2 Part 2

Hati Zalfa sedang gembira kali ini, project mereka sukses, dan mendapatkan bonus. Jangan ditanya ekspresi Dewan ketika tau hal ini. Dia bahkan jingkrak-jingkrak, tak tau malu. Sepeti baru saja mendapatkan hadiah jam dari ciki. Padahal di antara mereka berempat, Dewan mempunyai banyak uang. Sedangkan Figo dan Delvis, mereka terlihat biasa saja.

"Gimana kalau malam ini, kita karaokean, menghilangkan penat guysss, siapa yang setuju, Bang Delvis mau ya, pliss!" Mohon Dewan pada Delvis yang berpura-pura sedang memikirkan permintaan Dewan.

"Kalau Zalfa ikut, ayo aja," jawaban dari Delvis berhasil membuatnya mengumpat, Shit. Zalfa sudah hafal ini, dia tau Zalfa akan menolak, karena sujujurnya Zalfa lebih butuh kasur, ketimbang harus menyanyi gak jelas. Dia bisa lakukan di kamar mandi. Suaranya pun terdengar sangat merdu, ketika konser di kamar mandi.

Dewan sudah menatapnya dengan tatapan anak buaya..Zalfa tersenyum miring, dia menemukan ide, agar mereka tidak jadi pergi.

"Kalau Figo ikut, gue ikut." Dan benar saja, Dewan melemas seketika. Dia tidak mungkin memohon pada lelaki yang sedang PMS itu, entah sudah berapa kali dia kena semprot Figo di hari ini. Dilihat dari wajahnya saja, lelaki itu sudah mengatakan untuk tidak boleh diganggu.

"Eum... mungkin lain kali, kalian pasti cape kan? Pasti butuh istirahat. Ayo kita pulang! Mari pulang, mari lah pulang, bersama-sama." Dewan bersenandung, dia lebih memilih untuk pulang, daripada harus menerima penolakan untuk ketiga kalinya. Sakit tapi gak berdarah.

Zalfa melemparkan senyum pada Delvis dan diberi senyuman serta satu jempol oleh lelaki itu, mereka bernafas lega. Delvis, Dewan dan Zalfa sudah menenteng tas kerjanya, dan menggenggam kunci mobil. Bersiap untuk segera pulang. Kasur mereka susah menunggu untuk di tempati. Malam Minggu ini, lebih baik dilewati dengan istirahat.

"Kenapa gak jadi, ayo kita karokean." Suara itu, harusnya Zalfa mengambil handphone lalu memvidiokannya. Sayang sekali dia terlambat. Lelaki yang sering kali bolos saat mereka sepakat untuk makan di luar, pada saat akhir bulan. Menyetujui untuk karokean. Padahal, dilihat dari hari saja sudah aneh, ini adalah malam Minggu, waktunya dia untuk mengencani pacarnya itu. Biasanya hampir tiap malam malah. Figo selalu bilang bahwa dia ditunggu pacarnya, ketika Dewan dan Delvis tidak bisa mengantar Zalfa untuk pulang.

Delvis hanya mengangguk, tanda setuju. Dewan teriak dalam menyeruakan kemenangannya, berhasil mengajak Figo, sementara Zalfa, perempuan itu hanya mengikut saja. Mereka pergi ke tempat karoke dengan terpisah. Figo membawa motornya sendiri, Dewan juga membawa mobilnya. Hanya Delvis dan Zalfa yang berdua. Zalfa memutuskan untuk ikut dengan Delvis, daripada harus debat di mobil bersama Dewan. Jika ikut Figo, mana mungkin dikasih. Si banyak alasan itu, selalu menjaga jarak dengannya. Mungkin, takut jatuh cinta. Kan cinta bisa datang karena jarak yang terlalu dekat. Perhatikan aja di sekitar kalian, pasti ada yang tiba-tiba ketahuan selingkuh, karena alasan dia selalu ada.

"Tumben ya Bang, Figo mau diajak beginian." Zalfa mengeluarkan isi pikirannya. Dia masih tak habis pikir. Sudah lama menganggumi Figo, baru kali ini, dia tau Figo suka karokean.

"Mungkin lagi gak ada kegiatan," ucapnya masih dengan padangan lurus ke jalan. Jawaban tersebut, tidak membuat Zalfa puas. Dia masih yakin, bahwa lelaki itu sedang ada masalah, paling tidak, mungkin kepalanya terbentur pintu kamar mandi.

