webnovel

Temporary Deja Vu

Mature content 21++ Romance, Action. Volume 1. Sejak tragedi malam berdarah yang membuat punggung seseorang disayat katana membuat kehidupan normal Rere di Jakarta berubah, ia tak menyangka beberapa bulan setelah malam itu berlalu mereka masih dipertemukan sampai akhirnya memulai kisah baru karena Jordan terus berlari ke arahnya, meminta Rere bersama meski banyak pisau Jordan siapkan di belakang punggung karena menyimpan sejuta rahasia yang tak ingin diungkapkannya pada Rere. Sekalipun Barra bisa menjadi keinginan yang sama, tapi Renita takut melangkah ke arah orang lain, ia tak bisa meninggalkan Jordan tanpa alasan kuat meski sikap posesif laki-laki itu membuatnya tertekan sampai perlahan Barra membuat keadaan berbalik, kebodohan Jordan adalah alasan utama Rere sampai berlari ke arah orang lain, dan Barra menikmati momen saat mereka akhirnya berpisah di tengah jalan. Volume 2. Tinggal di Bali adalah pilihan yang tepat saat Jakarta tak lagi ramah untuk Rere, setelah banyak konflik yang terjadi hingga ia meninggalkan seseorang, setahun menghilang dari kehidupan Jordan tetap tak membuat perasaan laki-laki itu berubah terhadapnya meski ia sudah menjalin bussines relationship dengan Chelsea. Barra-lah yang selalu bersama Rere, sikap Barra yang begitu tulus membuat Renita bertahan lama di dekatnya meski mereka tak menjalin hubungan istimewa karena jauh dalam hati Barra ia hanya bertekad menjaga Rere meski begitu mencintai, ia tak menginginkan Amanda kedua dalam kehidupannya, cukup Amanda di masa lalu yang pergi karena patah hati. Lantas, bagaimana jika Rere menekan agar mereka bersama? Apa Barra akan meruntuhkan keputusannya? Bagaimana dengan Jordan yang masih memiliki andil besar dalam kehidupan gadis itu? —by aprilwriters

aprilwriters · Urban
Not enough ratings
293 Chs

Memilikimu, lagi.

Jordan merasa benar-benar beruntung saat Renita sudi datang ke apartemennya setelah pulang dari panti rehabilitasi jiwa tempat Mawar dirawat, pasalnya Jordan mengatakan jika ia belum sarapan sejak pagi, alhasil rasa iba yang Renita miliki bergejolak mendengarnya. Meski beberapa kali Renita menyarankan agar Jordan membeli makanan di luar saja, tapi kekasihnya itu keukeuh menolak dengan alasan jika ia tak ingin makan hari itu juga seandainya bukan Renita yang memasak. Bukankah mengesalkan sekali tingkah laku Jordan, alhasil Renita mengalah setelah meminta janji Jordan untuk memulangkannya ke tempat kost jika kekasihnya selesai makan.

Jordan tampak duduk di sofa yang tak jauh dari keberadaan Renita, perempuan itu terlihat sibuk mengaduk nasi goreng yang masih belum matang. Setiap gerak-gerik Renita selalu Jordan perhatikan, ia tak ingin beralih takut-takut gadis itu akan menghilang diculik jin botol. Siapa tahu.

Renita mematikan kompor, ia meraih sebuah piring ceper dari kabinet atas dan memindahkan nasi goreng secukupnya di sana sebelum meletakan makanan tersebut di meja makan seraya menoleh ke arah Jordan yang kini bangkit dan menghampirinya.

"Makan dulu, Jo. Habis ini antar aku pulang, ya," tutur Renita seraya menarik salah satu kursi untuk duduk Jordan, "di luar kan mendung, takutnya hujan deras, nanti baju-baju aku yang di luar malah kehujanan."

"Bisa nggak sih jangan bilang pulang-pulang terus, Re. Di sini kan rumah pacar kamu, jadi dibawa nyaman aja." Jordan sedikit kesal sebab berulang kali Renita mengingatkannya agar mengantar perempuan itu pulang, ia duduk seraya meraih garpu sendok dan mulai menikmati sarapannya yang terlambat.

"Maaf, tapikan pacar sama suami itu beda."

"Ya udah, besok kita nikah biar kamu enggak repot bolak-balik terus, biar kamu di sini aja sama aku."

Renita mengatupkan bibir, ia tak ingin berbicara lagi untuk melawan argumen Jordan. Ia juga menarik kursi kosong di sebelah Jordan sebelum menghempaskan pantatnya di sana, tangan kiri Renita ia gunakan untuk menopang dagu dengan posisi menyamping menghadap Jordan, anggap saja ia tengah memperhatikan kekasihnya makan.

"Kok nggak makan juga?" tanya Jordan.

"Aku enggak lapar, kayaknya itu aku sengaja buat pedas, kok masih doyan?"

