webnovel

2 PAK SAID

Aku menguap dan berjalan lunglai ke arah los kami pagi itu. Pagi ini ibu akan terlambat datang karena ibu harus mengurus semua persyaratan dokumen yang diperlukan untuk mencairkan dana pensiun ayah.

Untungnya, kemarin sore, aku sudah menyelesaikan urusan stok semua bumbu dapur jadi pekerjaanku sedikit lebih ringan sekarang. Alu sedang bersiap-siap mengatur barang dagangan dan akan melayani beberapa pelanggan ketika tiba-tiba aku mendengar suara yang cukup keras dari arah los pedagang buah-buahan. Kebetulan, lapak kami hanya beda satu lorong sehingga suara teriakan itu terdengar menggelegar oleh telingaku.

Keningku berkerut. Beberapa ibu-ibu yang tadinya mau membeli dagangan kami juga memberikan reaksi yang sama pada wajah mereka. Kami semua juga menatap kea rah asal teriakan dengan rasa bingung dan penasaran.

Banyak orang sudah berkerumun di area los buah-buahan. Selain karena peristiwa ini cukup langka di Pasar Dukuh dan rasa ingin tahu yang sangat besar dari para pengunjung serta pedagang lainnya, kami juga sangat mengenal suara orang yang berteriak kasar tersebut.

Tante Lintang!

Itu suaranya!

Tidak ada lagi wanita lain yang sanggup berteriak sangat kencang dan keras seperti ini selain beliau!

Dan dilihat dari ketinggian volumenya, Peri Jahat ini kemungkinan besar sedang murka!

"BAPAK INI BANDEL SEKALI SIH! SUDAH DIBILANG BERKALI-KALI UNTUK TIDAK MELAKUKAN HAL YANG SAMA TAPI TERUS SAJA BAPAK LAKUKAN!!! APA TIDAK CUKUP PERINGATAN TERAKHIR YANG SAYA BILANG 6 BULAN YANG LALU?!! HAH!!!"

Aku berjinjit dibelakang para penonton adegan tersebut dengan hati-hati. Di depan mataku, aku melihat sebuah pemandangan yang sangat memilukan hati. Tante Lintang sedang berdiri berkacak pinggang dengan tubuh gempalnya sementara para ajudan pribadinya tampak habis mengacak-ngacak lapak buah-buahan milik Pak Said.

Pak Said sendiri, saat ini sedang bersujud di hadapan Tante Lintang dengan tubuh gemetar. Ia jelas-jelas sangat ketakutan pada aura dominan dan menekan tanpa ampun yang dipancarkan oleh Tante Lintang.

Kami semua bisa mendengar suara Pak Said yang memohon pilu agar bisa terus berjualan di Pasar Dukuh.

"Ma…Maaf, Bu. Saya khilaf. Saya mohon….. ini akan jadi yang terakhir kalinya. Saya…. tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tolongg… Bu… saya tidak tahu lagi harus kemana kalau tidak bisa berjualan lagi di sini…"

Air mata mengucur deras dari mata tuanya. Tubuhnya sudah ringkih dan layu. Pak Said tampak seperti sebuah bunga yang telah kehilangan semua daya juangnya. Dalam sekali jentikan, mungkin ia bisa terlempar keluar. Semua penonton menatap iba pada Pak Said dan melemparkan tatapan benci pada Tante Lintang serta para ajudannya.

Sayangnya, Tante Lintang sama sekali tidak terpengaruh oleh semua sikap mengiba yang dilakukan oleh Pak Said. Kalimat berikutnya yang keluar dari mulutnya, membuat semua orang terhenyak kaget.

"DIRMAN, SOLIHIN! BERESKAN LAPAK BAPAK INI SEKARANG JUGA! KUMPULKAN SEMUA BARANG-BARANG DAGANGANNYA DAN LEMPAR KELUAR…"

"Baik, Bu…"

Tanpa banyak bicara, Bang Dirman dan Solihin lalu langsung mengeksekusi perintah Tante Lintang. Tubuh ringkih Pak Said bergetar semakin tak terkendali dan ia memegangi kedua kaki Tante Lintang sambil bersujud. Mengharapkan belas kasihan terakhir dari bos preman ini. Tapi, Tante Lintang tak bergeming. Wajahnya tetap datar dan kaku dengan tatapan mata yang sangat menusuk.

