webnovel

Bab 13. Sang Titisan Itu Telah Besar

La Mudu mengakhiri latihan olah kanuragannya untuk menyerap energi alam. Kemudian pada sebuah daerah yang permukaannya tertutup kabut abadi, si bocah  lenyap. Ternyata ia menuruni dinding batu  yang merupakan mulut dari sebuah jurang sempit  dan curam.

        Di dasar jurang sempit itu terdapat sebuah ruangan yang sangat luas. Di situlah La Mudu dan gurunya, Dato Hongli, berdiam dan digembleng. Dalam dasar jurang itu mengalir sungai kecil bawah tanah yang berair sangat jernih. Persis di depan bagian jurang yang dijadikan beranda dan biasa juga tempat berlatih olah kanuragan La Mudu.

        Dan di sebelah beranda alam itu terdapat sebuah lubukan yang cukup luas dan dalam namun airnya demikian jernih. Karena demikian jernihnya seluruh dasar lubukan berikut beragam ikan yang hidup di dalamnya dapat dilihat dengan jelas. Dari pantulan permukaan air jernih itulah yang mampu menerima bias dan menyebarkan cahaya ke dalam dasar jurang. Namun tetap saja beberapa pelita yang terbuat dari kacang buah jarak pagar terpasang di beberapa dinding gua dan ruangan sehingga seluruh ruangan menjadi terang benderang.

        Saat berada dalam dasar jurang, La Mudu tak menemukan gurunya, Dato Hongli. Ia mencoba memanggil-manggil sang guru dengan menyebutnya Ato (kakek). Tetapi ia tidak mendengarkan sahutan dari orang yang dipanggilnya itu. Saat ia melongok ke bawah dasar lubukan yang berair jernih, ia melihat orang yang dipanggilnya. Ternyata Ato tampak sedang bersemedi di dasar lubuk. Semedinya aneh, yaitu dengan cara tidur telentang dengan melipat kedua tangannya di dadanya. Laki-laki berusia nyaris setengah abad itu seolah-olah tidak sedang tertidur di dalam air.

        "Sudah mulai tua kisut, tapi menahan nafasnya masih sangat kuat," membatin La Mudu lalu cekikikan sendiri. Jika dihitung dengan keberadaannya di pinggir ruangan itu, aksi semedi aneh laki-laki yang masih terlihat sangat gagah itu sudah cukup lama. "Atau jangan-jangan dia sudah…tewas?"

        Wajah La Mudu menyiratkan kekhawatiran. Sebuah batu sebesar lututnya sendiri ia pungut lalu dilemparkan ke dalam air. Baju itu tepat mengenai dengkul Dato Hongli. Tetapi si kakek-kakek masih tidak bergerak sama sekali.

        La Mudu makin khawatir. Ia pun memungut sebuah batu nyaris sebesar kepalanya, lalu hendak dilemparkannya lagi ke dasar lubuk. Namun sebelum sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba...

       Bughh!!

        Satu gumpalan angin tiba-tiba menghantam punggungnya dan membuat ia tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya lalu tercebur ke dalam lubukan. Di dasar lubukan Dato Hongli tertawa sehingga menimbulkan gelembung air yang susul-menyusul di permukaan.

        Namun sesaat kemudian tubuh sang dato  melesat ke atas. Di pinggir lubukan timbul niatnya untuk mengusili La Mudu yang masih berada dalam lubukan. Ia menggerakkan kedua tangannya dengan gerakan berputar meliuk-liuk sembari mengumpulkan sebuah kekuatan tenaga dalam yang cukup besar.

        Pelan namun pasti, air lubukan yang direnangi oleh La Mudu bergerak bergerak berolak. Olakan air itu semakin lama semakin kencang. Tubuh La Mudu pun ikut berputar cepat seperti benda kambang yang nyaris membentuk bayangan bulat hitam. Dato Hongli hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat kepala murid kesayangannya timbul tenggelam dalam pusingan air dan berjuang sekuat tenaga untuk membebaskan diri.

        "Hentikan air ini, Ato..!" teriak La Mudu, membahana. Karena teriakan itu dalam keadaan berputar, maka menimbulkan kesan suara yang lucu namun menyayat hati.

      Dato Hongli tidak ambil peduli. Dia melangkah ke sudut ruangan, membuka sebuah buntalan kain, mengambil jubah pengganti.

        "Kamu begitu saja dulu, biar seluruh daki di tubuhnya rontok semua. Keh keh  keh keh..." ejeknya santai sembari mengenakan jubah penggantinya.

        Dengan santai pula Dato Hongli duduk bersila di atas sebuah permukaan batu alam yang menyerupai meja di depan dinding ruangan, tempat di mana ia biasa berkhalwat. Sebuah cangklong candu yang terletak di samping pelita ambil yang dipasang di dinding cadas diambilnya, dipanaskan, lalu disedotnya dan diembusnya dengan lembut.

        "Ato, sudah Ato. Pandanganku berpusing juga, nih..!" teriak La Mudu tiada henti-hentinya.

