webnovel

Take a change with me

Entah berapa lama aku terduduk di situ, aku mendengar sayup-sayup orang memanggilku. Aku menajamkan pandanganku berharap itu bukan sosok yang aku impikan semalam.

"Hai." Itu dia Theo berdiri tepat di depanku sambil memamerkan senyum manisnya.

Aku langsung menegakan badanku menatap tidak percaya, rasanya seperti de javu. Hingga air mata yang menetes di pipiku menyadarkanku dari lamunan.

"Hei..kenapa nangis, kangen ya sama aku." Lagi-lagi candaan garingnya. Tanganya bergerak ngusap air mata di pipiku, entah kenapa aku tidak bisa berkutik di hadapannya.

Tangannya mulai merengkuhku menarik diriku masuk kedalam pelukannya, saat itu juga tangisku pecah. Bukan ini yang aku mau tapi hatiku berkata lain, aku tidak bisa berbohong bahwa aku masih merindukannya.

"Jangan nangis dong La, nanti aku dikira ngapa-ngapain kamu." Ucapnya sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku masih tidak bisa mengeluarkan suara ku, entah rasanya suaraku tidak mau keluar hanya air mata yang mengalir semakin deras.

Dia membawaku duduk dikursi dan dia duduk dihadapanku, sama seperti dulu. Dia membiarkanku menangis tanpa berkata apa-apa, hanya menggenggam erat tanganku dan sesekali mengelusnya. Hingga tangisku reda baru dia melepaskan tanganku dan menyodorkan tisu. Tanpa banyak bicara aku langsung mengambilnya dan menyeka air mata serta ingus yang berlomba-lomba untuk keluar.

"Kamu begitu kangennya ya sama aku sampe nangis kenceng gitu. Aku takut tau nanti dikira ngapa-ngapain kamu, bisa digebukin aku sama yang lain." Ucapnya coba menghiburku.

"Kamu ngapain kesini kak ?." Tanyaku.

"Loh aku kan balik ke sini mau nyelesaiin skripsiku sama ketemu kamu, kangen hehe. Emang kamu nggak kangen sama aku ? udah lama loh kita nggak ketemu."

"IYA AKU KANGEN SAMA KAMU MANA SAMPE MIMPI SEGALA." Kata-kata itu jelas tidak keluar dari mulutku, memang aku gila menurunkan harga diriku di depannya untuk bilang aku kangen.

"Nggak." Jawabku singkat sambil nunjukin muka datar.

"Jahatnya." Ucapnya sambil berdrama memegangi dadanya. "Tadi kamu kenapa sih duduk bengong di situ, aku panggil gak nyaut. Nanti kalo kamu kesurupan gimana, siapa yang mau nolongin aku kan bingung bacaannya pake versi yang mana."

"Kamu sampe sini kapan ?." Tanyaku. Aku berusaha untuk tidak menanggapinya aku, tidak mau membuat tembok yang selama ini aku bangun runtuh begitu saja karena bertemu dengannya.

"Semalam, aku pengen ngajak kamu keluar tapi aku nggak tau kamu ada di kos apa engga. Aku nanya anak-anak lain katanya jarang liat kamu di kosan."

"Iya semalam aku keluar."

"La nanti malam keluar yuk beli makan, kumpul sama anak-anak juga. Udah lama loh kita nggak kumpul sama yang lain." Ajaknya.

"Nggak usah kak makasih aku udah makan tadi, aku masuk dulu ya kak permisi." Pamitku. Bohong kalau aku bilang sudah makan padahal perutku keroncongan minta diisi, aku masih punya mie instan nanti makan itu saja. Yang penting tidak keluar aku tidak mau bertemu dengannya. Hatiku masih sakit mengingat apa yang sudah aku alami.

Hari-hari berikutnya dia masih melakukan berbagai cara untuk bertemu denganku, pesan pesannya pun selalu aku hiraukan atau aku jawab seadanya. Sebenarnya sih aku pengen bertemu dengannya tapi gengsiku terlalu tinggi. Aku tidak mau usahaku untuk move on gagal karenanya. Seperti saat ini dia berteriak kencang memanggilku keluar, mau tidak mau aku keluar takut mengganggu orang lain dengan teriakannya. Saat aku keluar dia langsung menarikku dan mendudukan ku di kursi hadapannya dan menyodorkan bungkusan dalam kresek hitam.

