webnovel

Teman Makan Teman

Celline menyukai Daniel. Tapi dia harus merelakan lelaki itu untuk temannya sendiri.

Rita_sw10 · Teen
Not enough ratings
282 Chs

Menikah

Daniel menatap Celline masuk ke dalam kost-nya. Ia memperhatikan gadis itu hingga sebuah tangan menariknya dengan kasar.

"Aku mau ngomong sama kamu!" ucap Nancy dengan kasar. Daniel menatap Nancy tak suka. Ia merasa jika semakin lama tingkah laku Nancy tak bisa ia tolerir lagi. Tapi kali ini apa yang akan Nancy bicarakan padanya?

Nancy sudah duduk di kursi kemudinya. Disusul oleh Daniel tak lama kemudian. Lelaki itu bahkan tak mau melihat wajah Nancy.

"Mau ngomong apalagi?" tanya Daniel dengan nada putus asa.

"Kamu masih suka sama Celline 'kan?" Nancy menghadapkan badannya ke arah Daniel. Tangannya mencengkram kuat bahu kekasihnya itu.

"Kalau iya, kamu mau apa?" Daniel menatap Nancy sinis.

Nancy langsung memalingkan pandangannya. Ia menatap angkuh rumah kost Celline. Ada sebuah rencana gila yang Nancy pikirkan selama ini.

"Nikah sama aku," ucap Nancy dengan yakin. Padahal ia sudah tahu benar jika Daniel sama sekali tidak mencintainya, namun sekarang. Dia memaksa pria itu untuk menikahinya? Nancy benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya.

"Sampai sekarang aja aku gak ada perasaan sama sekali buat kamu. Dan sekarang kamu mau aku menikahimu?" Daniel berdecih ia tak menyangka jika Nancy akan mengatakan hal itu padanya.

"Aku sudah memikirkan beberapa waktu ini. Mungkin aku tak akan merasa khawatir lagi, jika kamu menjadi suamiku. Lagipula bukankah itu juga sangat menguntungkan buat kamu? Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Denganku, kamu gak akan hidup susah. Aku bisa menjamin semua itu."

Namun sayangnya ucapan panjang lebar dari Nancy tak digubris sama sekali oleh Daniel. Lelaki itu turun dari mobilnya tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Nancy.

Nancy tidak menyerah. Dia melihat Daniel naik ke atas motornya kemudian pergi meninggalkan Nancy yang masih bertahan di sana.

Meski dalam hati kecilnya sebenarnya dia sangat lemah. Akan tetapi hal itu urung ia tunjukkan pada Daniel ataupun Celline. Ia hanya tak ingin dianggap remeh oleh mereka.

"Sejak kapan aku mulai gila karena lelaki itu?" gumamnya kemudian menyalakan mesin mobilnya.

**

Celline bangun kesiangan, saat waktu menunjukkan sudah pukul tujuh pagi. Mata kuliahnya dimulai pukul setengah delapan yang artinya ia masih ada waktu tersisa setengah jam lagi.

Setelah mengikat sepatunya, Celline langsung berlari keluar kost-nya. Dia tak boleh menyia-nyiakan waktunya.

Namun langkahnya terhenti ketika mendapati bayangan Morvin di sana.

"Telat ya? Yuk aku antar!" Morvin langsung menunjuk jok belakangnya dengan matanya.

Celline tersenyum, dia sudah mendapatkan pertolongan di pagi hari. Mungkin ini adalah hari keberuntungannya.

"Kak, udah sembuh?" tanya Celline pada Morvin. Ia hanya mengangguk.

"Tadinya aku mau minta nomor ponsel kamu karena kemarin lupa minta. Tapi kayaknya sekarang kamu lagi buru-buru ya?"

"Iya, semalem tidur kemalaman," ucap Celline.

Iya, dia sibuk membakar semua kenangan dengan Daniel hingga larut malam. Celline benar-benar ingin melupakan Daniel. Dia akan melangkah, menjauh dari kehidupan dari Daniel mulai sekarang.

Meski hanya membutuhkan lima belas menit untuk menuju kampusnya. Tapi Celline tetap saja bersyukur ketika Morvin datang untuk menyelamatkannya dari situasinya pagi itu.

"Terima kasih, Kak!" Celline menyerahkan helmnya pada Morvin. Tanpa menoleh lagi ke arah lelaki itu, Celline sudah berlari jauh ke dalam kampusnya.

"Tuh kan lupa lagi mau minta nomor teleponnya," gumam Morvin sambil tersenyum. Ia menatap gadis itu dengan perasaan yang berbeda. Apa benih-benih cinta dari Morvin tumbuh kembali? Entahlah.

