8 Tolong Aku

Telepon kos berdering kencang hingga terdengar di ruang tengah rumah utama.

"Mbok, Mbok Jum..," panggilku, berharap ia bangun untuk menjawab telepon itu. Namun ternyata ia sudah terlelap di lantai.

Ah, paling Sinta yang ngangkat. Biarin aja.

Tetapi, setelah sekian lama berlalu…

Kriing...! Kriing…! Kriing…!

Telepon itu tetap berdering tiada henti. Dengan ogah-ogahan aku pun bangkit dari sofa tempatku duduk.

Terpaksa, daripada berisik.

Pokoknya, kalau Mas Leon, aku tutup.

"Halo.."

"...…" Tak ada suara yang menjawab, hanya desis ruang kosong yang terdengar.

"Halo...cari siapa ya?"

"Hhhh.. Maafin aku, Lastri…" Suaranya pelan dan berat, tapi aku mengenalinya. Mas Leon !

Aku sudah akan menutup telepon saat ia berkata lagi, "Jangan tutup, Lastri.. Hhhh.. Aku minta maaf. Hhhh.. Aku tahu aku salah. Hhhh.. Aku khilaf."

"Aku tahu kamu sakit hati.. Hhhh..dan pasti benci sekali sama aku."

"Aku.. Hhhh.. Cuma mau minta maaf."

Ia berhenti sejenak.

"Hhhh…aku nggak akan ganggu kamu lagi. Baik-baik ya. Aku sayang kamu." Lalu sambungan telepon pun terputus.

Air mataku tiba-tiba kembali menetes. Sejujurnya jauh dalam hatiku masih tersimpan rasa sayang padanya. Kenangan-kenangan indah kami langsung terputar ulang di kepalaku. Ingin sekali rasanya tadi kumengucap, "Ya, Mas. Aku maafin."

Entah jika nanti luka hati ini telah kering, mungkin aku akan ucapkan itu, Mas.

Dengan perasaan galau aku kembali ke ruangan utama. Aku membangunkan Mbok Jum supaya tidur di kamarnya lalu mematikan televisi dan kembali ke kamarku. Dan aku langsung terlelap.

Kriing...! Kriing…! Kriing…!

Dering telepon itu kembali membangunkanku.

Mas Leon…?

Bergegas keluar kamar, kuangkat lagi telepon itu. "Halo.."

"Halo, selamat malam. Maaf ini dengan Mbak siapa ya?" Terdengar suara pria berbicara, dengan latar belakang sirene, entah ambulan atau mobil polisi.

"Lho, Bapak mau cari siapa nelpon ke sini?"

"Maaf Mbak, betul anda bernama Lastri, saudara atau temannya Mas Leon?"

"Iya, saya Lastri. Saya temannya Leon. Maaf, ada apa ya, Pak." Perasaanku tidak karuan dan masih terlalu sakit hati kalau aku harus menjawab sebagai tunangannya.

"Begini, Mbak. Kami dari kepolisian. Kami temukan nomer telepon dan nama anda di balik kartu nama di dompetnya. Makanya saya hubungi Mbak."

Deg..!

Jantungku berdegub kencang.

"Lho, memang Mas Leon nya di mana, Pak?"

"Mmm, begini, Mbak. Mohon maaf, yang tabah ya, Mbak"

"Lho.. Lhoo.. Kenapa, Pak?" Dadaku mulai terasa nyeri kembali.

"Teman Mbak kecelakaan."

"Haahh..?!?

"Kecelakaan di mana, Pak? Keadaannya gimana, Pak?" Nyeri itu semakin menusuk. Aku kehilangan keseimbangan. Kucoba sekuat tenaga berpegangan meja supaya tidak terjatuh.

"Maaf, Mbak. Teman anda sudah tidak tertolong."

Mas Leon..!

Pandanganku gelap seketika. Kurasakan badanku lunglai terjatuh keras ke lantai. Nyeri yang menusuk dadaku tak tertahankan lagi. Aku tak bisa bernafas.

