1 Pulang

"WE BACK INDONESIA!!" teriak seorang gadis yang baru saja keluar dari pesawat.

Nayra Shafira Alvinsha, gadis periang yang baru saja berteriak tadi, berhasil membuat ketiga sahabatnya geleng geleng kepala melihat kelakuannya.

"Jangan malu-malu in, Nay!"

Nayra terkekeh, "Maaf, Ra."

Kejora Aira Aradea, akrab disapa Aira. Merupakan gadis yang paling bijak diantara mereka berempat. Ia tak pernah segan-segan menegur jika sahabatnya melakukan kesalahan.

"Dasar Nayra gesrek!"

"Aw! Sakit Len!" Nayra mengusap-usap kepalanya yang terkena toyoran Lena.

Alena Deeva Agatha, sering dipanggil Alena. Tetapi, ketiga sahabatnya kompak memanggilnya Lena. Agar tidak terlalu panjang, katanya. Ia memang gadis yang paling jail diantara sahabatnya yang lain. Aira saja sudah bosan menegurnya karena kejailannya.

"Udah ah, jangan malu-malu in!"

"Tuh! Denger kata Della." Aira menyetujui perkataan salah satu sahabatnya.

Renata Adelia, akrab disapa Della. Ia gadis yang paling netral. Permasalahan di keluarga nya, membuat Rena lebih dewasa ketimbang sahabatnya yang lain.

"Udah-udah, ayo masuk" ajak Aira.

Ia menarik lengan Lena. Sementara Della menarik tangan Nayra.

Sesudah mengambil bagasi, keempat sahabat itu berjalan beriringan menuju tempat penjemputan.

"Kakak gak bisa jemput, ada kerkel nih, naik taksi bandara aja ya..."

Della menghela nafas ketika membaca pesan dari kakak perempuannya.

"Girls, kak Retha gak bisa jemput kita, kita naik taksi aja" ucap Della yang mengundang tatapan tidak terima dari Nayra.

"Kita udah nunggu lama loh, masa ujung-ujungnya naik taksi?" protes Nayra. Wajahnya yang sempat berseri berubah menjadi kesal kembali.

"Udah lah, Nay! Jangan protes mulu. Lagian lama darimana nya? 15 menit aja gak nyampe." timpal Lena.

Sebenarnya, ia juga kesal.

Tapi, bagaimana lagi? Protes tidak akan membuat kak Retha menjemputnya kan? Lebih baik mereka memesan taksi agar cepat sampai di rumah. Lagian badan mereka juga terasa lelah akibat perjalanan 5 jam penerbangan tanpa transit.

"Aku udah mesen taksinya, nunggunya bentar doang kok, " kata Aira.

Della mengancungkan jempolnya kepada Aira.

"Gercep juga ni anak,"

"Biar cepat istirahat, dah kangen kasur nih." kekeh Aira.

"Kirain rajin," Della menoyor pundak Aira. Sementara Aira hanya bisa bersungut kesal.

***

"Len,"

Lena menoleh pada Aira yang memanggilnya.

Kini, mereka berada di ruang tengah. Lebih tepatnya, di depan TV. Nayra dan Della sudah tepar di kamar mereka. Mungkin karena selama perjalanan, mereka tidak beristirahat.

"Iya Ra? Kenapa?" tanya Lena sembari menatap Aira.

"Kamu udah kabari Jefan?"

Lena terdiam. Ya ampun, bagaimana dia bisa lupa?

Dengan tergesa-gesa, Lena menghubungi Jefan. Ia memutuskan untuk menelepon ketimbang mengechat. Aira hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya.

Dibandingkan sahabat-sahabatnya yang lain, Lena merupakan satu-satunya gadis yang sangat mengerti tentang cinta.

Itu disebabkan karena dia sudah mempunyai someone special. Bukan pacar loh ya.

Lena dan Jefan memang tidak ingin berpacaran. Mereka tidak ingin mempunyai status, agar tidak ada kata putus. Walaupun begitu, keduanya mempunyai komitmen untuk saling menjaga hati.

"Halo, Jef,"

"..."

"Iya, ini udah dirumah,"

"..."

"Sampai dalam keadaan selamat kok, tenang aja,"

"...."

"Hehehe, maaf. Capek banget tadi, kelupaan deh jadinya,"

"...."

"Iya, udah dulu ya, dadah!"

Lena memutuskan sambungan teleponnya.

"Udah?" tanya Aira.

Lena mengangguk sembari tersenyum.

"Seneng tuh," cibir Aira yang dibalas kekehan Lena.

"Aku kekamar duluan ya, Ra. Ngantuk nih," pamit Lena.

Aira mengangguk mengiyakan. Lantas melanjutkan membaca bukunya.

Setelah Aira memastikan Lena sudah memasuki kamarnya, ia menghempaskan badannya ke sandaran sofa sembari menghela nafas.

Pikirannya menerawang.

Dia apa kabarnya ya?

Ah, sudah lah. Aira tidak ingin memikirkan dia terlalu lama. Toh juga dia tidak akan memikirkan Aira seperti ini.

"Hey!"

"Yah, kaget." balas Aira dengan ekspresi datar.

Melihatnya, Nayra menoyor lengan Aira.

