webnovel

Temporary Deja Vu

Mature content 21++ Romance, Action. Volume 1. Sejak tragedi malam berdarah yang membuat punggung seseorang disayat katana membuat kehidupan normal Rere di Jakarta berubah, ia tak menyangka beberapa bulan setelah malam itu berlalu mereka masih dipertemukan sampai akhirnya memulai kisah baru karena Jordan terus berlari ke arahnya, meminta Rere bersama meski banyak pisau Jordan siapkan di belakang punggung karena menyimpan sejuta rahasia yang tak ingin diungkapkannya pada Rere. Sekalipun Barra bisa menjadi keinginan yang sama, tapi Renita takut melangkah ke arah orang lain, ia tak bisa meninggalkan Jordan tanpa alasan kuat meski sikap posesif laki-laki itu membuatnya tertekan sampai perlahan Barra membuat keadaan berbalik, kebodohan Jordan adalah alasan utama Rere sampai berlari ke arah orang lain, dan Barra menikmati momen saat mereka akhirnya berpisah di tengah jalan. Volume 2. Tinggal di Bali adalah pilihan yang tepat saat Jakarta tak lagi ramah untuk Rere, setelah banyak konflik yang terjadi hingga ia meninggalkan seseorang, setahun menghilang dari kehidupan Jordan tetap tak membuat perasaan laki-laki itu berubah terhadapnya meski ia sudah menjalin bussines relationship dengan Chelsea. Barra-lah yang selalu bersama Rere, sikap Barra yang begitu tulus membuat Renita bertahan lama di dekatnya meski mereka tak menjalin hubungan istimewa karena jauh dalam hati Barra ia hanya bertekad menjaga Rere meski begitu mencintai, ia tak menginginkan Amanda kedua dalam kehidupannya, cukup Amanda di masa lalu yang pergi karena patah hati. Lantas, bagaimana jika Rere menekan agar mereka bersama? Apa Barra akan meruntuhkan keputusannya? Bagaimana dengan Jordan yang masih memiliki andil besar dalam kehidupan gadis itu? —by aprilwriters

aprilwriters · Urban
Not enough ratings
293 Chs

2. Enam bulan setelahnya.

"Renita Hakim." Amplop cokelat diulurkan oleh HRD salah satu swalayan terbesar di Jakarta, hari ini tepat tanggal satu, waktu paling ditunggu orang-orang karena menerima gaji mereka di awal bulan meski terkadang tanggal muda hanya berlaku sehari saja. Kaya raya hari ini, lalu miskin hari esok. Biasanya hal sederhana itu berlaku saat orang-orang sudah menghitung jumlah tagihan yang harus mereka bayar usai menerima gaji, anggap saja mereka hanya menyentuh isi amplop tanpa bisa menggunakannya, tragis.

Rere bernapas lega, hari ini tepat gaji ke-delapan yang ia terima sejak bekerja di tempat itu sebagai crew store setelah nekat datang sendirian ke Jakarta delapan bulan lalu, untung saja beberapa hari setelah mendapat tempat kost akhirnya lowongan pekerjaan juga ia dapatkan, untungnya juga Rere membawa ijazah yang hanya berstatus lulusan SMA saja. Masih banyak jalan asal mau berusaha, dan tinggal sendirian tanpa keluarga di Jakarta bukanlah hal mudah, tapi pulang lagi ke Bandung tak masuk dalam list keinginan Rere, ia hanya ingin ... damai saja.

Rere segera masukan amplop tadi pada ranselnya usai keluar dari ruang HRD, ia cukup semangat pulang sore ini—apalagi mendengar perihal bazar sembako murah di dekat tempat kost dari ibu-ibu yang asyik berbelanja sayuran pagi tadi, mungkin Rere ingin membeli banyak barang nantinya.

Rere meloloskan topi biru muda dari kepala, terlihat kening gadis itu sedikit basah. Ia tarik saja ikat rambut sebelum kumpulkan lagi semua mahkotanya hingga membentuk sebuah cepol sederhana, segera Rere gendong ranselnya tanpa memedulikan beberapa teman yang baru saja masuk seraya berbicara perihal tempat karaoke. Ada satu ruangan khusus tempat istirahat karyawan, juga disediakan loker bagi mereka menyimpan barang pribadi.

"Re, mau langsung pulang?" tanya Vita—teman dekat Rere sejak pertama kali ia masuk kerja, gadis itu baru saja masuk seraya memegang amplopnya.

"Iya, mau beli barang di bazar murah."

"Gue mau ikut karaoke. Lo nggak—eh lama ngga ikut karaoke, ya."