"Tolong.. Tolong.." Aku mencoba berteriak sekeras mungkin namun tak ada suara yang keluar dari mulutku.

"Tolong…"

Lalu samar sekali kulihat pintu kamar Sinta terbuka. Ia menghambur keluar dan berteriak-teriak menghampiriku. Kurasakan ia memeluk tubuhku di pangkuannya. Kulihat mulutnya seperti memanggil-manggil namaku, tetapi aku tak mendengar apa-apa. "Tolong…."

Kemudian semuanya gelap.

Ω Ψ Ω

Terangnya kemilau sinar matahari yang menerobos masuk dari sela-sela ventilasi di atas pintu dan jendela kamar, memaksaku membuka mata. Lalu aku menyadari kalau aku masih berada di kamar Fay. Tepatnya di lantai kamarnya.

Dan satu hal yang langsung membuatku tersentak.

Mbak Lastri..!

Kuraba wajah dan sekujur tubuhku. Kutepuk-tepuk pipiku.

Wah, mengerikan sekali mimpi tadi. Syukur Ya Tuhan, aku masih hidup.

Buru-buru aku bangkit dan membuka pintu. Selarik cahaya matahari yang menembus sebidang genteng kaca di atas selasar kos memaksa mataku terpicing.

Kemudian kuarahkan pandangan ke kamar di ujung kanan yang berbatasan dengan dinding belakang bangunan kos kami, di mana terakhir kulihat Mbak Lastri masuk kamar itu. Kembali bulu kudukku merinding, teringat mimpi semalam.

Wajah hantu wanita yang mirip sekali dengan Mbak Lastri, atau mungkin samarannya, menatap dengan pandangan memelas, mendekat dan mendekat.

Hanya mengucap, "Tolong…," berkali-kali.

Hiiiii..Untung udah siang

Tiba-tiba,

Kriing...! Kriing…! Kriing…!

"Damn!" Umpatan itu terlepas begitu saja dari mulutku. Sungguh, jarang sekali aku mengumpat seperti itu.

Dengan takut-takut aku mengangkat gagang telepon. "Halo…"

"Halo. Feli, ya?"

Ah, Tante Santi rupanya.

"Eh, Tante? Iya, ini Feli," jawabku lega.

"Kamu kemana aja dari tadi? Tante telepon dari jam tujuh tadi nggak ada yang angkat-angkat?"

Kulirik jam dinding di dekat meja telepon. Busyet, dah jam sepuluh..!

"Oh ya? Beneran, Tante?"

"Masa Tante bohong. Kamu begadang ya semalem?"

"I-Iya Tan, film di tivi bagus banget," jawabku berbohong.

"Tante masih di Timoho. Mbok Jum udah sampai belum ya? Tadi Tante suruh duluan, kasihan kamu sendirian di kos," tanyanya.

"Di kosan sih nggak ada, Tan. Mungkin dia di rumah," jawabku.

"Coba kamu ke rumah. Kalau ketemu dia, Tante titip pesan. Dengar baik-baik, jangan sampai lupa!"

Aku menyeret kursi lalu duduk untuk menyimak pesan Tante Santi. "Ya, Tante. Pesan apa?"

"Nih, nanti tolong bilang ke Mbok Jum. Tante minta ambil bungkusan warna hijau di kamar ujung, seberang kamar Maria. Terus suruh bawa ke atas dan taruh di depan kamar Tante."

"Tadi lupa mau ngomong soalnya," lanjutnya.

Kamar ujung…seberang kamar Maria.

Lho, itu kan kamar Mbak Lastri..?!

"Fel, dengar nggak?" tanya Tante Santi mengagetkanku.

"I-Iya, Tante. Dengar.."

"Tapi, Tante.." lanjutku.

"Tapi apa?"

"Memang kamarnya nggak dikunci?"

"Mbok Jum punya kuncinya kok."

