webnovel

Teman Makan Teman

Celline menyukai Daniel. Tapi dia harus merelakan lelaki itu untuk temannya sendiri.

Rita_sw10 · Teen
Not enough ratings
282 Chs

Pria Baru

Celline melambai ke arah pintu masuk. Ketika bayangan seorang pria muncul dari sana. Dia adalah Morvin. Lelaki yang sudah mengisi hari-harinya selama setahun ini.

Morvin tersenyum pada Celline, begitupun gadis itu. Rasa bersalahnya kadang muncul ketika ia diam-diam memikirkan Daniel. Tapi itu tidak sengaja. Hanya kadang jika ia sedang bersama dengan Nancy. Karena temannya itu sering membahas Daniel.

"Mau langsung balik apa di sini dulu?" tanya Morvin ia duduk di depan Celline.

"Lagi rame gak pasien kamu?" Celline berbalik bertanya. Sebenarnya lelaki itu akhir-akhir ini sibuk karena jumlah binatang yang datang ke petshop-nya semakin hari kian banyak.

"Gak kok, udah beres hari ini. Mau jalan-jalan apa makan?" Lelaki itu sangat perhatian pada Celline.

Celline memandang pria itu lekat. Dia sangat baik dan tampan. Bodoh jika Celline tak bisa melupakan Daniel karena sudah ada dirinya.

"Kenapa?" Morvin menjepit pangkal hidung Celline dengan gemas. Celline menggelengkan kepalanya.

"Ya udah jalan-jalan aja deh." Celline bangkit dari duduknya kemudian menggamit lengan Morvin mesra. Ia sudah bertekad tak akan memikirkan Daniel lagi.

**

Nancy sudah berada di dalam mobil dengan Daniel. Nancy selalu mengatakan apapun yang ingin ia katakan. Sedang Daniel, ia lebih seperti menjadi pendengar bagi wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.

"Dan, Celline cocok banget ya sama Morvin," ucapnya semangat.

Daniel diam-diam memutar bola matanya. Ia sudah terlalu sering mendengarkan kalimat tersebut.

"Aku ngarep banget mereka bakal nikah." Kalimatnya masih saja tak ditanggapi oleh Daniel. "Dan, kamu denger 'kan aku ngomong apa?" Nancy mendelik kesal pada calon suaminya itu. Karena sepertinya ia tak tertarik dengan pembahasannya mengenai Celline dan Morvin.

"Nan, kamu tuh udah terlalu sering cerita soal mereka berdua. Dan aku bosen tiap kali kamu abis ketemu sama dia kamu cerita seperti itu terus. Emang gak ada yang mau kamu ceritain selain itu?" Daniel menghela napas panjang. Mengatur napasnya yang seakan sulit ia lepaskan.

"Kamu cemburu?" Selidik Nancy, lagi-lagi pertanyaan yang membuat Daniel muak.

"Kalau aku cemburu aku gak bakal di sini. Bisa gak sih kita sehari aja gak usah berantem. Kita bentar lagi udah mau nikah dan sekarang masih aja ributin masalah Celline dan Morvin." Daniel menginjak remnya tiba-tiba, ia menatap Nancy marah.

Daniel mematikan mobilnya lalu keluar meninggalkan Nancy yang masih kebingungan di dalam mobil.

Mata Nancy berputar melihat bayangan itu ke mana akan pergi meninggalkannya. Daniel mencegat taksi kemudian meninggalkan ia sendiri.

Nancy ikut kesal. Dia menendang apapun yang ada di bawahnya karena emosi. Hingga sebuah klakson mobil menyadarkannya agar lekas beranjak dari pinggir jalan.

"Sial!" rutuknya kemudian dia mengambil alih kemudi dan menyusul Daniel.

**

Nancy melirik poto kecil yang menggantung di bawah spion mobilnya. Poto di mana ia dan Daniel setelah bertunangan beberapa bulan yang lalu.

Cukup sulit memaksanya untuk berfoto berdua dengannya saat itu. Dia menolak setiap kali Nancy mengajaknya untuk mengambil foto. Entah karena dia tak ingin atau memang ada alasan lainnya.

Nancy tersenyum miris. Ia sadar sekali jika Daniel belum sepenuhnya menjadi miliknya. Melihat Celline dengan Morvin tentu saja tak membuat hati pria itu langsung bisa tunduk pada Nancy. Semua tak semudah yang dibayangkan oleh Nancy.

Sempat ia ingin melepaskan lelaki itu. Namun tak bisa, karena dia sudah terlanjur mencintai Daniel. Semuanya sudah ia lakukan, termasuk merendahkan harga dirinya sebagai perempuan yang mengemis pada Daniel agar mau menerimanya.

Bahkan ia memberikan sebuah mobil pada Daniel sebagai imbalan karena mau menikahinya nanti. Cukup miris bukan? Tapi Nancy tak peduli itu. Cintanya pada Daniel sudah buta. Tak ada yang bisa menghentikan kegilaannya itu.

