuhan, aku bosan dengan hidupku. Aku ingin melihat tempat yang lain. Bukan sekedar jalanan yang sama setiap hari. Jika ada satu kesempatan saja, biarkan aku melihat apa yang pernah Sicilia lihat. Laut yang luas, dermaga yang riuh, bangunan kuno yang anggun dan budaya pesisir yang meriah. Kurasa, Tuhan tahu caranya menjawab pintaku.

***

Jakarta, Juli 2007

"Fibriodenoma Mammae?"

Aku mengulang istilah yang baru saja dokter sebut. Mengira-ngira apakah aku salah ucap?

"Ya, Fibriodenoma Mammae atau FAM di payudara kanan dengan diameter 1,7 cm. Saya akan rujuk ke dokter bedah."

Dokter perempuan dengan jilbab putih itu mengambil secarik kertas dan menulis dengan cepat.

Aku masih melongo. Beberapa hari yang lalu, kurasa ada yang aneh dengan payudaraku. Seperti ada benjolan yang cukup padat dan suka "lari-lari" jika disentuh.

Usiaku masih 22 tahun. Belum seperempat abad menjajal kehidupan. Hanya bermodal rasa penasaran, aku mencari tahu. Masih dengan keterbatasan informasi yang aku punya, aku khawatir ada tumor di payudaraku sebelah kanan.

Tidak mudah meyakinkan Sicilia untuk mengizinkanku periksa ke dokter. Tumor payudara masih menjadi momok menakutkan. Setelah berkali-kali membujuk Sicilia, akhirnya aku bisa melakukan USG Mammae. Dan sekarang, di sinilah aku berada. Dalam nuansa putih rumah sakit yang tidak pernah aku suka.

"FAM bisa dibilang sebagai tumor jinak yang paling sering dijumpai pada payudara. Hormon reproduksi disinyalir berkaitan erat dengan keberadaan FAM. Namun hingga kini, penyebab FAM tidak bisa dipastikan. Hasil USG Mammae ada satu FAM di payudara kanan. Tapi setelah saya periksa, ternyata ada empat. Satu agak besar di kanan dan tiga kecil-kecil di kiri."

Lelaki yang sudah sepuh ini namanya Prof. Hartanto. Ahli bedah paling senior di rumah sakit tempatku diperiksa.

"Dokter, kenapa saya bisa mengidap empat tumor di payudara?" Tanyaku gelisah.

Dokter yang religius itu menjawab dengan tenang. "Takdir."

Entahlah, aku tidak mengerti lagi harus berkata apa? Cepat Prof. Hartanto memberi instruksi untuk operasi. Tidak ada second choice dan sebagai dewasa muda yang awam, aku pun belum mengerti konsep second opinion.

Aku, Rintik Pagi, percaya saya dengan titah Prof. Hartanto. Operasi dipersiapkan. Ini operasi pertamaku, kuharap jadi yang terakhir juga. Tapi karena berat badanku di bawah normal, terpaksa aku harus dikurung dulu di rumah sakit untuk menaikkan berat badan. Katanya ini sangat berpengaruh pada pemberian obat bius saat operasi.

Tiga hari di rumah sakit, Prof. Hartanto yakin operasi bisa dilakukan. Semua berjalan lancar. Meski aku sedikit bingung. Saat pemeriksaan katanya ada empat tumor. Tapi yang diangkat hanya tiga tumor.

"Tumor yang satu lagi tidak terdeteksi saat dalam ruang operasi. Mungkin itu hanya kelenjar biasa." Hanya itu jawaban Prof. Hartanto saat aku bertanya.

Hasil pemeriksaan laboratorium, tumor ini jinak dan tidak berbahaya. Aku bisa pulang ke rumah. Dua minggu tinggal di rumah, aku mulai tidak betah. Buru-buru ingin kembali jadi mahasiswa. Apalagi aku tengah menyusun tugas akhir. Balik ke kampus, aku jadi konsultan dadakan.

Banyak teman-teman perempuan yang datang padaku secara sembunyi-sembunyi untuk cari tahu tentang tumor payudara. Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Ya memang harus begitu, kan kalau pacarnya di kampus tahu bisa gawat.

Kalau dikira punya tumor payudara, nanti bisa putus. Dipikirnya, kalau ada tumor di payudara, bisa-bisa payudaranya diambil. Terus tidak bisa menyusui anak, terus....mmm…masa perempuan tidak punya payudara?

