3 Takdir Kehidupan Kembali

Pesta pertunangan itu dilaksanakan besar-besaran. Chelsea menelengkan kepala melihat deretan mobil mewah terparkir di halaman depan hotel. Menilik dari padatnya kendaraan, parkiran bawah tanah hotel pasti sudah penuh.

"Bertunangan saja sudah sebegini hebohnya." Chelsea meletakkan majalah yang dibacanya ke atas meja.

Pandangan gadis itu menyapu pemandangan dari dinding kaca lebar lobi hotel. Dia tidak berminat kembali ke kamar setelah menyantap makan malam di restoran hotel. Nasi liwet komplet. Harapan Chelsea, dia akan mendapat kue-kue tradisional sebagai pencuci mulut. Nyatanya, deretan pastri internasional justru disuguhkan pelayan untuk gadis itu.

 

"Empat ratus tamu undangan hanya untuk menyaksikan pertunangan sepasang kekasih?"

Satu bibir gadis itu tertarik ke belakang. Mencemooh. Otaknya memutar memori informasi yang diberikan Tomi. Set menu malam ini luar biasa. Premium. Karena para undangan juga merupakan orang-orang penting di kota Spirit of Java.

Hidangan pembuka berupa sosis Solo. Dilanjutkan dengan menu utama yaitu pepes ayam bumbu pedas dengan kemangi, ikan bawal goreng bumbu jangkep, dan krengsengan kambing. Semuanya bisa dipilih sesuai selera tamu.

Hidangan pencuci mulutnya mampu menerbitkan air liur Chelsea hanya dengan membayangkan saja. Keik rum dengan pandan fluid gel, kismis, serutan kelapa muda, dan es krim jahe. Semuanya ditata dalam visual yang cantik dan membangkitkan selera.

Chelsea menelan ludah. Jari-jemarinya sudah gatal ingin meraih bahan-bahan pastri. Lima tahun bergulat dengan berbagai resep memberi ekstase kesenangan sendiri untuk Chelsea. Membuat pastri adalah pelariannya dari berbagai hal.

Hingga setengah tahun lalu, dia memutuskan untuk mengizinkan dirinya beristirahat sejenak. Nyaris tidak mengambil jatah cuti, Chelsea akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari hotel tempatnya bekerja. Sebelum melaksanakan ide terbesarnya mendirikan toko kue, gadis itu ingin memanjakan diri sejenak dengan berwisata ke Indonesia.

Negara tetangga yang memberinya banyak kenangan.

Tak sadar gadis itu menghela napas panjang. Jarum arloji sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Jika pengaturan waktunya tepat, sekarang saatnya menghidangkan sajian pencuci mulut. Kemudian, beramah-tamah sejenak dengan tuan rumah sebelum para tamu pulang.

"Dan aku akan bertemu Tomi lagi." Dia tidak sadar menyuarakan pemikirannya.

Ada dorongan aneh untuk meninggalkan tempat itu. Chelsea pilih mengikuti kata hati. Disambarnya tas selempang dari kanvas warna biru pudar. Kakinya yang beralas sepatu kets tidak menimbulkan suara di lantai keramik. Saat berada di luar, embusan kencang angin disertai rintik air menyambut Chelsea.

"Hujan." Gadis itu menjulurkan tangan ke depan.

Titik-titik air dengan cepat berubah jadi butiran besar dan tajam. Hujan deras dengan cepat mengguyur kota Solo. Suara manusia segera tergantikan gemuruh alam.

"Kau mengingatkanku padanya." Chelsea masih menadahkan tangan menerima curahan air hujan. Pandangannya menerang ke langit gelap. Satu suara lirih lolos keluar dari bibirnya.

"Apa kabarmu sekarang, Glen?"

~O~

Kelahiran kembali.

Chelsea tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi padanya. Dia memejamkan mata, mengingat peristiwa bertahun-tahun silam saat dia berada di ujung tanduk kematian.

Ya, kematian.

Terlempar menghantam aspal setelah bertabrakan dengan truk adalah musibah terburuk kedua yang menimpanya selama eksistensi hidup Chelsea. Wanita itu masih menggigil saat teringat takdir yang membawanya kembali ke dunia.

Satu keajaiban dirinya kembali hidup. Dan semuanya berkat bantuan satu orang. Chelsea seketika menobatkannya sebagai malaikat kehidupannya.

Tangan wanita itu menyentuh dinding kaca dingin. Embusan napasnya sangat berat. Bertahun-tahun dia mencari sang penyelamat nyawanya. Sosok yang memberikannya kehidupan baru setelah hampir meniti jembatan kematian.

Namun, takdir masih belum mengizinkannya bertemu dengan orang itu. Chelsea memejamkan mata kembali. Rahangnya mengertak kencang.

"Di mana kau sebenarnya berada, Glen? Apa aku sudah terlambat menemukanmu?"

-O-

Seorang lelaki terlihat duduk gelisah di satu sisi ruang aula hotel. Suasana terasa sesak dan mencekik hingga dia melonggarkan ikatan dasi. Telinganya mendadak jadi sangat peka oleh keriuhan suara percakapan dan gending Jawa yang terdengar dari arah pemain karawitan.