**

Nancy menatap langit yang mulai menggelap. Dia merasakan perasaannya yang sedikit kacau karena Daniel dan Daniel lagi. Dia mengambil ponsel dan menelepon Farah.

"Girl, lagi di mana? Sibuk nggak?"

"Nggak. Kenapa? Pasti mau ngajakin jalan 'kan?" tanya Farah yang sepertinya tahu suasana hati Nancy.

"Iya nih. Pala pusing. Aku jemput sekarang ya, kamu siap-siap aja."

"Oke."

Nancy langsung menginjak gasnya dan bergegas ke rumah Farah. Hanya perempuan itu yang benar-benar sejalan dengan pikirannya. Bukan hanya pikiran saja, tapi gaya dan pergaulan mereka memang tidak jauh berbeda.

Lima belas menit kemudian Nancy sudah sampai di depan rumah Farah yang cukup besar. Dia menunggu beberapa saat sebelum sosok sahabatnya itu muncul dengan jumpsuit pendek khasnya.

"Ngajakin jalan gini, pasti ada masalah lagi sama Daniel," ucap Farah sambil memakai sabuk pengamannya.

Nancy menjalankan mobilnya. "Ya memangnya siapa lagi yang paling sering bikin bad mood?"

"Jadi kita mau ke mana? Shoping lagi?" tanya Farah.

"Boleh lah, kebetulan aku lagi naksir tas baru."

Akhirnya mereka berdua berangkat ke pusat perbelanjaan yang jaraknya tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar dua puluh menit mereka menempuh perjalanan.

Seperti kebanyakan anak-anak dari keluarga kaya lainnya. Ketika memasuki bangunan yang disebut mall pasti mereka akan mulai memanjakan mata dengan barang-barang apa pun.

Begitu pula Nancy dan Farah. Saat ini mereka sudah menenteng beberapa paper bag di tangan. Dengan wajah yang senang mereka berjalan sambil menyedot minuman dingin untuk meredakan rasa haus.

"Tahu nggak, barusan aku-"

Braakk!

Tubuh Nancy terhuyung ke samping hingga menabrak Farah. Minuman di tangannya tidak sengaja terlepas dari tangannya dan jatuh tumpah di lantai.

"Aduh, sory sory. Kamu nggak papa?" tanya seorang pria yang tampak bersalah.

Ya, dia adalah orang yang tanpa sengaja menabrak Nancy. Pria dengan balutan kemeja putih serta celana bahan khas orang kantoran. Wajahnya tampak tampan, mungkin 11 12 dengan Daniel.

"Ah, nggak papa," jawab Nancy yang masih sedikit kesal.

Pria itu masih merasa bersalah juga karena sudah menumpahkan minuman Nancy. Sebagai permintaan maaf akhirnya dia menawarkan untuk mentraktir mereka makan malam.

Farah tidak keberatan dengan ajakan itu. Nancy pun berpikir sejenak sebelum pada akhirnya setuju. Lagipula wanita mana yang tidak mau diberi traktiran makan malam?

"Perkenalkan, namaku Riko. Kalian?" Riko memperkenalkan dirinya sewaktu mereka sudah memesan makanan di restoran yang cukup mewah. Sepertinya dia bukan orang sembarangan.

"Nancy. Ini temanku, Farah," jawab Nancy sambil menjabat tangan Riko.

Awalnya dia merasa kesal dengan kejadian sebelumnya, tapi semakin ke sini dia menyadari kalau ternyata Riko bukan orang yang menyebalkan. Bahkan tergolong menyenangkan.

Dan meskipun mereka baru kenal, suasananya tidak terasa canggung. Mereka langsung akrab saja karena Riko memang orang yang cukup supel dan humoris.

"Kamu sendirian ke tempat kayak gini?" tanya Nancy pada Riko.

"Nggak sih. Aku nganterin mama ke supermarket, tapi dia nggak mau ditemenin. Ya udah aku jalan-jalan sendiri aja." Riko terkekeh setelah menjawab.

"Oh, jadi tipe pria penyayang orang tua," canda Nancy yang diakhiri tawa.

Riko tersenyum saat melihat Nancy tertawa. Perempuan itu sedikit menggerakkan minatnya. Mungkin dia akan mengenalnya lebih jauh lagi.

Setelah beberapa saat akhirnya pesanan mereka datang. Sebelum menyantap, Riko berinisiatif untuk meminta nomer ponselnya pada Nancy.

"Boleh 'kan?" tany Riko.

Nancy memberi kode pada Farah. Dia ingin meminta pendapat sahabatnya itu. Sayangnya Farah mengabaikannya dan hanya fokus pada hidangan di atas meja.

"Em, boleh." Akhirnya Nancy memberikan kontaknya pada Riko. Lagipula pria itu sepertinya cukup nyaman untuk diajak mengobrol.

"Thank you," ucap Riko yang dibalas senyum oleh Nancy.