"Kalau Rere yang masak apa aja aku makan," sahut Jordan meyakinkan, ia benar-benar menikmati nasi gorengnya meski aura tampak berbeda, belum lagi saat bulir keringat mulai muncul dari kening usai ia merasakan sengatan panas berlebihan di kerongkongan serta perutnya, meski AC menyala tetap tak mampu menangkis keringat Jordan yang semakin banyak saat ia bertekad menghabiskan nasi gorengnya.

"Kamu menghargai banget ya sampai nasi gorengnya dihabisin, aku lupa kalau kamu nggak suka pedas, tapi tetap aja aku masak," aku Renita, ia meraih beberapa lembar tisu yang terhidang di meja sebelum mengusapkannya pada kening Jordan.

"Kamu niat banget ngebakar aku, ya, Re." Jordan menarik begitu saja kausnya hingga ia shirtless, Renita lantas mengalihkan pandang saat enggan berlama-lama menatap laki-laki bertelanjang dada tersebut.

"Aku tunggu di ruang tamu aja." Renita meletakan tisu tadi di meja sebelum beranjak meninggalkan Jordan tanpa ingin menoleh sama sekali. Ia sudah melihat tubuh shirtless itu beberapa kali, tapi rasanya tetap tak terbiasa dan membuatnya tak nyaman.

Jordan tak mengenakan lagi kausnya meski ia sudah selesai makan dan meneguk segelas air dingin, laki-laki itu berjalan santai menghampiri Renita yang setia menunggunya di ruang tamu.

"Kenapa enggak pakai kaus, Jo? Kan kamu mau antar aku pulang."

"Ambilin dong yang baru."

Renita mengalah dan beranjak tanpa perlu tawar-menawar dengan Jordan, ia menghampiri kamar Jordan sebelum kekasihnya ikut mengekor dan masuk ke sana. Renita tampak membuka lemari dan meraih gantungan baju sebelum meloloskan kaus dari sana, sedangkan Jordan sendiri membungkuk di depan laci kecil sisi ranjang seraya mengeluarkan sesuatu yang kini disembunyikannya pada saku celana.

"Ini, Jordan." Renita menghampirinya seraya mengulurkan kaus yang ia pilih.

"Makasih, ya, Re." Jordan tak langsung mengenakannya, ia hanya meraih kaus tersebut sebelum menarik Renita dalam dekapan. "Kangen banget kalau ditinggal pulang lagi, di sini aja, ya, Re."

"Jordan, aku harus pulang." Tanpa Renita tahu Jordan merogoh sesuatu dari saku celana, laki-laki itu menggigit penutupnya agar terlepas sebelum menancapkan jarum suntik berisi sebuah cairan pada lengan kiri Renita dalam sepersekian detik saja, Renita refleks mendorongnya dan menatap bingung Jordan. Entah apa yang baru saja terjadi sampai sebuah gigitan semut terasa menyentuhnya. "Kamu ngapain, Jo?"

"Enggak." Jordan sudah melempar suntikan kosong tadi ke sembarang arah saat Renita mendorongnya. "Aku enggak ngapa-ngapain kok, emang kamu kenapa, Re?"

Renita merasakan sesuatu berbeda dari tubuhnya, sangat-sangat kentara—terutama ketika hawa panas seakan terus menjalar tanpa ampun. "Kok gerah banget, bukannya tadi AC kamar ini udah dingin, ya."

Jordan bergeming, ia memilih duduk di tepi ranjang seraya menikmati setiap detik proses yang terjadi akibat efek cairan asing di dalam tubuh Renita.

"Jordan, ini gerah banget." Renita keresahan sendiri. "Kamu apain aku, Jo."

"Cuma sengatan kecil aja kok, dan aku bisa bantuin kamu sekarang, Re." Ia beranjak mendekati Renita yang semakin tak bisa mengontrol tubuhnya. "Ini gampang banget kok, Sayang." Jordan berdiri tepat di belakang Renita, mendekapnya dari belakang seraya berbisik sensual.

"Apa, aku kenapa?" Otak Renita masih berfungsi dengan benar, tapi raganya menolak untuk mengikuti keinginan hati si pemilik. Ia ingin berlari secepat mungkin menjauhi Jordan yang sudah memberikan tanda-tanda tentang sesuatu—saat Renita sama sekali tak menginginkannya. "Jo, please. Aku mau pulang."

"Nanti kita pulang, kamu tenang aja, sekarang kita mulai dulu." Jordan mengecupi leher kekasihnya dari sisi kanan, Renita yang semakin tak terkontrol akhirnya menyerah dan mengikuti keinginan tubuh setelah dikuasai efek cairan dari suntikan milik Jordan tadi. Jordan melepas pelukannya saat sikap Renita mulai agresif, benar-benar bukan Renita. Perempuan itu memutar tubuh dan menerima bibir Jordan yang kini mengecupnya penuh hasrat, lantas semuanya berlangsung seperti seharusnya saat Jordan mendorong Renita ke ranjang, mereka memulainya lagi setelah beberapa hari lalu telah terjadi.