"Gitu amat ekspresi nya, heboh dikit kek!"

Aira hanya menatap Nayra datar. Lalu, mengalihkan fokusnya kepada buku yang sedang ia baca.

Nayra menghempaskan tubuhnya di sofa yang Aira duduki. Menghela nafas kasar.

"Ra,"

"Hmm?" tanya Aira tanpa mengalihkan pandangannya.

"Jatuh cinta itu, gimana ya rasanya?"

Sontak, Aira menoleh dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

***

"Hai semuaaa!!!!"

Semua gadis yang berada di ruang tengah itu seketika menoleh ke sumber suara.

"Kak Retha!" tanpa pikir panjang, Della segera memeluk kakak satu-satunya itu.

Retha hanya tersenyum sembari membalas pelukan adik perempuannya itu.

"Gimana kabarnya?" tanya Retha kepada keempat gadis yang berada di hadapannya.

"Seperti yang kakak lihat," balas Nayra mewakili sahabat-sahabatnya.

Mendengarnya, Retha tersenyum penuh arti.

Walaupun adik kandungnya hanya Della, tapi Nayra, Aira, dan Lena juga ia anggap seperti adik sendiri. Keadaan lah yang membuat ia menjadi kakak dari keempat gadis yang sangat ia sayangi ini.

Kini, Nayra sedang membuatkan minuman untuk menemani malam mereka.

Sementara yang lain menunggu dengan sabar, sembari menekuni kegiatan masing-masing.

Aira dengan laptopnya.

Della dengan Retha yang asik berfoto ria.

Dan Lena dengan handphone nya.

"Aduuh, enak banget ya kalian, cuma nunggu sambil duduk manis doang, berasa jadi pembantu deh," keluh Nayra ketika mendatangi ruang tengah dengan membawa minuman.

Semua mengalihkan pandangannya kepada Nayra seorang.

"Gak ada inisiatif bantuin gitu?" Nayra kembali mengode.

Della pun akhirnya bangkit, lalu membantu Nayra. Tanpa sepatah kata pun.

"Akhirnya ada yang peka!" sorak Nayra yang dibalas tatapan aneh oleh semuanya.

Melihat tidak ada yang meresponnya, Nayra menggerutu sebal.

"Ihh, kok gak ada yang ngerespon--" belum selesai Nayra berbicara, Aira memotong perkataan Nayra.

"Iya, gak kayak dia yang gak peka peka" timpal Aira tanpa mengalihkan fokusnya pada Nayra.

Mendengarnya, Della bangkit dan berjalan mendekati Aira.

Della tau, perkataan Aira bukan sekedar celetukan belaka. Ada makna tersirat di dalamnya.

Lena juga melakukan hal yang sama. Ia mengusap punggung Aira, mencoba memberi kekuatan.

"Dia lagi, Ra?" tanya Nayra yang sudah mengerti keadaan.

Aira tidak menjawab. Ia sibuk mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan.

"Kalau mau nangis, nangis aja Ra," saran Retha.

Retha juga sudah tau masalah yang dialami Aira.

Baru saja satu tetesan air mata lolos dari matanya, Aira segera mengusapnya kasar. Tidak. Aira tidak ingin menangis lagi hanya karena hal sepele seperti ini.

"Udah ah, kok jadi mellow gini," ucap Aira. Ia menuangkan minuman yang sudah Nayra buat kedalam gelas yang sudah disediakan.

"Enak, Nay! Kamu punya bakat masak juga yak ternyata," canda Aira.

Nayra mengerucutkan bibirnya. Della yang melihatnya, tidak menyia-nyiakan momen itu, ia membuka salah satu sosmed, dan merekam tingkah laku Nayra dan Aira. Sementara Lena masih sibuk dengan handphone nya.

"Len, telepon dengan siapa?" tanya Della sambil mengarahkan handphone nya kearah Lena.

"Bukan telepon, video call an," balas Lena.

"Oh, dengan siapa?" kini, Nayra yang bertanya.

"Ryan." Jawab Lena singkat, ia mengalihkan fokusnya pada handphone nya.

Aira yang mendengar nama Ryan disebut, segera meloncat ke sebelah Lena.

"Ikut dong!" pinta Aira.

"Hai, Ra!"

"Haiii, Yan! Kok gak ngechat aku sih?"

"Hehehe, tadi siang aku sibuk, Ra. Nyari barang buat MOS," kekeh Ryan.

"By the way, kita satu sekolah kan?" celetuk Della.

"Iya, kita satu sekolah," balas Ryan lagi.

"Guys, aku ke kamar duluan ya, ngantuk banget parah," pamit Della.

Yang lain mengangguk mengiyakan. Della segera bangkit lalu berjalan menuju kamarnya.

Sebelum terlelap, pikiran Della menerawang kepada kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian dimana ia lebih memilih kakak dan sahabat-sahabatnya ketimbang orangtuanya sendiri.

Perlahan, air mata Della turun, membasahi bantal yang ia gunakan. Nafasnya mulai tidak beraturan. Tangan nya gemetar. Isakan tangisnya mulai terdengar.

Hanya satu kalimat yang Della katakan di dalam hatinya.

Mama, Della kangen mama.

avataravatar
Next chapter