webnovel

Bertaqwa dan Berakhlak Baik

Pertemuan dengan klien tersebut, hanya berlangsung satu jam saja. Setelah itu Inayah langsung pamit kepada kliennya dan segera melangkah keluar dari restoran itu.

Inayah langsung menelepon Erni, ia meminta Erni untuk segera menjemputnya. Inayah hanya berdiri di bahu jalan di depan halaman parkir restoran tersebut, menunggu kedatangan Erni.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari arah belakang tempatnya berdiri, “Nay...! Nay...!” teriaknya kencang, tepat dari arah halaman parkir yang ada di depan restoran tersebut.

Inayah langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tampak seorang pemuda setengah berlari menuju ke arah Inayah, pemuda tersebut adalah Rangga teman Inayah waktu duduk di bangku SMA. Rangga langsung menghampiri Inayah.

“Apa kabar, Nay?” sapa pemuda tampan berpostur tinggi itu, tersenyum menatap wajah Inayah sambil mengulurkan tangannya.

“Masya Allah! Rangga?! Alhamdulillah baik, Ga,” Inayah meraih uluran tangan pemuda tersebut.

“Mau ke mana, Nay?” tanya Rangga dengan mengamati penampilan sahabatnya itu.

“Mau pulang, aku sedang menunggu kakakku," jawab Inayah lirih. "Kenapa, Ga. Ada yang aneh pada penampilanku?” sambung Inayah balas bertanya.

“Delapan puluh derajat, Nay!" Rangga geleng-geleng kepala dan berdecak kagum melihat penampilan Inayah kala itu.

“Maksudnya apa, sih? Aku tidak paham, Ga?” tanya Inayah mengerutkan kening.

“Perubahan dan penampilan kamu, Nay! Jujur, tadi juga aku sempat ragu, takut kalau ini bukan kamu,” jawab Rangga penuh rasa kagum, bola matanya terus mengamati Inayah.

Inayah hanya tersenyum-senyum menanggapi ucapan sahabatnya itu. Memang hampir semua sahabat-sahabatnya selalu berkata seperti itu, setiap kali berjumpa dengannya.

Menurut Inayah itu adalah hal yang wajar, karena dulu penampilannya tidak seperti itu, mereka mengenal Inayah sebagai gadis nakal yang selalu berpenampilan seksi, tidak berhijab seperti sekarang.

“Nay, boleh aku minta nomor ponsel kamu!” kata Rangga menatap wajah gadis cantik yang ada di hadapannya itu.

Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya, dengan ikhlas ia langsung memberikan nomor ponselnya kepada Rangga. Selang beberapa menit kemudian, Erni sudah tiba dengan menepikan mobilnya di bahu jalan tempat Inayah sedang berbincang dengan Rangga.

"Nay, ayo!" panggil Erni dari dalam mobil.

"Iya, Teh. Tunggu sebentar!" sahut Inayah.

Kemudian, Inayah langsung pamit kepada Rangga, "Kakakku sudah datang, aku pamit, yah?!"

"Iya, Nay. Senang berjumpa dengan kamu," jawab Rangga sambil tersenyum lebar.

"Assalamualaikum," pungkas Inayah bergegas melangkah menuju ke arah mobil sedan merah yang terparkir di bahu jalan tersebut.

Inayah langsung masuk ke dalam mobil itu. “Siapa itu, Nay?” tanya Erni mengarah kepada Inayah yang duduk di sampingnya.

“Itu Rangga, temanku waktu sekolah," jawab Inayah lirih.

“Penampilan dan gayanya oke juga, Nay” ucap Erni tersenyum-senyum.

“Penampilan itu tidak menjamin, Teh,” Inayah melirik ke arah Erni yang tampak sudah mahir dalam mengemudikan mobilnya.

“Iya, sih. Tapi memang benar. Teman kamu itu enak dipandang,” kata Erni pandangannya terus terarah ke depan jalan.

“Teteh suka sama Rangga?" tanya Inayah sedikit mencubit pipi Erni.

Erni menghela napas dalam-dalam, pandangannya tetap fokus ke depan. “Al uyuun tansa man taro, walaakinna al qolbu laa tansa man tuhibb” jawab Erni dengan menggunakan bahasa Arab.

Inayah hanya diam, tidak bisa menjawab. Karena, Inayah tidak paham dan tidak mengerti apa yang diucapkan Erni.

