1 Kehidupan Baru Di Kota

Panasnya terik mentari, tak menyurutkan semangat Usman Sayuti. Dia adalah seorang pemuda pencari pekerjaan di kota besar bernama Jakarta. Sebenarnya ia bisa saja bekerja di kampungnya. Namun karena ia akan dijodohkan dengan perempuan desa yang ia tidak sukai, ia memutuskan untuk kabur.

"Dasar keponakan durhaka! Kami sudah susah payah membesarkan kamu. Tapi kamu nggak mau nurut perintahku? Kamu sudah enak, ada juragan cendol yang mau menikahkan anaknya denganmu, tapi kamu menolak! Pergi saja kamu, minggat!"

Masih terngiang di telinga Usman ketika dirinya dimarahi oleh pamannya sendiri. Alasannya karena ia harus menikahi anak juragan cendol di kampungnya. Namun ia tidak mau menikahi perempuan itu karena perempuan itu setengah gila dan wajahnya seperti alien.

Hal yang membuatnya kabur lainnya adalah sikap pamannya pada Usman yang bernama Sukardiman. Kardi, nama panggilan pamannya itu adalah seorang pria yang sehari-harinya bekerja sebagai bandar togel. Ia memiliki sepetak kebun yang digunakan untuk memelihara ayam bangkok untuk sabung ayam.

Usman kabur karena ulah pamannya yang selalu mengambil uang hasil kerjanya sebagai penjual cangcimen di sekitaran terminal. Saat itu Kardi yang sedang menyambung ayam, diam-diam Usman membawa pakaian dengan tasnya ke terminal. Ia pun ikut bus dan sekaligus berjualan di dalam bus.

Karena sebuah insiden, ia harus berhadapan dengan preman setempat dan saat ini, dirinya sedang dikejar preman. Tapi karena larinya yang cepat, Usman berhasil kabur dan tibalah ia di jalanan yang padat merayap dengan kendaraan.

"Nasib oh nasib, mengapa begini ... baru pertama ke kota, sudah menderita ...." Sambil bersenandung, Usman melihat ke belakang dan untungnya tidak ada orang di belakangnya.

Deru kendaraan bermotor membuat bising di telinga Usman. Dirinya sangat haus namun tidak memiliki minuman yang ia jual. Karena ia harus kabur dan meninggalkan dagangannya.

Saat dalam keadaan haus dan lapar, ia merogoh sakunya. "Lah, hanya ada dua ribu?" keluh Usman. Semua uangnya berada di kotak cangcimennya. Ia ingat, uang dua ribu rupiah itu didapatnya dari seseorang yang membeli kacang dan karena ia sedang sibuk, pembeli itu memasukan uang dua ribu itu ke kantong celananya.

"Memang duit dua ribu bisa beli apa, yah?" Usman bertanya-tanya pada sebuah udara kosong di depannya.

Akhirnya Usman memasuki sebuah toko kelontong yang menjual makanan dan minuman seperti yang ia jual sebelumnya. Ia pun harus antri karena toko itu ramai dengan pembeli.

Usman harus menunggu selama dua jam sampai semua orang telah pergi karena sudah berbelanja apa yang mereka butuhkan. Karena semua orang telah pergi, tibalah saatnya Usman untuk membeli di toko itu.

"Pak, mau beli!" seru Usman dengan nada tinggi. Usman melihat banyak makanan dan minuman serta barang-barang yang di jual di kios itu sangat menggoda Indra perasanya.

"Mau beli apa, Dek?" tanya pemilik kios dengan ramah. Ia sudah capek melayani banyak pembeli dan sekarang tinggal pembeli terakhir. Ia berharap Usman juga memborong banyak belanjaan karena Usman terlihat orang punya karena memakai baju rapih.

"Kalau roti ini, berapaan, Pak?" tanya Usman sambil menunjukan roti rasa coklat pada pemilik toko kelontong.

"Itu tiga ribu, Dek. Kalau beli sepuluh ribu dapat tiga dan bonus teh gelas," ucap pemilik warung dengan senyum mengembang.

"Oh, kalau yang ini, berapa, Pak?" tanya Usman kembali ketika ia melihat jajanan berupa stik yang terbuat dari tepung.

"Oh, itu dua ribu lima ratus, Dek. Kalau beli sepuluh ribu, dapat empat. Tapi nggak gratis teh gelas," jawab pemilik kios kembali. Ia berharap Usman juga membeli stik itu.