Aku hanya memandangnya bingung, "Ini apa ?."

"Nasi goreng kesukaan kamu. Tadi aku nggak sengaja lewat di depan penjual nasi goreng langganan kita, terus inget kamu. Dimakan ya." Ucapnya sambil menatapku dengan mata berbinar.

Aku hanya menatapnya tidak tega rasanya dia sudah berusaha seperti itu. Tapi aku sudah memantapkan niatku untuk tidak jatuh lagi. Sial, aku harus mencari alasan untuk menolaknya. Untung saja saat itu aku melihat kak Mikha dan kak Gio berjalan ke arah kami.

"Kak sini, kalian laper nggak ? mau nasi goreng ?." Tawarku.

"Hah mana?." Jawab kak Mikha.

"Ini milikku tapi aku sudah makan tadi, tidak kuat kalau harus makan lagi."

"Wah sini, lumayan aku belum makan nih."

"Makasih ya kak Theo nasi gorengnya, tapi aku sudah makan tadi. Daripada nggak dimakan aku kasih mereka aja nggak apa-apa kan ?." Tanyaku.

"Iya nggak apa-apa." Jawabnya sendu.

"Wah parah kamu Yo. Beli nasi goreng cuma Laira doang yang dibeliin, yang lain engga." Protes kak Mikha. "Btw makasih ya dek."

"Kalau gitu aku permisi ya kak, mau lanjut bikin tugas." Ucapku sambil cepat-cepat beranjak dari sana.

"Theo ? sejak kapan kamu manggil nama dia pake nama itu dek ?, biasanya kamu panggil dia Iyo nggak sih." Tanya Kak Gio yang kini membuka suaranya.

Mampus. "Hah memang iya ? Aku selalu memanggilnya kak Theo kok kapan aku memanggilnya begitu." Jawabku gugup.

"Nggak kamu selalu manggil dia Iyo, sampai kami hafal loh. Aku juga jarang ngeliat kalian bareng lagi biasanya kemana-mana berdua. Kalian lagi marahan ya ?." Kini kak Mikha yang memberondong aku dengan segala pertanyaannya.

"Enggak kok kakak salah dengar kali, kami juga nggak marahan kok. Iya kan kak Theo?." Aku mencoba mencari perlindungan dengan melemparkan pertanyaan itu kepadanya. Sedangkan dia hanya menatapku sendu, dan dua orang itu menatap bingung kami berdua.

"Aku masuk dulu ya kak." Aku langsung berlari masuk, kabur menghindari mereka bertiga.

Beberapa hari kemudian dia jarang mengajakku bertemu,mungkin sudah lelah, aku tidak peduli. Kami hanya sering berpapasan dan aku cepat-cepat pergi dari hadapannya. Dan saat ini aku berniat ke perpustakaan untuk menghabiskan waktuku dengan buku-buku yang ada disana daripada bosan di dalam kamar. Saat hendak berjalan ke parkiran aku melihat nya duduk sendirian di tempat itu. Aku mencoba pura-pura tidak melihatnya dan berharap dia juga tidak melihatku, aku berdoa semoga aku terlihat transparan di hadapannya.

"Mau kemana La ?." ternyata keberuntungan sedang tidak berpihak kepadaku.

"Oh..eumm mau ke perpustakaan kak, permisi."

"Tunggu, aku anter ya." Tawarnya.

"Ehh..ngga usah kak aku bisa sendiri." Tolakku.

"Aku ikut, aku mau cari buku referensi. Tunggu situ sebentar aku ambil jaket." Belum sempat aku menjawab dia sudah berlari masuk.

Ya sudah lah, sekali ini saja. Tidak enak juga terus menolak. Sembari menunggu nya aku membuka handphone ku sekedar scroll timeline.

"Yuk." Ku alihkan pandanganku dari handphone ku ke arahnya. "Tampan." Batinku , sudah lama aku tidak melihatnya seperti itu.

"Hey ayo kok malah ngalamun, udah bawa helm kan ?." Tanyanya sambil menggandeng tanganku.

"Sudah kok." Jawabku, aku masih terpana olehnya hingga tidak sadar jika dia menggandeng tanganku.