“Tidak tahu artinya, 'kan?” tanya Erni menoleh ke arah Inayah sambil tersenyum-senyum.

Inayah tidak menjawab pertanyaan dari Erni, ia hanya diam dengan pandangan lurus ke depan jalan.

“Artinya, mata akan lupa siapa yang ia lihat. Akan tetapi hati tidak akan lupa siapa yang ia cinta,” sambung Erni menjelaskan arti kalimat yang tidak dipahami oleh Inayah.

“Sebenarnya aku tahu sih, hanya malas saja menjawabnya,” ucap Inayah berkelit.

Mendengar perkataan dari Inayah, Erni pun tertawa lepas. "Ha ... kamu memang pintar dalam berkelit!"

Sepanjang jalan, Inayah dan Erni terus bersenda gurau. Inayah merasa bahagia mempunyai kawan seperti Erni, meskipun ia hanya berstatus sebagai asisten pribadinya. Namun, Inayah sudah menganggap Erni sebagai kakaknya sendiri.

Erni adalah bahu tempat Inayah bersandar, ia paham dan mengerti dengan keadaan Inayah. Inayah sangat takut kehilangan Erni yang menjadi seorang sosok kakak yang senantiasa sabar dan telaten dalam membimbingnya, ucapan-ucapan Erni selalu jadi motivasi dan nasihat-nasihatnya bagaikan kalimat bertuah yang bisa merubah kepribadian Inayah, hingga pada akhirnya Inayah berubah menjadi seorang wanita berkepribadian baik dan berakhlak mulia.

Tidak terasa, mereka sudah tiba di halaman rumah megah yang mempunyai halaman yang sangat luas, rumah yang tersimpan banyak kenangan. Itu adalah rumah peninggalan almarhum kedua orang tua Inayah.

“Sudah sampai, Nay. Ayo, kita turun!" ajak Erni sedikit mengagetkan Inayah yang saat itu tengah termenung memikirkan sesuatu. “Kamu kenapa, Nay?” sambung Erni bertanya dengan menatap bias wajah Inayah.

“Tidak apa-apa, Teh,” jawab Inayah membuka pintu mobil, kemudian bangkit dan melangkah menuju beranda rumah.

Tampak Fatimah saat itu sedang berada di beranda rumah. “Assalamu'alaikum,” ucap Inayah lirih melontarkan senyum ke arah Fatimah yang sedang membersihkan lantai depan rumah tersebut.

“Wa'alaikum salam,” jawab Fatimah balas tersenyum menyambut kedatangan sang majikannya.

Kemudian, Inayah langsung masuk ke dalam rumah diikuti Erni di belakangnya dengan membawa laptop dan tas.

Setelah berada di dalam rumah, Inayah langsung bersiap untuk segera melaksanakan Salat Magrib.

"Teh Fatimah!" panggil Inayah lirih.

"Iya, Neng." Fatimah bergegas menghampiri Inayah. "Ada apa, Neng?" sambung Fatimah.

"Salat Magrib berjamaah, Teh. Sudahlah, tidak usah ngepel lagi, besok saja!"

"Iya, Neng." Fatimah langsung bersiap untuk segera melaksanakan Salat Magrib berjamaah bersama Inayah dan juga Erni. Mereka bertiga seperti biasa melaksanakan salat berjamaah di Musala yang ada di dalam rumah.

Usai melaksanakan salat, Inayah kembali belajar mengaji, saat itu Erni mengajari Inayah tentang pemahaman akhlak.

“Akhlak yang baik adalah tanda kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Tidaklah kebaikan datang atau didapatkan di dunia dan di akhirat kecuali berakhlak dengan akhlak yang baik. Dan tidaklah keburukan-keburukan ditolak kecuali dengan cara berakhlak dengan akhlak yang baik.”

“Maka kedudukan akhlak dalam agama ini sangat tinggi sekali. Bahkan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam Surga, beliau mengatakan:

تَقْوى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

“Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Juga beliau Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحِبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku yaitu orang-orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)

Juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Bukhari).

Erni menerangkan di hadapan Inayah dan Fatimah.

Inayah sangat bersungguh-sungguh, dalam menyimak apa yang diterangkan oleh Erni terkait pemahaman akhlak yang selama itu, Inayah merasa akhlaknya jauh dari harapan yang bisa mencerminkan sebagai akhlak yang baik bagi kaum Muslimah.

****