webnovel

Bab 8 Will You Be My Lover?

Minggu penting bagi Aini akhirnya tiba. Grand opening toko barunya di jaksel.

Pagi-pagi sekali seluruh karyawan barunya sudah sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Sudah sebulan dia mempromosikan toko di setiap platform media yang ada. apalagi pelanggan setia toko rotinya, bisa dipastikan semuanya ikut datang. Ditambah ada diskon besar-besaran, discount hunter pasti berbondong-bondong datang. Tidak masalah, itu juga bagian dari marketing.

Aini menyapa satu persatu pengunjug yang datang ketika siang menyapa. Beberapa ada yang Aini kenal karena sering berkunjung di kedainya yang ada di Jakarta pusat sana. Berbincang panjang, senang dengan format baru dari kedai Aini. apalagi sekarang anak muda sedang tren dengan minuman boba, menarik banyak pelanggan dari kaula muda.

Semakin siang, semakin ramai pengunjung. Beberapa pekerja kewalahan membuat minuman dan mengantar pesanan. Aini ikut turun tangan di beberapa bagian, itulah bagian tersulit ketika membuka kedai baru, ada saja kejadian yang tak terduga. Seperti sekarang, antrean panjang sepanjang kedai.

"Bos, kita kehabisan susu." Syafri menyeka pelipis dahinya. Dia adalah orang paling sibuk sejak pagi tadi.

"Eh? Bukannya kita sudah memesan ratusan kotak kemarin?"

"Iya, bos. Tapi ada kendala di delivery nya. Jadi datang agak telat dari tadi pagi. dan sekarang mereka lagi macet di jalan." Syafri menggigit bibir.

Aini berpikir sejenak, tidak mungkin mengatakan pada pembeli yang sudah mengatri lama. Itu bisa buruk untuk reputasi kedai barunya.

"Coba suruh beberapa orang untuk membeli susu di toko terdekat. Kalau memang tidak cukup nanti kita pikirkan lagi." Aini bertitah, syafri langsung melesat.

Sepanik apapun, wajah Aini tetap tersenyum menyapa pengunjung.

"Hei, Aini," sapa salah seorang pengunjung.

"Yuni, kau datang ya?" Aini kembali ceria.

"Iya, aku ajak beberapa teman SMA yang lain. ada julia dan rafael juga." Yuni menunjuk ke arah salah satu meja. Aini melambaikan tangan, beberapa temannya yang lain balas melambai.

"Ramai sekali, ya? Seperti dulu ketika kau buka toko roti. Aku ingat sekali ketika itu aku menjadi pekerja dadakan." Yuni menghela nafas.

"Tenang saja, Yun. Kali ini kau kuberikan full service, tidak ada pekerjaan dadakan." Aini tersenyum.

Setelah berbicara dengan Yuni, pikiran Aini kembali teralihkan dengan delivery bahan baku dari menunya. Mengehela nafas panjang, membuka smartphonenya. Mengirim pesan ke penanggung jawab yang mengirim susu kedai mereka, tidak ada balasan. Ini bisa berakhir buruk, baru saja siang, tapi semua bahan penting habis. Apalagi nanti ketika malam, rencananya bisa berantakan.

"Halo, Ratu Kecantikan." Suara itu membuat Aini terkejut.

"Eh, Zamrun." Aini balik badan.

"Kenapa mukamu cemberut, bukankah hari ini adalah hari spesial?" Zamrun memerhatikan raut wajah Aini.

"Eh, tidak ada." Aini berusaha tersenyum.

"Kau pembohong yang payah, Raini." Zamrun tersenyum.

"Tidak, hanya ada sedikit masalah teknis."

"Kalau masalah teknisnya sedikit, tidak mungkin kecantikan wajahmu berkurang hingga lima puluh persen," ucap Zamrun sembari terkekeh.

Aini ikutan tertawa tipis.

"Katakan saja padaku, Raini. Aku akan membantu, hari ini aku bisa menjadi karyawan dan juga pengunjungmu."

Sejenak, Aini menunduk, dia tidak ingin mempersulit orang lain.

"Ayo, katakan, atau perlu aku bertanya pada syafri?" Zamrun menunjuk syafri yang sedang mengarahkan beberapa karyawan.

"Tidak usah." Aini menggigit bibirnya, "Ada delivery yang tertaahan di jalan, itu yang membuatku khawatir." Akhirnya Aini memutuskan mengatakan hal tersebut.

"Mana, coba lihat nomor plat mobilnya."

Aini menyerahkan ponselnya, Zamrun memerhatikan sejenak.

"Tenang, Raini. Semua akan terurus, sebaiknya kau sekarang kau harus mengembalikan kecantikanmu atau para pelanggan akan ketakutan."

Aini memukul bahu Zamrun.

"Aduh, kalau kau memukul, aku tidak akan membantu." Zamrun pura-pura merenngek.

"Eh…" Aini merasa bersalah.

"Tidak usah takut gitu, Raini. Aku selalu akan membantumu." Mereka berdua tertawa.

Zamrun langsung ligat menelpon sana sini. dengan koneksi yang dia punya, mudah saja membuat truk yang mengatar bahan toko Aini sampai dengan cepat. Tidak sampai setengah jam, suara sirene polisi terdengar. Para pengunjung menatap heran, Aini juga ikutan heran. Empat mobil polisi sampai di depan toko, di tengah empat mobil polisi ada satu truk besar.

"Bos, kenapa truk kita dikelilingi polisi?" syafri sedikit takut dengan insiden polisi beberapa hari lalu.

Aini tidak menjawab. Beberapa detik kemudian Zamrun menghampiri kawanan polisi, memeluk salah satu petugas.