"Jaket sudah ?." Tanyanya sambil memakaikan ku helm. Jika kalian tanya aku bagaimana aku masih diam, aku tidak tau harus bertindak seperti apa.

"Nggak bawa, lagipula dekat kok." Aku langsung naik ke atas jok motornya menghiraukan perkataannya.

"Kebiasaan kamu tuh suka nyepelein. Sudah siap?."

"Iya." Pandanganku masih kosong kedepan otak kecilku ini masih memproses apa yang terjadi tadi.

"Pegangan nanti jatuh."

"Sudah." Ucapku dengan mencekram samping jaketnya.

"Kayak gitu itu bukan pegangan, seperti ini baru pegangan." Dia menarik tanganku untuk melingkar di pinggangnya.

"Jangan dilepas ya."

Aku melihat senyumnya merekah dari pantulan kaca spion dan aku masih mencoba memproses apa yang terjadi. Aneh rasanya, sudah lama kami tidak jalan berdua. Sedih,bahagia, dan takut bercampur aduk menjadi satu. Rasa bahagia menyelimuti diriku sudah lama kami tidak sedekat ini, tapi tidak dapat dipungkiri aku juga merasa takut usahaku selama berbulan-bulan ini hancur karena aku menjadi lemah terhadapnya.

Terlalu sibuk dengan pikiranku hingga aku tidak sadar jika kami sudah sampai beberapa menit yang lalu, dan tanganku masih melingkar di pinggangnya. Buru-buru aku menyingkirkan tanganku dari sana dan turun.

"Ngelamun terus mikirin apa sih cantik ?." Tanyanya sambil turun dari motor yang dikendarainya.

"Nggak mikirin apa-apa." Manggil apa dia tadi, dia manggil aku apa ? cantik ? wah udah gila.

Melihat aku yang berkutat dengan kait helm yang tidak mau lepas, dia tertawa dan merunduk membantuku melepasnya. Terkutuklah helm ini karena harus macet di depannya.

"Udah,pelan-pelan dong." Ucapnya sambil mengusak kepalaku.

"Makasih kak." Aku langsung berjalan mendahuluinya meninggalkannya di belakang karena aku tidak ingin terlihat salah tingkah di hadapannya.

"Hei kok aku ditinggalin sih." Dia langsung mengejar dan menggandeng tanganku. Dan saat itu juga aku berhenti dan menatapnya.

"Kok malah diem ayo, tadi buru-buru."

"Ini." Ucapku sambil menunjukkan tangan kami yang bertaut.

"Oh..biar kamu ngga ilang, yuk." Dia langsung menarikku masuk menghiraukan diriku yang kebingungan atas sikapnya.

Selama di dalam perpustakaan dia hanya memandangi diriku tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

''Kamu ngeliatin apa sih kak ?." Tanyaku berbisik.

"Nggak aku lagi baca kok ini." Ucapnya sambil memperlihatkan buku yang dipegangnya.

"Buku kamu aja ngga di buka kak, kamu itu baca apa?."

"Adadeh, Btw habis ini mau ke pantai engga ?." Tanyanya.

 "Mau ngapain kesana ?, aku nggak bawa jaket."

"Tenang udah aku bawain tuh di tas aku, yuk sekarang biar nanti bisa liat sunset." 

Aku hanya diam mendengar tawaran nya, tapi kalau di pikir-pikir lumayan juga bisa healing sekalian, kan aku sudah lama tidak pergi ke pantai. "Eumm..okay."

"Nah gitu dong yuk." Ucapnya sambil mengulurkan tangannya.

"Ngapain kak ?."

"Aku gandeng biar ngga ilang,yuk ?."

"Nggak mau, deket kok ke parkirannya. Nanti cewek kamu marah kalo tahu aku dekat kamu ?."

"Hah maksudnya ?. La sebentar maksudnya apa ?."

Aku menghiraukan ucapanya dan terus berjalan sampai parkiran. "Mana jaketnya kak ?." tanyaku sambil menadahkan kedua tangan.

"Ah..iya ini." Dia langsung menyerahkan jaket yang dia bawa tadi, aku bisa menghirup samar aroma parfum yang digunakan. Nyaman rasanya.

Selama perjalanan menuju pantai kami tidak obrolan sama sekali terlampau sibuk dengan pikiran masing-masing. Perjalanannya tidak terlalu lama hanya satu jam kita sudah sampai di depan hamparan pasir putih.

