webnovel

KENANGAN

2025.

Bekas masih terasa, luka masih membasah, memori masih terkunci kuat. Kisah yang berlalu telah terkubur namun seperti di gali dan di putar berulang-ulang kali. Walau terasa tenang namun terasa seperti terguncang, walau terasa nyaman tetapi terasa berbahaya di mana-mana.

"sekali lagi aku bermimpi yang sama, kejadian itu tidak akan pernah ku lupakan." Ucapnya di kala itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya.

Di balik jendela, langit yang terlihat mulai menaikkan mentarinya. Terlihat suasana pagi yang tenteram menenangkan hati. Angin yang segar membelai pipih berlalu dengan cepat. Senyuman dan rasa bahagia kembali di wajah ku setelah bertahun-tahun menghilang.

"Dasar pemuda keras kepala, tetapi aku bersyukur dia telah kembali." Ucapku tersenyum melihatnya dari jendela rumah.

Aku mengenalinya dengan baik, dia Hidup dalam bergelimpangan kasih, memiliki rasa simpati yang tinggi serta rasa keberanian yang tak pernah gugur. Berpenampilan sederhana, berpeci tegak di kepala tak pernah tertinggal ketika melangkah ke mana arah membawa hatinya.

"pagi yang cerah, sudah lama aku tidak melihat momen sebagus ini." Ucapnya sambil memandangi langit yang baru membiru

setelah hilang memerah di setiap bagiannya.

Pagi sekali dia mulai Mengayuh sepeda membawa diri demi membimbing dan meluaskan ilmu, rela mengorbankan waktu demi mereka yang haus akan pengetahuan demi masa yang mendatang.

"anak-anak sekalian. Ibu ingin tahu siapakah orang yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat?." Tanya ku kepada murid-murid saat itu sambil memainkan pulpen di tanganku.

Seluruh murid-murid berfikir dan mencari-cari jawaban, ada berpendapat bahwa seorang pahlawan, ada pula seorang pemimpin, dan ada pula yang menjawab ibu dan ayah. Namun dari sekian jawaban dari seluruh anak didik ku. Salah satu anak mengatakan bahwa sosok yang berpengaruh bagi kehidupan orang-orang ada pada seorang guru yang berani dan penuh kasih walau harus mengorbankan segalanya.

Sontak dari jawaban salah satu anak itu membuat ku tersenyum dan ingin mengetahui siapakah orang itu, "kalau begitu ibu ingin tahu siapa sih guru itu nak?." Tanya ku sambil berjalan menuju ke arah anak itu bernama arman. arman yang terlihat gugup tidak bisa menjawab pertanyaan yang ku ajukan kepadanya, Dia tersipu malu karena menjawab asal dari lisannya. "Ayoo, coba Arman beritahu siapa guru yang kamu sebut tadi." Sekali lagi aku bertanya kepada arman.

Perasaan gugup membuatnya berucap terbata-bata saat hendak menjawab pertanyaan ku, "Sa...sa...saya tidak tahu bu, soalnya waktu itu saya cuma sekali dengar kisahnya bu." Arman berseru di penuhi keringat di wajahnya.

Ungkapan arman membuat ku tertawa melihat keadaannya yang sedang gugup hingga berbicara terbata-bata.

Setelah jam mengajar telah selesai, seperti biasa aku pergi memasuki ruang kantor sekolah, aku duduk sambil membaca salah satu buku kesukaanku. Bukanlah buku novel ataupun buku yang berisikan puisi, melainkan buku biasa yang mengukir kisah di baliknya. Tanpa ku sadari ketika membaca halaman ke 42 dari buku tersebut seakan-akan aku sedang jatuh cinta setelah cinta pertama, seakan senyuman ku tak ku sadari.

"aku jadi teringat penantian dan pertemuan itu." angan-angan ku membayangkan kejadian yang lalu.

2010.

Dia terdorong, "aduh."

"Bagaimana sakit yah." Ucap abu sambil tertawa melihatnya pada saat itu terjatuh. Abu adalah teman yang selalu menjahili teman ku, jika memiliki kesempatan abu selalu membuatnya tertindas. Namun aku akan selalu ada di saat melihatnya sedang di jahili, "hey, kalian apain dia, kalian nakal banget sih." Ucapku kepada abu dan teman-temannya.