Tidak sampai 15 menit, lapak Pak Said sudah bersih. Bang Dirman mengankut barang-barang dagangan Pak Said di dalam sebuah keresek hitam besar sementara Pak Solihin mengankat badan Pak Said yang ringkih dan memandunya keluar pasar. Sampai menit-menit terakhirnya sebelum tubuh Pak Said sampai di pintu keluar, beliau masih memohon-mohon dengan amat sangat pada Tante Lintang sambil bercucuran air mata.

"Bu… bu… tolonglah…bu...tolong bu..."

Semua orang terdiam saat menonton adegan tersebut. Aku juga.

Kengerian atas kediktatoran wanita ini merayapi wajah semua orang, tapi tak ada seorang pun yang berani bersuara atas ketidakadilan ini. Semua orang hanya berani merekam adegan ini dalam hati serta pikiran mereka sambil berjejak dalam diam.

Tante Lintang lalu mengeluarkan telepon genggamnya serta menelepon seseorang dan mengatakan kalau ada sebuah lapak kosong di bagian los buah-buahan yang bisa disewa hari ini juga!

Tak lama, kerumunan penonton pun langsung bubar. Tak ada seorangpun yang berani membicarakan masalah tersebut secara terbuka. Tidak ada yang berani karena Tante Lintang masih berada di sana serta sedang sibuk menagih setoran hariannya dari para pedagang seperti yang dilakukannya tiap-tiap hari. Aku juga sudah menyiapkan jatah setoran harian lapak kami pagi itu.

Setauku, Pak Said sendiri adalah salah satu pedagang senior di Pasar Dukuh. Sebelum ada Tante Lintang, Pak Said sudah berjualan di pasar ini sebelumnya. Mungkin ada sekitar 30 tahun. Pak Said juga terkenal sangat ramah dan baik hati. Ibu dan aku seringkali mendapat oleh-oleh dari beliau saat beliau suka pulang kampung ke Cianjur. Rasa-rasanya, Pak Said juga sama sekali tidak mempunyai musuh di Pasar Dukuh.

Jadi sebenarnya masalah apa yng membuat Tante Lintang marah besar pada Pak Said?

Kepalaku pusing saat memikirkan masalah ini tapi tidak berlangsung lama karena mendadak, Tante Lintang muncul di depan losku.

Melihat kedatangannya yang sangat tiba-tiba, aku gelagapan. Tanganku sedikit gemetar saat mengambil jatah setoran harian yang sudah disiapkan oleh ibu kemarin sore untuk langsung diserahkan kepadanya. Tante Lintang mengambil amplop putih tersebut tanpa banyak bicara sambil menatap tajam kepadaku dan segera pergi setelahnya.

Sumpah! Pagi itu… setelah melihat kejadian Pak Said… dan kemudian Peri Jahat itu muncul di depanku… aku merasa…. kalau kakiku berubah seperti ….. agar-agar. Aku perlu duduk sebentar untuk menenangkan nafasku sejenak. Untunglah, beberapa menit kemudian, ibuku datang.

..................…..

Sore harinya, setelah kakakku pulang dari bengkel dan aku sedang membantu ibu menyiapkan makan malam untuk kami bertiga, aku segera menceritakan kejadian di pasar pagi itu dengan sangat berapi-api pada kakak dan ibu. Tentu saja aku juga menambahi beberapa bumbu tambahan supaya lebih seru terutama saat adegan Tante Lintang membentak Pak Said dan saat Pak Said setengah diseret keluar oleh ajudan setianya Tante Lintang.

Kebencian aku dan kakak semakin bertambah pada aksi brutal Tante Lintang. Kakak juga mengkhawatirkan nasib kami jika kami terus berjualan di Pasar Dukuh karena menurut logikanya, kemungkinan besar kami pun bisa bernasib sama dengan Pak Said suatu hari nanti.

Anehnya, ibu kami sama sekali tidak berkomentar apapun saat kami saling menimpali dan menceritakan keburukan serta sikap diktator Tante Lintang. Ia hanya terdiam tanpa suara sambil terlihat memikirkan sesuatu.

Ketika aku bertanya, "Ada apa, bu?"

Ibuku hanya tersenyum dan menatap langit malam.

"Tidur sana. Besok, masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan…."

Aku mengangguk tanpa suara dan segera masuk ke dalam kamar tidur.