Sudah lama aku tidak pergi ke pantai, segar sekali rasanya. Aku bisanya sering ke sini untuk menenangkan pikiranku dan aku tidak mengira aku akan datang dengannya. Aku langsung berjalan menuju bibir pantai merasa deru ombak menyapaku. Damai sekali, rasanya beban di pundakku hilang seketika. Saat aku menoleh ke samping dia sudah berdiri di sampingku. Matanya terpejam menikmati angin menerpa wajahnya. Aku pun melakukan hal yang sama, aku menutup mataku merasakan angin menerpa wajahku dan mendengarkan deru ombak yang menenangkan hati.

Namun ketenangan ini tidak bertahan lama, aku merasakan sedikit basah di wajahku. Dengan jahilnya dia memercikan air ke wajahku dengan menampilkan cengiran tidak berdosa.aku pun tidak hanya tinggal diam, aku membalas dengan menyipratkan air ke arahnya. Namun aku terlalu bersemangat aku meyipratkannya dengan jumlah yang lebih banyak. Melihatnya diam terkejut karena serangan dariku, aku langsung berlari menjauh darinya. Aku tidak mau berakhir basah kuyup karena dia mencoba membalas perbuatanku. Kami berlari mengejar satu sama lain berusaha menyipratkan air. Canda tawa melingkupi, aku sudah lupa kapan terakhir kami kami seperti ini. Karena lelah berlari aku berhenti sebentar aku kira dia akan berhenti sebentar namun dugaan ku salah, dia berhasil menangkapku dari belakang dan mengangkat serta memutarkan tubuhku.

Kami berdua tertawa terbahak-bahak, untung saja sore itu pantai lumayan sepi jadi kami tidak merasa malu karena berperilaku seperti ini. "Sudah yuk naik nanti kamu masuk angin." Ucapnya sambil menggandeng tanganku menuju tempat yang lebih tinggi. Aku mendudukan diriku disana sambil menikmati matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Sedangkan dia pergi sebentar entah mengambil apa. Tiba-tiba sebuah jaket sudah tersampir di pundakku dan dia menyodorkan segelas teh hangat.

"Diminum dulu biar hangat, badanmu sudah menggigil." Dia langsung menempatkan dirinya di sebelahku.

"Happy ?." 

"Happy!." Jawabku sambil menunjukan senyum lebar.

"Glad to hear that." Ucapnya sambil mengusak kepalaku.

Keheningan kembali menyelimuti kami, "Cantik ya." Ucapnya memecah keheningan.

"Banget." Jawabku tanpa mengalihkan pandanganku dari sana, matahari terbenam terlalu sayang untuk dilewatkan.

"Kamu suka ya kesini ?."

"Iya, dulu aku sering kesini kalo lagi sedih. Rasanya tenang terus bebanku rasanya keangkat semua kaya diseret sama ombak." Aku mulai mengalihkan pandanganku ke arahnya. Melihat wajahnya yang tersinari cahaya matahari membuatku tidak dapat mengalihkan pandanganku darinya.

"Besok kesini lagi sama aku mau ?." Aku hanya menatapnya sebentar dan tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalaku.

"La aku pengen ngomong sesuatu sama kamu."

"Apa?." Tanyaku penasaran.

"Aku mau minta maaf."

Aku terkejut mendengar perkataannya. "Buat apa kak ?."

"Buat semuanya. Aku minta maaf buat perlakuan aku selama ini yang mungkin menyakiti kamu, aku nyesel La. Kamu mau kan mulai lembaran baru sama aku ?." tanyanya meyakin kan.

"Maksudmu apa kak ?."

"Kita mulai yang baru, aku sama kamu. Ak telat nyadarnya La, ternyata selama ini aku suka sama kamu aku nggak mau jauh dari kamu. Setelah kamu mulai ngejauh dari aku dan kamu nolak aku buat ada di hidupmu, aku sedih banget La. Rasanya sakit banget. Aku ingin menjalani hidupku sama kamu. Aku sayang sama kamu."

Aku sungguh tidak dapat memproses semua kata-kata yang keluar dari mulutnya. "Sebentar kak aku nggak paham, kamu itu punya cewe. Kenapa kamu ngomong kaya gini sama aku ?."