Matanya melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kiri. Setengah sembilan malam. Kemudian, ekor matanya menangkap pergerakan para pelayan dalam balutan seragam batik berseliweran menurunkan hidangan pencuci mulut ke meja para tamu.

"Glen, gimana makanannya? Ini pesenan khusus Mita, loh."

Yang dipanggil hanya mengangguk kecil. "Enak, Tante."

"Kok, masih panggil Tante, to? Mama, panggil Mama gitu." Wanita berkebaya putih dengan badan berisi yang duduk di seberang Glen mengacungkan garpu kuenya.

Perkataan wanita itu memancing tawa di meja bundar yang berisi keluarga Sumitro dan Dipokusumo. Dua keluarga terpandang yang memiliki latar belakang sangat baik dan memutuskan akan berbesan melalui pernikahan putra-putri mereka.

Sumitro yang memiliki delapan belas perusahaan merupakan seorang keluarga pebisnis tekstil dan garmen besar di Solo. Keberhasilannya mengekspor batik tulis dan cap berskala besar menobatkannya menjadi keluarga crazy rich Solo.

Sementara calon besannya, Dipokusumo, masih memiliki hubungan erat dengan Kasunanan Surakarta. Penyatuan dua nama besar keluarga digadang-gadang akan meningkatkan popularitas Dipokusumo sebagai politikus mumpuni di ibu kota.

Glen menatap piring putih lebar berisi pencuci mulut yang menawan. Putih dan kuning cerah mendominasi isinya. Lelaki itu menelan ludah, merasa mual dengan makanan yang disajikan. Bukan karena tidak suka, melainkan lebih ke suasana mencekik yang membuatnya belingsatan.

Saat itulah pandangannya berserobok dengan sosok sang calon istri. Mita tengah menatapnya terang-terangan penuh pesona. Dan itu membuat Glen tak nyaman.

Dia butuh merokok.

Lelaki itu berdeham. Suaranya datar saat meminta izin pergi. "Permisi, semuanya. Saya ke belakang dulu."

"Jangan lama-lama, Glen." Wanita cantik lain yang memakai kebaya serupa dan berstatus sebagai ibu kandungnya menepuk siku sang putra.

Glen hanya mengangguk. Dia segera berjalan cepat keluar aula, tempat acara pertunangan dihelat. Namun, alih-alih berjalan ke toilet yang terletak di samping aula, lelaki itu justru melenggang ke lobi dan menghempaskan diri di salah satu kursi kayu yang kosong.

Pertunangan memuakkan.

Glen memaki dalam hati. Mata gelapnya melayang ke luar. Hujan sangat deras. Air seolah ditumpahkan dari langit. Suara derunya bahkan terdengar jelas dari dalam lobi.

Menyandang gelar putra tunggal Sumitro memberi beban besar di bahu Glen. Salah satunya adalah menjamin posisi keluarga Sumitro tetap berada di garis atas pengusaha tekstil sukses. Cara instan yang dipilih ayahnya hanyalah dengan menggabungkan diri pada keluarga terpandang lain.

Pernikahan politik.

Glen mengertakkan gigi hingga terasa sakit. Kehidupannya yang nyaman di Jakarta terpaksa harus tertunda karena urusan Solo ini. Kepala lelaki itu dipenuhi pikiran akan masa depannya kelak. Pertanyaan apakah harus memberi tahu kehidupan pribadinya ke sang calon istri terus berkutat dalam benak.

"Sialan!" Glen merutuk kesal.

Dia perlu mendinginkan hati—juga dirinya yang terus mengeras sejak berjam-jam lalu. Persetan dengan acara pertunangan yang belum selesai. Lelaki itu bangkit dan berderap keluar lobi.

Deru keras hujan makin terdengar kencang. Mata Glen menyipit. Air menciprat ke arahnya yang sudah berdiri merapat ke pintu masuk. Benar-benar deras, lelaki itu membatin. Suasananya cocok untuk menenangkan panas dalam diri. Namun, ada ponsel pintar berisi data-data penting yang tidak boleh basah kena hujan.

"Astaga! Aku beneran bisa mati berdiri, nih." Lelaki itu menghela napas panjang.

Wajahnya tertekuk muram. Tangannya terbungkus saku celana dengan benak sibuk berpikir. Apakah dia harus menerjang hujan dan kabur dengan mobilnya, atau kembali ke dalam dan mengorbankan paru-parunya susah bernapas akibat serangan panik.

"Glen?"

Lelaki itu membeku. Matanya mengerjap. Dia tidak langsung menoleh, melainkan memaku pandangan ke tanaman hias yang tengah berjuang dari gempuran hujan.

"Glen Defan Aditya Sumitro?" Suara itu memanggil seluruh nama lengkap lelaki yang mengenakan jas batik bergaya semi formal.

Perlahan, sangat perlahan, lelaki itu menoleh. Jika ada pilihan untuk menghilang dari tempatnya berdiri sekarang, Glen pasti sudah lakukan. Hanya saja, semesta terlalu lucu saat memainkan candaan.

"Ini ... benar dirimu?" Suara feminin itu bernada tidak percaya.

Ujung-ujung bibir lelaki itu berkedut. Dia butuh menarik napas panjang. Senyum terpaksa tercetak di raut wajah khas Indonesianya.

"Chelsea, apa yang kamu lakukan di sini?"

~O~

avataravatar
Next chapter