"Ohh ... kalau ini?" Usman menunjuk ke kripik pisang yang ada di samping roti yang tadi. Ia berharap harga keripik itu lebih murah karena isinya sedikit.

"Oh, itu sale pisang. Harganya empat ribu, Dek. Kalau beli sepuluh ribu, dapat dua dan dapat dua teh gelas," sahut pemilik warung. Ia mulai merasa aneh dengan Usman karena dari tadi tanya-tanya terus. "Sebenarnya mau beli apa sih, Dek?" tanya penjual itu akhirnya.

"Hemm ... aku juga bingung, Pak. Karena di sini nggak ada yang harganya dua ribu, apa? Soalnya uang yang aku punya hanya dua ribu, Pak," tutur Usman. Usman sudah bingung karena tidak ada harga yang cocok dengan uangnya.

"Kurang ajar! Kamu sudah ngerjain orang tua, hanya bawa dua ribu perak, hah?" berang sang penjual dengan emosi tinggi.

"Maaf, Pak. Tapi aku sudah nggak ada duit lagi," ujar Usman dengan raut muka memelas. Ia memelas karena ingin mendapatkan makanan untuk mengganjal perutnya yang mulai lapar.

"Lagian, bocah sepertimu,sudah seharusnya bekerja. Jangan cuman bawa duit dua ribu doang!" hardik pemilik kios itu. Setelah dipikir-pikir, ia juga merasa iba setelah mendengar penuturan Usman.

Pemilik warung kemudian melihat Usman sebagai sosok lelaki yang berusia dua puluh tahunan. Di usia yang segitu, kalau sudah bekerja, pasti tidak akan seperti itu. Ia akhirnya mengulurkan satu bungkus roti untuk Usman.

"Nih, kamu bawa ini roti! Dua ribu juga nggak apa-apa, lah. Anggap saja sebagai bonus hari ini karena daganganku laris. Tuh, kamu ambil satu teh gelas buat kamu," ujar pria itu dengan ikhlas.

"Beneran, Pak? Wah, terima kasih, Pak." Usman mengambil roti itu dan menyerahkan uang dua ribu itu pada penjual kelontong tersebut. Walau ia tidak punya cukup uang, ia tidak akan lupa jasa orang yang menolongnya.

Usman mengambil teh gelas yang ada di dalam freezer. Kemudian ia mengucapkan, "Terima kasih, Pak. Ini akan menjadi ladang amal buat, Bapak. Semoga dagangannya semakin laris. Oleh karena itu, izinkan aku membayar sisanya dengan menyanyikan sebuah lagu, bagaimana?" tawar Usman dengan perasaan gembira karena mendapat makanan itu.

"Terserah kamu saja, asalkan lagunya enak didengar," ungkap pemilik warung. Ia membiarkan Usman untuk bernyanyi karena memang di tempat itu ia juga merasa gabut.

Sebenarnya Usman juga ingin menawarkan diri untuk bekerja di toko kelontong itu. Namun ia takut kalau preman-preman yang mengikutinya, mengejar sampai ke tempat itu.

Usman mulai menyanyikan sebuah lagu. Namun nyanyiannya begitu buruk. Meskipun begitu, ia tetap berusaha untuk menyanyi.

"Udah! Udah! Nanti kupingku bisa-bisa malah jadi tuli! Mending kamu pergi dan jangan pernah datang lagi ke sini!" usir lelaki paruh baya itu. Ia sudah kapok dengan Usman yang tidak bisa membayar. Malah ditambah dengan suaranya yang membuat telinga sakit.

"Iya-iya! Gitu aja marah," cibir Usman terus berlalu meninggalkan tempat itu. Usman sudah kapok juga habis dimarahi oleh pamannya, Kardi. Kini dimarahi orang yang mirip dengan pamannya. Yaitu sama-sama galak padanya.

Usman yang tidak diterima baik orang kota itu pun meneruskan perjalanannya. Ia ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu karena ingin sekali dirinya pergi dari bayang-bayang pamannya yang suka menyiksa.

"Subhanallah ... cantiknya ..." ungkap Usman sambil mulutnya menganga. Pasalnya ia melihat seorang wanita yang mulus, putih dan seksi. Dengan pakaian yang ketat dan tercetak lekuk tubuhnya.

***

avataravatar
Next chapter