"Aku nggak punya cewe La."

"Terus Kak Windy apa ? dia pacarmu kan, nggak seharusnya kamu ngomong gini kak gimana perasaan kak Windy nanti ?." ucapku.

"Aku bahkan nggak pernah ada hubungan sama dia La, aku nggak pernah ada apa-apa sama dia. La biarin aku memperbaiki semuanya ya, aku mohon."

"Aku nggak tau kak, semua ini terlalu tiba tiba buat aku. Jujur aja aku masih sakit sama semua yang kualami dan aku masih berjuang buat sembuh kak. Aku juga nggak paham sama mau mu itu apa, kamu bikin aku bingung. Dengan perlakuanmu ini semakin bikin aku bingung satu sisi aku suka kita bisa balik kaya dulu tapi aku ngga bisa bohong kalau aku masih ngerasa sakit karena perlakuan kamu juga. Aku Cuma bisa jadi nomor dua mu bukan yang pertama." Saat itu juga tangisku pecah, semua yang aku pendam jauh di dalam lubuk hatiku aku keluarkan di hadapannya.

"Aku bener bener minta maaf sama kamu aku janji sama kamu, aku bakal perbaiki semuanya. Kita bakal balik kaya kaya dulu." Air mata luruh menuruni pipinya, aku mencoba melisik kebohongan di matanya. Namun, nihil aku tidak menemukan kebohongan disana hanya ada rasa penyesalan yang aku lihat.

"Jangan janji kalau kamu nggak bisa nepatin kak." Ucapku lirih.

"Aku harus apa La, biar kamu bisa percaya sama aku ?."

"Kasih aku waktu kak, kasih aku waktu buat aku mikirin semua ini." Ucapku final.

"Aku bakal kasih kamu waktu tapi tolong jangan menghindar dari aku, biarin aku buktiin kalo aku bener-bener serius sama kamu."

Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya. "Ayo pulang kak Theo."

Kami pun berjalan meninggalkan pantai dengan rasa sedih menggerayangi hati kami. Aku mantapkan untuk memikirkan apa langkah yang akan aku ambil selanjutnya. Haruskah aku berhenti atau berjalan bersamanya. Sesampainya di kosan aku langsung berjalan masuk ke kamarku melupakan jaket yang masih apik bertengger di pundakku. Aku hanya butuh waktu untuk semua ini.

Kini dia mulai membuktikan perkataannya, kami kembali seperti dulu lagi seperti masalah itu tidak terjadi. Kami menjadi semakin dekat. Aku mencoba menerimanya dan memberikan kesempatan kedua kepadanya. Namun entah kenapa hatiku semakin bimbang. Apakah aku membuat langkah yang benar ? apakah kami dapat bersama dengan tembok tinggi yang menjulang di antara kami ? apakah kami akan berakhir bahagia ?. pertanyaan itu terus berputar dalam benakku. Aku takut.

Seperti saat ini kami sedang makan malam bersama di sebuah resto kecil. Dan pertanyaan itu kembali berputar dalam benakku.

"Kak aku ngerasa takut sama kita kedepannya."

"Maksudmu ?."

"Aku ngga tau apa aku udah bikin langkah yang benar ? apakah kita bisa bareng dengan tembok tinggi yang menjulang di antara kita? apakah kita bakal berakhir bahagia ? pertanyaan itu terus muncul kak dan itu bikin aku ragu sama kita."

"La, kita bakal bisa usahakan semua itu. Percaya sama aku." Ucapnya meyakinkan.

"Kamu yakin kak ?, kita beda kita nggak sama. Apakah kalo kita maksa bakal punya ending yang baik atau kita bakal berakhir nyakitin satu sama lain."

Keheningan kembali melingkupi kami, pertanyaan terakhirku itu sukses membungkam mulutnya. "Kita bakal usahain punya ending yang baik, aku bakal terus berdoa sama Tuhan agar kita bisa bahagia bareng."

Aku terkekeh dengan jawabannya. " Then who will make it kak ?, Tuhanmu atau Tuhanku ?."

Sakit rasanya tapi kami harus sadar dan tidak bisa egois. Mungkin jika kami memaksa bersama awalnya akan terasa bahagia namun kita tidak tau endingnya bisa saja lebih menyakitkan dan kami akan menyakiti satu sama lain lebih dalam.