"Terima kasih, Fata. Aku berhutang banyak," ucapnya setelah memeluk satu polisi yang berkulit coklat gelap.

"Pastikan kau membalasnya, Zam. Ini tidak gratis." Mereka berdua tertawa.

Para pengunjung kembali dalam kesibukan masing-masing, tidak lagi mempedulikan kenapa para polisi berada disana.

Zamrun tersenyum pada Aini.

"Bos, calon suami bos hebat sekali ya. Truk kita seperti truk presiden sekarang, dikawal para polisi." Syafri yang berdiri di samping Aini mengoceh.

Aini hanya tersenyum mendengar kalimat syafri. Dia tidak sadara ada sesuatu yang tumbuh di hatinya ketika memerhatikan Zamrun.

***

Malam akhirnya tiba, toko tutup lebih awal karena Aini juga tidak ingin membuat para karyawan terlalu lelah. Besok mereka juga harus buka toko.

"Zam, makasih banyak. aku tidak tahu harus membalas seperti apa." Aini menghampiri Zamrun yang duduk di bawah meja dengan atap jamur.

"Santai, Raini. Kan sudah kubilang kalau aku akan selalu berada ada disana ketika kau butuh bantuan." Zamrun tersenyum tipis.

Aini menunduk malu.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, zam?" Aini duduk di salah satu kursi.

Zamrun berpikir sejenak.

"Bisakah kau datang ke tempat ini besok malam?" Zamrun menaruh secarik kertas di atas meja.

"Taman Cattleya?" ucap Aini setelah membaca kertas.

Zamrun mengangguk.

"Ada apa besok di taman cattleya? Apakah ada pameran lagi?" mata Aini berbinar-binar.

"Ada hal penting yang ingin kubicarakan, Raini."

"Hal penting apa?"

"Kau akan tahu esok hari." Zamrun berdiri, melangkah menuju parkiran. Meninggalkan Aini dengan pertanyaan.

"Bos, saya pamit dulu." Syafri mengejutkan lamunan Aini.

***

Malam itu Aini memakai pakaian biasanya, menuju taman cattleya menggunakan grab. Taman itu tampak sepi, Aini memerhatikan sekitar. Lampu taman yang menggantung di setiap jalan bersinar terang. Aini tersenyum. Taman itu memiliki sejarah khusus baginya. Apalagi ketika mengingat bahwa tempat itu adalah tempat spesialnya dengan bastian. Di taman itu bastian pertama kali mengungkapkan perasaannya.

Klik… tiba-tiba lampu taman mati, lantas sedetik kemudian kembali hidup.

"Hai, Raini." Dari ujung jalan tampak Zamrun dengan setelan jas abu-abu dan kaos polos warna hitam.

"Zamrun." Aini berlari kecil menuju Zamrun.

"Kemana para pengunjung lain?" tanya Aini.

"Tidak ada pengunjung lain, Raini. Hanya kita berdua." Zamrun mulai melangkah.

"Maksudmu?"

"Hanya kita berdua, taman ini adalah milik kita berdua untuk malam ini."

Aini mengernyitkan kening tidak paham.

Mereka mulai berjalan.

"Raini, ada sesuatu yang sudah kupendam lama selama ini. sesuatu ini mungkin tidak akan pernah kau sadari." Zamrun menarik nafas pendek. Aini mendengar sambil berjalan.

"Aku tidak tahu apakah kau punya sesuatu yang sama. Tapi, mau bagaimana pun, ini harus kuungkapkan." Zamrun berhenti, memegang dua tangan Aini.

Sejenak, suasana taman menjadi hening.

Klik… tiba-tiba lampu taman yang berada di rerumputan hidup, diikuti beberapa lampu jalanan taman yang mati.

Nafas Aini tertahan melihat lampu di rerumputan taman. bertuliskan 'Will You Be My Lover?'

"Raini, ini mungkin terlalu buru-buru. Tapi perasaan ini sudah kupendam selama dua tahun lamanya. Pertama kali aku bertemu denganmu di ruangan kerja bastian, aku masih bisa merasakan momen itu. dan hari ini perasaan itu terus tumbuh, aku tidak bisa menahannya. Sepanjang bulan ini wajahmu terus hadir di mimpiku. Wajahmu menghantui hari-hariku, Raini."

Tarikan nafas pendek Zamrun terdengar di depan Aini. "Aku berjanji akan menjadi lelaki terbaik yang pernah kau temui. Akan kuperbaiki semua kesalahan bastian. Akan kutunaikan semua janji-janji dan cita-citamu, aku, Zamrun, ingin kau menjadi kekasihku."

Kalimat itu membuat Aini terdiam dan tertunduk.

"Tapi, aku seorang janda, Zam. Aku tidak ingin menghancurkan hidupmu dengan berhubungan denganku. Aku takut nanti orang akan berkata yang tidak-tidak." Aini berkata lirih. "Aku takut reputasimu tidak baik nantinya. Aku takut—"

"Aku tidak peduli, Raini," potong Zamrun. "Aku tidak peduli selama itu kau yang menjadi kekasihku, aku tidak peduli apa kata orang-orang diluar sana. Aku tidak peduli sama sekali."

Sejenak, Aini terdiam. Menunduk lagi beberapa detik. Dia masih takut mengatakan sesuatu.

Zamrun menarik pinggang Aini, membuat Aini mengadah, lantas sepersekian detik Zamrun menempelkan bibirnya pada bibir Aini. mereka berdua menutup mata.

"Aku tidak peduli, Raini, selama itu kamu. Aku akan selalu ada. seperti yang kukatakan selama ini." sejenak, Zamrun kembali mencium bibir Aini.