"kenapa sih, salah, emangnya Kamu siapa?."

Abu bersama teman-temannya pergi begitu saja setelah mendorongnya terjatuh.

"kamu tidak apa-apa?." Tanyaku kepada Yusuf.

Namun pertolongan yang aku berikan untuknya membuat dirinya seperti tidak memiliki kemampuan untuk membela diri, "kenapa sih kamu selalu ada saat keadaanku seperti tadi?." Tanyanya kepadaku merasa seakan dirinya lemah. Andaikan dia tahu bukanlah maksudku membuat dirinya terlihat tidak mampu menyelesaikan masalahnya, melainkan hanya untuk membuat abu dan kawan-kawannya pergi.

Bisa dikatakan aku adalah teman dekatnya (Yusuf) yang selalu mendukung dan membela dirinya ketika dia dalam kesusahan ataupun menghadapi kawan-kawan yang selalu berbuat jahil kepadanya. Aku sangat mengenal dirinya, dia adalah anak yang tekun, pintar, dan lembut hatinya. Anak seusia dirinya yang lebih memilih tuk bermain bersama teman sepermainan, tetapi berbeda dengannya, Yusuf lebih memilih memperbanyak membaca buku dan lebih menghabiskan waktu senggang dengan bermain pikiran, namun tidak selamanya dia akan selalu bermain sendiri, terkadang juga Yusuf bermain bersama teman yang di anggap untuk dirinya bisa memberikan kenyamanan dan baik untuknya bukan yang dapat membuat suasana heboh.

Walaupun demikian, teman yang selalu dekat dengannya hannyalah aku. Tidak pernah aku sangka pertemanan semasa kecil kami akan menjadi awal terukir kisah yang akan terus berlanjut dalam kehidupan kami.

Kini kami memasuki sekolah menengah pertama, tanpa di duga aku dan Yusuf masuk sekolah yang sama saat itu. Sudah pasti membuatku senang, namun ada juga yang membuatku tidak senang, sebab anak itu juga satu sekolah bersama kami (abu). Yah mau bagaimana lagi, tetapi rasanya berjumpa dengan teman lama yang baik membuatku sudah cukup senang dan bersemangat menempuh pendidikan.

Di hari pertama suasana terasa baru dan asyik, saat bertemu lagi dengan teman lama senyumku seakan tak pernah habis. Tetapi berjumpa dengan teman yang tidak aku sukai membuat ku ingin selalu marah. Bagaimana tidak kehadirannya membuatku tidak menyukainya, karena dia selalu menjahili Yusuf tanpa henti.

"Hey. Yusuf ternyata oh ternyata, sekolah kita lagi-lagi sama yah." Ejekan abu yang seolah-olah ingin menjahili Yusuf lagi. Abu sangat iri kepadanya karena kepintarannya serta menjadi murid teladan di semua mata guru. "Oiyah, kira-kira masih jadi murid kesayangan guru yah?."

Aku tahu Yusuf selalu bersabar menghadapi abu karena dia tidak ingin mendapatkan predikat tidak baik dari sekolahnya. Aku sangat tahu hatinya walau dalam keadaan marah sekalipun dia tidak akan mungkin mengambil keputusan dalam keadaan marah.

Aku menghampirinya saat dia sudah sendiri, "yusuf, maaf mengganggumu." Tanyaku agar dia tak merasa terganggu. Ragu ku katakan kepadanya, namun demi kebaikannya aku beranikan diri tuk menasihatinya, "kenapa sih kamu selalu berdiam diri saat si abu itu menjahili kamu?." Tanyaku.

"namun sebelum ku jawab pertanyaan mu. Kenapa kamu selalu ada dan mau tahu tentang permasalahan ku?." Jawabannya.

Sudah pasti pertanyaan yang kembali Yusuf pertanyakan kepadaku membuatku bingung untuk menjawabnya, "aku...aku Cuma membantu agar mereka tidak selalu menjahili mu itu aja kok."