"Oh, terus orangnya nggak komplain tuh, Tan?"

"Orangnya? Ya nggak lah, kan udah tugas dia." Nada suara Tante Santi mulai tidak sabar.

"Bukan, Tan, bukan Mbok Jum.."

"Lha terus..?"

"Itu..memang yang punya kamar nggak marah?"

"Yang punya kamar? Maksud kamu apa sih, Fel..?"

"Maksud aku, memang Mbak Lastri nggak marah kalau Mbok Jum masuk-masuk kamar dia nggak ijin dulu?"

"Siapa, Fel..? Coba ulangi!" Kini suara Tante terdengar meninggi. Dari nada suaranya aku mulai mencium sesuatu yang tidak beres.

"Mbak Lastri, Tante…"

"Kamu kok tahu Mbak Lastri? Siapa yang cerita? Mbok Jum?"

"Feli ketemu orangnya, Tan."

"Ke-ketemu?! Kapan?"

"Minggu lalu."

"Ming-minggu lalu..? Kamu..kamu jangan bercanda ya, Feli?" Kudengar suara Tante Santi bergetar.

Deg..!

Dadaku semakin berdebar.

"Enggak, Tante, aku nggak bercanda. Aku ketemu dia malam-malam di sini. Memang kenapa kok Tante nggak percaya?"

Tante Santi terdiam beberapa saat. Kudengar dia menghela nafas lalu berucap pelan. "Hmmhh, ya udah. Tante titip pesan begitu aja ya buat Mbok Jum. Nanti kamu bisa tanya Mbok Jum deh."

"Udah ya, kamu baik-baik sama Mbok Jum di situ. Tante pulang besok pagi-pagi." Telepon pun ditutup.

"Mbak..!"

Aku hampir terjatuh dari kursiku. Menengok ke belakang, tiba-tiba Mbok Jum sudah berdiri di dekatku. "Haduh, Mbok.. Jantungan aku, Mbok."

"Maaf, Mbak. Mbok pikir Mbak Feli dengar Mbok masuk sini," jawabnya dengan raut wajah menahan tawa.

Aku balas tersenyum. "Ya udah nggak papa. Mbok Jum kapan datang? Kok aku nggak tahu?"

"Barusan aja, Mbak. Tadi terus langsung ke atas mberesin kamar Ibu."

"Oh, pantes. Eh Mbok, ada pesan dari Tante, katanya suruh ambil bungkusan warna hijau di kamar ujung."

"Ooh, kamar ujung. Iya, Mbak, terima kasih. Mbok ambil kunci dulu."

"Eh, tunggu, Mbok. Yang punya kamar nggak marah tuh Mbok masuk-masuk begitu?" selaku.

Ia menatapku dengan pandangan bingung kemudian menoleh ke arah kamar itu dan kembali menatapku. "Mbak Feli ngomong apa sih?"

"Iya, memang Mbak Lastri nggak marah?" ulangku.

Mata Mbok Jum terbelalak dan alisnya terangkat, kelihatan sekali dia terkejut. Ia berdesis pelan. "Lastri.."

"Mbak Feli dengar dari siapa tentang Mbak Lastri?" tanyanya lagi.

Aku mengernyitkan dahi dan berkacak pinggang. "Ini Mbok sama aja sama Tante deh nanyanya. Aku ketemu kok sama dia."

Mata Mbok Jum kembali terbelalak. Ia mundur selangkah. "Mbak Feli, yang benar ah! Jangan nakut-nakutin!"

"Nggak baik bercandain orang yang udah nggak ada..," lanjutnya setengah berbisik.

Hah..?!

Firasatku semakin tidak enak.

"Maksudnya..?"

Wanita tua itu setengah menyeretku masuk ke rumah utama melalui dapur. Ia mendekatkan tubuhnya dan berbicara setengah berbisik kepadaku, "Itu.. Mbak.. Mbak Lastri kan udah nggak ada, udah meninggal."

Apa..?!

avataravatar
Next chapter