"Bisa jadi, tapi aneh aja. Ini malam Minggu, emang si Ervina gak marah, gak diapelin. Biasanya juga mereka nempel terus kayak kertas sama tinta. Aku bahkan gak akan lupa, gimana Figo nerobos hujan gede. Dan ninggalin acara ulangtahunku. Hanya karena Ervina lagi kelaperan dan gak bisa masak," ocehnya dengan ekspresi kesal. Mengingat lelaki itu pergi saat Zalfa ingin memotong kue untuknya. Dan berakhir dengan perayaan ulang tahun yang garing, karena Zalfa sudah keburu sedih.

"Ya bagus dong, artinya Figo udah bukan budak cinta lagi, harusnya kamu senang." Zalfa tersenyum, iya juga. Harusnya dia senang. Kenapa tidak terpikirkan. Mungkin masih kaget, salah! terlalu kaget, ucapnya dalam hati. Emang paling terbaik, yaitu Bang Delvis. Tidak akan bisa digantikan dengan apapun, sekalipun emas dan berlian. Delvis sudah seperti malaikat tanpa sayap untuk Zalfa. Manusia pertama yang akan menghiburnya kala Figo menyakitinya, manusia pertama yang akan memenangkan dirinya ketika sedang berdebat dengan Dewan, Delvis juga yang selalu tempat pertama untuk Zalfa mencari tempat sandaran. Lalu kenapa dia sukanya dengan Figo, kenapa tidak Delvis saja, yang sudah terbukti dengan selalu ada? Itu kan kata kebanyakan orang. Baginya rasa 'suka' itu seperti angin, tidak bisa dilihat apalagi ditimbang, tapi hanya bisa dirasakan.

Mereka sampai di tempat tujuan. Setelah mendapatkan kunci, mereka masuk ke dalam ruangan karoke tersebut. Bukan kaleng-kaleng memang. Tempat referensi dari Dewan. Mereka diantar ke salah satu ruangan yang tersedia di sana. Ketika masuk, mereka disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa mewah, interior dan furniture sangat memperlihatkan kelasnya. Sofa hitam dipadukan dengan dinding yang berhiaskan ukiran berwarna emas. Perpaduan yang sangat luar biasa. Belum lagi, efek lampu yang menyoroti setiap kayu jati. Semakin memperindah ruangan ini.

"Presiden room, serius pake ruangan in?" Tanya Zalfa, setelah pelayan yang mengantar mereka tadi, pergi dari ruangan.

"Iya, kenapa? Bagus ya? Dasar norak! AC di sini lebih dingin dari AC mall." Sepersekian detik, setelah mencerna kata-kata Dewan. Zalfa menyesal sudah bertanya.

"Ya gue aneh aja. Orang pelit kayak lu, ternyata mau traktir kita di sini."

"Gue juga ogah kali, mana mau ngeluarin duit, buat hal sia-sia kayak gini." Zalfa membulatkan matanya dengan sempurna. Jangan sampai, mereka harus patungan untuk ini.

"Maksudnya?" Tanya Zalfa hati-hati, berharap uang bonusnya kali ini, bisa dia tabung untuk beli sesuatu yang lebih berguna.

"Haha, santai aja kali. Ini dia penyelamat kita," ujarnya sembari memperlihatkan kartu member yang ternyata milik ayahnya Dewan. Lega sekali rasanya Zalfa.

Figo dan Delvis tidak ikut berkomentar. Mereka memilih untuk menjatuhkan dirinya di sofa. Dewan mulai memilih lagu untuk mereka nyanyikan. Akhirnya mereka pun menyanyi bersama. Bukan, tidak semuanya. Delvis dan Figo tidak bernyanyi. Hanya Zalfa dan Dewan yang bernyanyi, berbagai cara, telah mereka lakukan agar membujuk dua orang yang kurang asupan semnagat hidup itu. Namun gagal, Delvis malah asik bermain game, sementara Figo, dia tidur, setelah menghabiskan makanannya. Zalfa hanya bisa mendelik, dia sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi. Dia berjanji pada dirinya sendiri, cuti akhir tahun nanti, dirinya harus membawa 2 manusia kurang asupan nutrisi dan gizi ini naik gunung.

"Lu punya obat pencahar ga?" Bisik Dewan pada Zalfa.

"Buat apa? Lu lagi sembelit emang?" Tanya balik perempuan itu.

"Gue pengen banget kasih ke mereka, biar mereka tuh banyak gerak. Gak apa-apa deh, biar pun bulak balik kamar mandi, gue udah seneng liatnya."

"Haha, iya iya. Nanti kita beli." Zalfa menyetujui lelucon itu, gak kebanyak, seorang yang minim ekspresi harus menahan mules yang luar biasa. Membayangkan saja, Zalfa sudah tergelak.