Rere bergeming sejenak, ada rasa trauma dengan urusan karaoke, ia telah berjanji pada diri sendiri takkan lagi pulang telat setelah kejadian enam bulan silam. Kejadian mengerikan yang membuat Rere cukup geli jika melihat minuman warna merah atau softdrink sejenisnya, anggap saja Rere parno hanya karena darah laki-laki malam itu.

"Iya, aku mau langsung pulang aja, ya." Rere tatap arlojinya. "Aku tinggal duluan, ya. Kejar busway."

"Oh, ya udah nggak apa-apa. Hati-hati di jalan, ya, Re," pesan Vita.

"Oke." Rere tersenyum sebelum keluar tinggalkan tempat itu, tangannya meraba saku rok navy sekadar merogoh ponselnya.

Helaan napas berat berlangsung usai Rere mengecek isi pesan, panggilan atau pun roomchat miliknya. Tak ada satu pun pesan dari keluarga, ia hanya bisa tersenyum miris, mungkinkah waktu delapan bulan takkan membuat satu pun dari mereka miliki rasa rindu terhadapnya. Rere bahkan sengaja tak mengganti nomor telepon, sebab ia selalu berpikir kalau orangtuanya mungkin akan mencari si anak gadis yang hilang, tapi seperti harapan semu, omong kosong saja.

Raut kecewa masih hinggap, ia masih tatap layar ponsel saat kakinya sudah menapak halaman swalayan. Langit sore terlihat mengabu, siapa pun tahu kemungkinan besar yang terjadi setelahnya. Rere tak membawa jas hujan, ia hanya tak terlalu mempercayai ramalan cuaca akhir-akhir ini. Sekarang ponsel kembali bersembunyi di balik saku roknya, Rere menggulung lengan sebelum berlari tunggang langgang hampiri halte busway yang letaknya sekitar dua ratus meter dari tempat kerja.

***

"Keluar dari kamar gue!" Untuk kesekian kali, Jordan memekik lagi seraya menunjuk pintu kamarnya. Ia sungguh muak dengan perempuan yang sibuk membujuknya agar makan bersama. "Lo budek apa gimana, sih?"

"Jordan, kasihan ayah kamu udah nungguin." Perempuan itu memelas, ia berdiri di sisi Jordan yang terbaring di ranjang seraya sandarkan punggungnya, tapi ekspresi itu membuat Jordan berdecih kesal.

"Nggak guna. Mau makan tinggal makan, bukan bocah lagi, kan, kalian? Nggak usah ngatur-ngatur gue, minggat dari sini!" Jordan memang takkan bisa mengontrol ucapan pedasnya, entah pada siapa pun jika ia sudah melontar kata kasar—maka akan terus berulang, terlebih pada mereka yang pernah membuatnya marah. Apalagi Sarah—mantan kekasih Jordan sekaligus calon istri baru Januar, kenyataan gila yang ia pikir hanya ada di televisi ternyata berlaku dalam kehidupannya.

"Jordan, please." Sarah benar-benar memohon.

"Gue jijik banget sama elo, sumpah. Untung aja gue nggak pernah pakai elo, ya kali bokap sama anak bakal pakai satu cewek yang sama. Mending keluar."

"Jordan—"

"Keluar gue bilang!" Jordan tak bisa lagi menahan kekesalannya, ia beranjak sebelum menarik paksa Sarah keluar kamar. "Jangan pernah lagi lo masuk lewati ambang pintu kamar gue, masuk aja ke kamar ayah gue."

Brak!

Suara bantingan pintu menjadi akhir mutlak, persetan dengan tangis penyesalan Sarah yang masih berdiri di balik pintu. Entah sebesar apa pun perhatian yang Sarah bagi, takkan lagi Jordan pedulikan, sakit hati benar-benar menutup pintu maaf bagi mereka, apalagi Sarah akan menjadi ibunya. Bisa benar-benar gila jika kemudian hari Jordan akan hadapi semua itu, sepertinya ia butuh anti depresan sesegera mungkin.

Jordan kembali bersandar di ranjang, ia raih laptop yang tergeletak di permukaan laci kecil sisi ranjang. Enam bulan telah berlalu sejak kejadian mengerikan malam itu Jordan tak lagi bisa berkumpul dengan teman-temannya, ia terus berada di rumah tanpa bisa menikmati dunia hitam yang kini begitu dirindukannya. Dendam kesumat perlahan tumbuh dan bersarang dalam diri laki-laki 24tahun itu, ia benci akan hidupnya, benci pada orang yang telah membuatnya harus mendekam di rumah selama berbulan-bulan karena jahitan luka operasi di bagian punggung kanan akibat sayatan katana yang hampir menghilangkan nyawa satu-satunya.