Stigma yang menyebalkan. Apalagi terkait tubuh perempuan. Aneh juga, ini tahun 2007, kenapa pula masih berpikiran model begitu? Bagiku sendiri, stigma macam ini berbahaya. Wajar kalau banyak perempuan yang takut berobat—saat sudah positif terkena tumor di payudara atau rahim.

Seperti perempuan muda yang datang sore itu. Perempuan ini juniorku di kampus. Dia bilang, dia merasa ada benjolan di payudaranya. Kusarankan dia untuk periksa. Tak berapa lama, aku tanya lagi kondisinya. Benar saja, ada FAM di payudaranya. Tapi perempuan itu enggan operasi.

"Aku bingung, Mbak. Aku kan perempuan belum menikah. Nanti kalau operasi pasti ada bekas luka di payudara. Nanti kalau nikah bagaimana? Nanti aku tidak bisa menyenangkan suamiku."

Aku tidak habis pikir. Operasi memang bukan satu-satunya jalan keluar. Tetapi, haruskah keputusan sepenting ini mempertimbangkan kesenangan dan kepuasan orang lain? Tubuh perempuan kan bukan objek. Entahlah, kuharap aku bisa lebih adil, agar tidak sembarangan menghakimi pilihan orang lain.

Satu bulan setelah operasi, aku melakukan kenakalan kecil, ikut aksi di depan gedung pemerintah. Setelah lompat-lompat sok heroik, baru aku sadar, seperti ada yang salah dengan jahitan operasiku. Aku cek di toilet. Muncul segaris benda hitam aneh. Sedikit mengganggu. Aku pikir itu benang baju yang menempel di tubuh.

Dengan sok tahu, kutarik benda itu. Tuhan, benar-benar bodoh aku ini! Benang kecil itu memanjang saat ditarik dan keluar darah. Baru aku sadar, kalau itu bagian dari benang jahitan operasiku sendiri.

Aku panik melihat darah keluar. Langsung aku ke rumah sakit dan menemui Prof. Hartanto. Beliau menghadapi ketakutanku dengan tenang. Benang digunting dan luka dibersihkan. Saat benang ditarik, aku menangis. Sakitnya tidak tertahankan. Sebuah kecerobohan yang harus dibayar mahal.

Ternyata cerita jahitan operasi ini tidak tuntas begitu saja. Beberapa hari kemudian jahitanku bengkak, ruam dan gatal. Aku kembali ke Prof. Hartanto. Katanya aku menderita keloid—dimana bekas luka tidak bisa hilang sempurna dan meninggalkan bekas yang menonjol.

"Hanya ada dua jalan. Suntik kenacort seminggu sekali atau bedah plastik." Prof. Hartanto memberi jalan keluar dengan wajah sedikit iba.

Ini hal paling buruk yang tak pernah bisa kuterima. Sejak kecil, aku takut sekali bergantung pada jarum suntik. Tetapi, untuk kembali masuk ke ruang bedah juga bukan pilihan yang mudah. Akhirnya aku memilih untuk suntik seminggu sekali.

Meskipun pilihan ini lumayan tepat, tapi aku memilih tanpa tahu resikonya. Lagi-lagi pemahamanku terbatas, aku tidak bertanya dan sulit mencari tahu sendiri. Jarum suntikannya memang kecil. Namun jarum itu disuntikkan tepat pada luka jahitan. Kadang luka jahitan sampai berdarah. Aku menangis. Setiap kali harus suntik, aku merasa sedang mimpi buruk.

Sakit yang sesungguhnya justru hadir setelah seremonial suntikan ini selesai. Cairan obat mengalir di sekujur tubuh. Seperti ada benda asing dalam aliran darah yang memaksa masuk. Menusuk ke setiap bagian tubuhku.

Tulang punggungku langsung tak bisa digerakkan. Setelah cairan ini masuk, aku hanya bisa berbaring selama dua hari. Serasa hidupku akan berakhir beberapa jam kemudian.

Aku frustasi. Hidupku bergantung pada jarum suntik seminggu sekali. Kuliahku, skripsiku, duniaku. Semua ikut kacau. Syukurlah, tak lama setelah itu, keloidku sembuh. Prof. Hartanto menyudahi suntikan yang membuatku hampir gila.

Namun, satu hal yang tidak pernah aku duga, bahwa ini hanyalah sebuah awalan yang membawa bandul hidupku pada arah yang tidak pernah bisa aku terka. Seperti sapaan hangat di pagi hari: Hai, Rintik Pagi, Tuhan sedang menjawab doamu.

avataravatar
Next chapter