Saat itu dia mengatakan kalimat yang tak akan pernah aku lupakan, "aku tidak butuh bantuan, apa lagi kau seorang perempuan, perempuan tidak pantas melindungi laki-laki itu hanya semakin memperburuk keadaan." Tegasnya agar aku tidak lagi ikut campur. Dia mengatakan lagi yang membuat perasaan ku saat itu sedikit sakit. "dan mengapa aku selalu berdiam. Aku hanya ingin tetap mendapatkan predikat murid yang baik, tapi jikalau kamu terus mengganggu ku mungkin bisa saja aku berkelahi dengan mereka karena di anggap tidak bisa menyelesaikan masalah, selalu di bantu oleh wanita."

Setelah berkata sedemikian dia langsung pergi dari tempat duduknya meninggalkan ku. Aku hanya berfikir bukankah aku teman dekatnya, tetapi mengapa bantuan ku sebagai teman tidak dapat dimengerti. Saat itu juga aku memutuskan untuk berhenti membantunya.

Setelah beberapa tahun selalu bersama, Kini kami berpisah jalur tidak bertemu lagi seperti dahulu, namun tentu perasaan teman selalu rindu, tetapi aku ingat kata pepatah mengatakan "pria dan wanita tidak akan pernah bisa berteman". Ini yang aku takutkan apakah rindu ku ini hannyalah sebatas rindu seorang teman dekat seperti waktu kecil dahulu, ataukah lebih dari itu.

Waktu itu aku telah memasuki masa dewasa ku, mungkin dia juga telah dewasa, namun aku tidak tahu bagaimana sosoknya saat ini. Namun yang aku harapkan semoga dia masih tetap sama seperti dahulu.

Di buku harian hanya dapat ku menggambarkan sosoknya dan sikapnya yang dahulu selalu baik kepada setiap orang. Menurut ku dia berbeda dari yang lain, dia selalu memikirkan kepentingan orang-orang tersayang di bandingkan dirinya sendiri terlebih dahulu.

Tak beberapa setelah ku tutup buku harianku, dari sekian banyaknya langkah kaki, hanya satu yang dapat aku kenali dengan sangat baik. Langkah kaki seorang teman yang beberapa tahun ini berpisah. Ku lihat kiri kanan namun sosoknya tidak ada, ketika ku lihat dari depan, dia yang berjalan mulai mendekati tempat ku duduk, namun di melewatimu begitu saja, aku berfikir apakah dia tidak mengenali ataukah hanya berpura-pura tidak melihatku. Ku coba menegurnya, "yusuf." untuk pertama kalinya aku melihatnya lagi, saat dia menoleh ke arahku sudah pasti aku merasa senang, apalagi dirinya benar-benar berbeda dengan yang aku kenal dahulu, dia semakin yah seperti wanita pada umumnya pasti akan merasa ada yang istimewa ketika melihat lelaki yang sempurna di hadapannya.

Setelah pertemuan terulang lagi tentu membuatku senang ternyata dia masih mengingat ku dan masih menganggap aku sebagai teman dekatnya, pertemuan ini membuat aku dan Yusuf semakin dekat.

Di suatu waktu aku bertanya kepadanya, "yusuf apa sih yang kamu ingin lakukan suatu saat nanti ketika sudah lulus nanti?." Tanyaku.

Dia tersenyum dan melihatku, "aku ingin menjadi jembatan ilmu bagi orang-orang yang buta akan pengetahuan, dan aku juga ingin menjadi pintu keberhasilan bagi orang-orang yang tidak memiliki kesempatan memasuki pintu itu." jawabnya terlihat di wajahnya memiliki harapan besar.

Ku tanyakan lagi kepadanya, "apakah nanti setelah keinginan mu terwujud, kamu tidak membutuhkan seseorang untuk menemani mu."

"Sudah pasti Aku membutuhkan seseorang untuk membantuku memperluas pengetahuan." Jawabnya.

Setelah mendengar jawaban terakhirnya membuatku sedikit kecewa, karena jawaban yang dia ucapkan berbeda dengan yang aku harapkan. Namun mengapa harus dia menjawab sesuai yang ku inginkan dan mengapa aku harus mengharapkan jawaban seperti itu, mungkin karna aku tahu apakah aku pantas memiliki perasaan kepada hambanya yang taat kepada Tuhannya, apakah aku dapat meraih cinta hambanya sedangkan aku tidak pernah berusaha untuk meraih cintanya.