Ia merasa hidup dalam terungku, tak bebas seperti dulu. Setiap hari hanya sibuk menatap layar laptop sekadar melihat video fighter orang-orang ternama atau main game, sekalipun ia menghubungi teman-temannya, tak ada seorang pun yang diizinkan masuk rumah oleh Januar, ia bahkan sengaja menyewa beberapa bodyguard untuk menjaga Jordan selama sang ayah berada di kantor. Januar hanya ingin sang putra baik-baik saja dan melupakan dunia hitam di atas ring lagi.

Jika Guntur tak lekas datang malam itu, mungkin Maevell Jordan hanya tinggal nama. Ia juga berharap bisa bertemu lagi pada sosok malam itu, meski hanya sekilas Jordan masih teringat wajahnya. Bukan apa, ia hanya terbiasa dengan urusan balas budi, apalagi mengarah pada nyawa. Wajah boleh saja mirip Januar, tapi sedikit sisi lembut yang terselip pada Jordan tentu saja warisan sang ibu.

Jordan, si anak nakal yang hidupnya di jalan tiba-tiba jadi anak rumahan dengan segala aturan. Ia tak bisa bayangkan kekehan teman-temannya jika bertemu Jordan nantinya, mungkin ada adegan bullying lewat bibir.

***

Bazar sembako di dekat kost Rere benar-benar ramai malam ini, untung saja Rere sudah kantongi budget lebih untuk membeli keperluan konsumsinya sendiri, kebetulan ia bukan tipikal gadis yang suka makan di warteg seperti kebanyakan teman-temannya. Rere lebih suka membawa bekal sendiri, semisal Rere sampai membeli makanan warteg—semua itu sebab bahan makanan yang telah habis, tapi budget semakin tipis, ia perlu menghemat pengeluaran. Masih banyak urusan di tanggal muda, bayar kost, beli pulsa listrik yang harus sebulan, beli paket internet, keperluan kamar mandi serta urusan perut. Terakhir, cicilan kulkas.

Gadis itu bahkan belum pulang ke tempat kost sekadar mengganti pakaiannya, ia masih kenakan seragam kerja saat tangan kirinya telah menggenggam dua kantung berisi sayuran serta beberapa macam buah segar. Siapa yang tak suka membeli buah segar dengan harga sepuluh ribu satu styrofoam kecil, lagipula Rere hidup sendirian, ia bisa menghabiskannya beberapa minggu ke depan.

"Abang, telur ayamnya satu kilo. Minyak kemasan isi dua liter satu, ya," ucap Rere pada laki-laki sebaya yang sibuk melakukan transaksi jual beli dengan orang lain, tapi telinganya juga waspada mendengar permintaan Rere tadi.

"Siap!" sahut si penjual sembako seraya keluarkan beberapa uang kertas dari waist bag yang menggantung di dada, ia berikan kembalian pada ibu-ibu gemuk di sebelah Rere. "Makasih, Bu."

Kini si penjual terlihat sibuk menimbang telur pesanan Rere seraya dengarkan permintaan orang-orang yang baru datang, sekalipun keringat mengucur deras dari keningnya, tapi ia lega saat bisa membawa pulang hasil berjualan malam ini. Ada rezeki yang terbalas untuk lelah setiap orang.

"Bawang merah sama bawang putih seperempat juga, deh," ucap Rere lagi.

Si penjual mengangguk, ia baru saja masukan telur pada kantung bening—lalu memisahkannya di meja kecil. Ia tatap Rere sejenak. "Seragam kerjanya kayak kenal, karyawan swalayan depan, ya?"

"Iya, Bang."

"Kok belanja di sini?"

Rere mengernyit. "Emang kenapa, Bang? Ada aturan yang larang, ya? Kok aku nggak tahu."

Si abang terkekeh, ia timbang bawang merah sebelum memasukannya pada plastik kecil. "Bukan gitu maksudnya, kan swalayan situ gajinya gede. Tanggal muda pasti, kan? Biasanya belanja di tempat yang lebih elite, bukan bazar murah."

Giliran Rere yang terkekeh. "Abang kenapa, sih. Kan urusannya masing-masing, buat aku yang ngerantau sendirian itu semua ini udah paling cocok."

"Oh, sendirian?"

"Iya, Abang jangan niat ngelamar, ya. Jodoh aku bukan Abang soalnya, tapi orang Korea." Kekehan geli lagi-lagi terdengar antara keduanya, sungguh malam sederhana yang masih sisakan sedikit rasa senang.

***