Setengah jam berlalu, mereka berdua istirahat, lalu makan. Mereka mendengar suara panggilan telepon yang berasal dari handphone Figo.

"Bang, handphone Figo nyala terus dari tadi, panggilan dari si Ervina. Si Figo dibanguninnya kebluk banget."

"Yaudah angkat aja,"

"Nanti kalau Figo marah gimana?"

"Ya bilang aja, disuruh Dewan."

"Eh enak aja, enggak. Yang ada gue bisa bisa harus diurut haji Naim nanti."

"Baru diurut haji Naim, belum dipanggil Malaikat,"

"Ngomong mah enak, yang susah itu kedip sambil melotot!" Sewotnya. Dia tidak ingin mencari gara-gara dengan Figo, karena dia melihat Figo dalam kondisi yang tidak stabil, secara emosionalnya.

"Bilang suruh Abang." Akhirnya, ucapan Delvis menjawab khawatiran Zalfa.

Dengan ragu-ragu Zalfa mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo," ucap Zalfa, lalu dia menunggu suara si penelepon tersebut. Bukan sebuah jawaban, panggilan itu justru diputuskan secara sepihak.

"Apa katanya?" Tanya Dewan yang sangat penasaran, Zalfa malah menatap ke arah Delvis.

"Diputusin Bang,"

"Hah. Maksunya, Si Figo diputusin Ervina?" Dengan ekspresi kaget sekaligus penasaran sampai membuat Dewan lelangan control nada suaranya. Dewan menutup mulutnya,dia refleks.

Membuat Figo terusik dari tidurnya, dan melihat ke arah teman-temannya. Sukses membuat Dewan dan Zalfa kaget, dan menelan ludah mereka masing-masing. Ya kali ludah temen. Zalfa dengan perlahan menaruh handphone Figo, dia bersyukur lelaki itu tidak menyadarinya.

"Kenapa sih, berisik banget. Lu abis makan apa sih Dewan, suara lu kayak jangkrik. Berisik!" Marahnya sembari menyugar rambut, suara Figo yang baru bangun tidur sangat merdu di telinga Zalfa. Serak dan berat.

"Enggak ada apa-apa kok, lagunya bagus iya kan?" Dewan mencari pertolongan, tapi kedua teman kantornya memperlihatkan ekspresi tidak percaya. Sungguh dia benar-benar sedang dijebak. Sial, umpatnya.

"Yang nanya ada apa siapa? Gue tuh kesel. Ngasih tau, kalau lu itu berisik. Aneh banget." Figo mengecek jam di handphonenya.

"Gue balik duluan ya, ada urusan," pamit Figo. Diangguki olehketiga temannya dengan berkata hati-hati di jalan.

Selepas kepergian Figo. Dewan masih penasaran dengan obrolan terakhir mereka. Dia memberikan tatapan pada Delvis dan Zalfa secara bergantian.

"Jadi gimana?" Tanya Dewan tak sabaran, dia harus mendapat jawabannya, sebelum mereka pulang, dia takut tidak bisa tidur nantinya.

"Panggilannya yang diputusin, lu kebiasaan, belum paham udah komen." Perempuan itu memarahi Dewan yang sedang menggaruk-garukan tengkuknya yang tidak gatal.

"Yaudah, mungkin si Ervina iseng. Biasanya kan, malam Minggu selalu bareng Figo."

"Tapi kenapa harus dimatiin? Kan bisa bilang apa gitu, bener-bener gak sopan. Cantik juga percuma kalau gak sopan mah."

"Iri bilang bos! Dari pada lu, udah jelek tukang nyinyir lagi. Ervina mah mau bagaimana juga tetap aja cantik."

"Bodoamat, gue bakal teriakin lu dari neraka. Kalau sampai lu masuk surga. Gue mau bilang, lu orangnya jahat, sering jelekin gue, sering nyakitin gue, pelit, tukang gosip pokonya yang jelek-jelek gue jabarin. Asaw aja lu, gak akan pernah lolos," ucap Zalfa menggebu-gebu. Dia sudah tidak bisa menahan kekesalannya lagi, kenapa perempuan cantik selalu dimenangkan, selalu dimaklumi, kalau jelek aja. Selalu dengan awala 'Udah jelek,' kalau orang udah ngomong dengan awalan begini, pasti mau mencemooh. Giliran aja manusia good looking pasti dibilangnya begini 'Mau gimana juga,' hmm.

"Lah, berarti lu ada di neraka dong."

Jleb

Salah ngomong deh.

avataravatar
Next chapter