Namun aku sudah berjanji kepada diriku sendiri apa pun keinginannya aku akan selalu mendukungnya sebagai seorang teman, tidak lebih.

Tahap demi tahap aku lihat perkembangan darinya yang semakin meningkat, dia yang dahulu takut dalam menyuarakan pendapatnya, kini dia seperti seorang pemimpin yang mengatakan salah bila yang dia pikirkan memanglah salah dan membenarkan bila itu benar.

Ucapannya yang masih aku ingat ketika dia mengatakan dalam suatu diskusi di perkuliahan, "bila kebenaran atas dasar pemikiran semata, tanpa memiliki panutan dalam membenarkan suatu kejadian atau sekalipun itu perselisihan kecil antara manusia dalam hak dan keadilan. Apakah harus di letakkan dalam pemikiran saja dan apa yang kita lihat saat itu tanpa adanya kesempatan dan perundingan terlebih dahulu." Tegasnya tanpa ragu. Semua kawan-kawan pada saat itu hanya terdiam, lalu dia melanjutkan penyampaian yang dia miliki. "jikalau hidup ini hanya atas dasar politik dan pemikiran-pemikiran yang berlandaskan keegoisan demi mencapai keinginan, maka tidak ada gunanya Qur'an dan Sunnah yang setiap hari kita baca, pelajari, dan tekuni bagi kita muslim jikalau seseorang tidak mengikuti arahnya dan takut akan pembalasan di akhir nanti."

Dari pernyataan yusuf, membuatnya di kecam, namun aku tahu dia akan tetap kokoh pada ucapannya.

Setelah melewati beberapa semester, kejadian di tahun itu tak akan pernah aku lupakan juga, suasana seakan-akan berubah, tahap demi tahap dunia di Landa musibah yang membuat masyarakat seakan takut pada musibah itu. Bahkan ada yang menganggap bahwa itu adalah karma dari Tuhan kepada manusia. Namun dibaliknya ada pelajaran untuk setiap orang.

tahun berikutnya yang telah membaik.

Beberapa tahun melalui Musibah itu, segala aktivitas kembali seperti sediakala, kami berjumpa lagi, perjuangan menempuh pendidikan kembali kami hadapi. Seperti biasa ku lihat tegasnya Yusuf dalam diskusi sehingga kawan-kawan yang lain hanya dapat melihat saja.

"Lelah sekali."

Aku mendengar kalimatnya yang tak terlalu mengeluh, ku coba dekati dia, "yusuf, bagaimana tadi lancar saja?."

Dia tersenyum, "alhamdulillah, berjalan dengan baik, yah walau melelahkan."

Ku balas senyumnya, "bagus deh kalau begitu, yang semangat yah."

"Insyaallah, di babak yang kedua ini dimudahkan." Ucapnya sambil menghela nafas.

Aku melihatnya duduk di meja yang memiliki kedudukan di hadapan para dosen dan dekan, ku lihat dari sisinya yang benar-benar berubah yang selama ini aku kenal pendiam namun pintar yang takut bersuara namun ahli dalam tulisan pendapat, kini berubah menjadi pemuda yang berani berpendapat dan pintar dalam keputusan, membuat para dosen dan dekan tidak meragukannya. Sudah pasti itu membuatku takjub dan senang, dia menyuarakan suara bukanlah atas dasar kepentingan keegoisan ataupun keinginan sendiri, melainkan untuk pemikiran kedepannya masyarakat dalam statusnya yang masih mahasiswa.

Di suatu saat dia di tawari untuk mengikutkan diri mencalonkan menjadi ketua eksekutif mahasiswa, namun dia menolak, karna takut tidak dapat memenuhi nanti tanggung jawabnya, dia menolak tawaran agar nanti dia tidak terbebani oleh dosa apabila dia tidak bisa sepenuhnya bertanggung jawab. Itulah kelebihannya dia tidak tergiur oleh tawaran yang memiliki jabatan.