**

"Cell!" Teriak seseorang dari jauh.

Celline merasa akrab dengan suara itu dan langsung menoleh. Ternyata Desi yang memanggilnya. Gadis itu berlari ke arahnya sambil melambaikan tangan.

"Hah ... hah ...." Napas Desi tersengal ketika sudah sampai di hadapan Celline.

"Tumbenan kamu dateng agak telat," ucap Desi.

"Iya, tadi kesiangan. Ayo cepet masuk, nanti telat," ucap Celline sambil berlalu pergi.

Desi menyusulnya dari belakang. Dia adalah teman sekelas yang cukup akrab dengan Celline. Mungkin karena mereka tinggal terpisah jadi tidak selalu kelihatan bersama.

"Eh?" Desi menghentikan langkahnya dengan spontan. Matanya fokus pada layar ponsel di tangannya. Dia melihat berita yang sangat mengejutkan dari instatoon miliknya.

Celline menyadari bahwa dia hanya melangkah sendirian. Tidak ada suara langkah kaki yang mengikutinya. Dia langsung menoleh dan melihat Desi yang sedang berdiri dengan wajah terbengong.

"Des, cepetan!" serunya untuk menyadarkan Desi.

"Sebentar, Cell. Kamu udah tahu berita yang lagi booming belum?" tanya Desi setelah mendekat ke Celline.

"Berita apa?"

Desi menatap Celline ragu-ragu. Sebenarnya saat dia tahu tentang hubungan antara Nancy dan Daniel dia sangat terkejut. Sepengetahuannya, orang yang dekat dengan Daniel adalah Celline, tapi kenapa pria itu menjalin hubungan dengan Nancy?

Seperti sekarang. Dia baru mendapat berita kalau Nancy akan menikah dengan Daniel. Bagaimana dia tidak terkejut?!

Selain itu, dia juga tahu kalau Celline dan Daniel pernah saling menyukai. Bagi Desi yang merupakan orang sensitif, tentu saja dia bisa membaca bagaimana perasaan seseorang hanya dari bagaimana mereka berinteraksi.

Oh, haruskah dia memberitahu Celline tentang hal ini?

"Kenapa malah bengong? Berita apa?" tanya Celline sekali lagi. Dia merasakan keraguan dari Desi dan hal itu justru membuatnya merasa lebih penasaran.

"Em, aku pikir aku harus ngasih tahu sekarang daripada ditunda nanti-nanti malah terlambat." Desi berkata dengan cepat namun pasti.

Dia menarik napasnya dalam-dalam, lalu menatap Celline dengan serius. Mengamati kedua pupil hitam yang saat ini sedang menanti kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Daniel sama Nancy mau menikah ...."

'Mau menikah ....'

'Daniel sama Nancy mau menikah ....'

Kalimat itu terus menerus diputar di kepala Celline. Wajahnya hanya menunduk, menatap kosong pada kertas yang ada di hadapannya. Sekarang selera belajarnya menghilang. Dia ingin pulang. Dia tidak baik-baik saja.

Untungnya waktu memihak kepadanya. Ketika kelas selesai, dia bergegas keluar dari ruangan. Bahkan teriakan Desi tidak dia hiraukan. Ya, saat ini dia hanya ingin pulang.

Dalam perjalanan dia mendengar banyak gosip tentang pernikahan Daniel dan Nancy, tapi dia tetap tidak berhenti melangkah. Ya, dia sudah memutuskan di malam sebelumnya bahwa dia akan melupakan semua tentang Daniel.

Memangnya untuk apa dia membakar semua kenangan itu? Itu karena dia sudah memutuskan untuk berhenti. Ya, dia harus mengakhiri semuanya.

Ketika dia sampai di gerbang, ternyata Morvin ada di sana sedang mengamatinya. Pria itu melambai padanya.

Celline ragu, tapi dia masih tetap menghampirinya. "Kakak kenapa ke sini?"

"Mau main sama Boni?" Bukannya menjawab, Morvin malah melemparkan pertanyaan untuknya.

Mata Celline berbinar. Mendengar nama Boni membuat dia merasa moodnya sedikit membaik. Ya, kucing lucu itu belum dia temui lagi. Mungkin ini hal baik untuk melupakan masalah tentang pernikahan Daniel.

"Kakak kok bisa tahu kalau aku pulang jam segini?" tanya Celline yang tidak mengerti.

Sebenarnya dia masih memiliki kelas, tapi karena suasana hatinya tidak terlalu bagus akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Dia tidak menyangka kalau Morvin ada di sana dan mengajaknya pergi. Tidak mungkin 'kan Morvin tau dia hendak membolos?

Atau jangan bilang kalau ....

"Kakak nunggu dari pagi?"