***

Ketika sepasang kelopaknya mengerjap beberapa kali, kegelapan yang tampak menghampiri. Renita masih merasakan sisa rasa pening di kepala, ia sudah bisa membuka matanya lebih lebar dan melihat pekat di segala arah. Perempuan itu beranjak, tapi saat menyingkap selimut ia baru menyadari jika kini telanjang tanpa sehelai pun benang, buru-buru Renita menarik selimutnya untuk menutupi tubuh hingga sebatas dada.

Renita menyalakan lampu tidur pada laci kecil di dekatnya, setelah itu cahaya yang tercipta cukup membuat Renita menyadari jika ia benar-benar tak berada di tempat kost—terlebih seseorang masih terlelap begitu nyenyak di sampingnya.

Renita menelan ludah, ia terpejam meremas rambut seraya mengingat segala hal yang terjadi sebelum dirinya telanjang seperti sekarang. Ia menelan ludah begitu mengingat segalanya, ia memutuskan menyingkap lagi selimut dan membiarkan tubuh telanjangnya terlihat tanpa membangunkan Jordan.

Kamu jahat banget sama aku sih, Jo. Kenapa kamu ulang lagi hal kayak gini. Renita kecewa, lagi-lagi Jordan memaksanya. Meski minim cahaya, tapi Renita tetap meraba lantai tempat pakaiannya tercecer, ia bergerak cepat menghampiri kamar mandi dan menyalakan lampu di dalam sana, ditatapnya pantulan tubuh di depan wastafel, di beberapa titik terdapat ruam kebiruan bekas bibir seseorang.

"Apa ibu benar kalau aku ini juga akan jadi pelacur." Renita tersenyum miris. "Apa semuanya dimulai sekarang? Apa semua itu benar, bu?" Matanya terlihat memerah, sesuatu masih terbendung di sana. Kini ia beralih di bawah shower, menyalakannya sebelum mendekap tubuh dan menunduk merasakan dinginnya air shower meluruh menyentuh setiap centi kulit tubuhnnya.

Mungkin ya, air matanya jatuh saat air shower menghujani tubuhnya, tapi tersamarkan dengan aman.

Sekitar setengah jam Renita berada di kamar mandi, saat ia keluar dengan pakaian yang sempat dikenakannya—terlihat lampu kamar menyala, tak ada Jordan lagi di ranjang, pasti sudah terbangun saat Renita membersihkan badan tadi.

Renita bergegas keluar dari kamar, ia menemukan Jordan sudah berganti pakaian, kekasihnya itu tengah duduk di sofa ruang tamu dan tersenyum sumringah ketika melihat Renita keluar dari kamar. Sayangnya, Rere sama sekali tak menghampiri Jordan, kekesalan kentara di wajahnya.

"Re, mau ke mana?" Jordan beranjak menghampiri Renita yang kini berdiri di depan pintu utama dan siap melenggang keluar, laki-laki itu menarik tangannya. "Kamu mau pulang, kan? Biar aku antar, ini udah malam."

"Aku bisa pulang sendiri." Rere menepis kasar tangan Jordan hingga melepas genggamannya.

"Kamu kenapa sih, kamu marah?"

"Kamu bisa nggak sih perlakukan aku dengan layak, Jo." Kening Renita mengerut. "Aku manusia, Jo. Bukan binatang."

"Yang anggap kamu binatang itu siapa sih, Re?"

"KAMU!!!" Renita menunjuk dada Jordan. "Kalau kamu anggap aku manusia harusnya nggak perlakukan aku kayak tadi, atau jangan-jangan kamu malah anggap aku pelacur—biar bisa ditidurin seenaknya." Renita menarik kenop pintu, saat terbuka dan mencipta ruang justru Jordan mendorongnya hingga tertutup lagi dan bersandar di sana, sengaja menghalangi Renita agar tidak pergi. "Aku mau pulang, aku udah muak di sini."

"Nggak. Kalau kamu marah, kamu nggak boleh pulang, Re."

"Jordan." Rupanya Jordan mengajak amarah Renita bermain-main.

"Aku nggak mau, Re."

"Jordan!"

Mendengar Renita membentaknya membuat Jordan melotot dan refleks menangkup wajah perempuan itu seraya sedikit menekannya. "Kamu punya aku, Re! Udah kayak gitu seharusnya."

"Kalau kamu merasa memiliki sesuatu, harusnya kamu bisa menghargai apa yang kamu punya, nggak kayak tadi. Aku nggak suka, Jordan. Kamu kelewat batas."

"Aku cuma mau memiliki kamu seutuhnya, aku takut, Re. Aku takut." Jordan meluruhkan tangan, ia mendekap perempuan itu. "Maaf, Re. Maaf."

"Bisa aku tanya satu hal? Apa anak seorang pelacur juga akan jadi pelacur?"

***