        "Haiya, dasar anak manja!" suara Dato Hongli pelan, namun tetap terdengar membahana dalam ruangan batu itu. Tetapi anehnya mulut orang tua itu tidak bergerak sama sekali yang menandakannya lagi berbicara. "Kenapa kau tidak menggunakan ilmu Dewa Bumi Meredam Badai atau sejenisnya, Mudu?"

        Mendengar itu, La Mudu seakan-akan tersadar dengan kebodohannya. Suara teriakannya lenyap, berubah hening. Sesaat ia memusatkan pikirannya sembari melakukan gerakan-gerakan tangan melingkar. Kekuatan jurus Dewa Bumi Meredam Badai ia kerahkan. Dan air yang berpusing kencang itu laksana dikuasai oleh kekuatan yang sangat besar, terhenti mendadak, dan menyisakan sebuah permukaan danau kecil yang amat tenang. La Mudu mengakhiri perjuangannya, lalu menyadarkan tubuhnya di pinggir cerukan sambil mengatur kembali pernafasannya.

     "Oh ya Ato, kayaknya masih sangat banyak ilmu yang belum Ato turunkan ke mada," berucap La Mudu sesaat kemudian.

     Dato Hongli terkekeh-kekeh mendengar ucapan La Mudu. "Dasar anak manusia, selalu saja ingin memenuhi kepuasan kehendak. Tentu saja kelak kau akan mewarisi seluruh ilmuku, anak nakal. Haiya..!"

        Dan kelak itu pun kini hadir. Usia La Mudu sudah menginjak dua puluh tiga tahun. Ia telah tumbuh sebagai seorang pemuda yang tampan dan berpostur tubuh tinggi kekar. Tingkat ketinggian ilmu olah kanuragan dan kedigdayaannya sudah sangat sulit diukur lagi. Sementara Ato sekaligus gurunya, Dato Hongli, kian renta. Keduanya baru saja menyelesaikan suatu tarung latih yang dahsyat, panjang, dan melelahkan.

       "Mudu..,"  panggil Dato Hongli sembari duduk bersila di atas lantai di depan tempat yang biasanya dia berkhalwat.

       "Iya, Ato...!"

       "Sekarang kautelah menjadi seorang pendekar sejati. Ilmu-ilmu yang aku turunkan telah mampu engkau serap dengan sangat baik. Tinggal satu ilmu pamungkas yang akan aku turunkan kepadamu, yaitu ilmu Jurus Tapak Seribu Dewa. Ingatlah, Mudu, jurus Tapak Dewa adalah sebuah jurus pamungkas yang tak boleh sembarangan kaugunakan. Jurus ini hanya pantas digunakan disaat kaubenar-benar telah terjepit dalam sebuah pertempuran besar."

       Dato Hongli sesaat terdiam sebelum melanjutkan ucapannya, "Sebenarnya, dalam dirimu ada kekuatan titisan yang tak siapa pun memilikinya, yaitu kekuatan mahadaya api. Energi api terserap oleh kekuatan titisan yang ada dalam tubuhmu, dan energi api itu akan muncul dengan sendirinya disaat amarahmu muncul. Ato berharap agar kauharus mampu mengendalikan amarahmu dan tidak zolim dalam bertindak. Pergunakan ilmu yang kaumiliki untuk membela kebenaran dan membasmi kemaksiatan dan kelaliman."

       "Baik, Ato...!"

       " Sesungguhnya tak ada ilmu yang hitam, yang ada hanyalah perilaku pemegang ilmulah yang hitam dan jahat. Kau adalah murid dari seorang pendekar agung dari suatu kemaharajaan yang agung pula. Maka kauharus benar-benar menjadi seorang pendekar yang agung berikut ahlakmu. Hindari sikap jumawa. Kejumawaan adalah hulunya kehancuran. Pergunakan ilmu menurut tingkat dan ukuran keperluannya. Ilmu pamungkas Tapak Dewa dari aku dan Tapak Api yang kauperoleh secara alami adalah dua kekuatan yang amat dahsyat dan hanya cocok dipergunakan ketika kau menghadapi kekuatan musuh yang besar pula."

       "Baik, Ato...!"

      "Ingat, hanya Ato yang memiliki ilmu Jurus Tapak Dewa di atas jagat raya ini, dan hanya kausendiri yang memiliki kekuatan Tapak Api. Jika ilmu warisanku ini kelak hendak kauturunkan, maka turunkanlah pada muridmu yang benar-benar memiliki watak yang mulia. Sebab, jika kausalah memilih murid, maka bencana besar akan terjadi di muka bumi. Camkan itu, Cucuku!"

        "Baiklah, Ato. Setiap nasihat dan ajaran Ato akan menjadi permadani sutera untuk mada dalam menapaki kehidupan. Mada berjanji untuk selalu tidak pernah mengecewakan Ato."

       "Sekarang kamu mendekatlah, duduklah di hadapanku.

       "Baik, Ato." La Mudu mengambil tempat duduk bersila di hadapan Ato-nya. Jarak antara keduanya hanya sejangkauan tangan.

      "Atur nafasmu dan berkonsentrasilah. Lenyapkan dulu segala rupa dunia di pikiranmu."

       "Baik, Ato," Kemudian La Mudu mengikuti seperti apa yang diucapkan oleh sang guru.