webnovel

Tak Ingin Mencintaimu Lagi

Biru adalah nama seorang gadis. Dia diberikan nama itu karena warna matanya yang biru, tidak sama dengan mata orang lain dikotanya. Suatu hari, pangeran kedua yang rupawan datang ke perguruan bela diri tempat dia tinggal untuk merekrut beberapa prajurit spesial. Biru jatuh cinta pada pandangan pertama, dia bertekad untuk bisa terpilih, dan dia berhasil. Biru yang dibutakan oleh cinta rela melakukan apa saja yang diinginkan oleh pangeran agar dirinya bisa dicintai, namun akhirnya dirinya malah mati ditangan pangeran kedua. Setelah mati Biru ternyata kembali kemasa beberapa tahun sebelum dia bertemu pangeran, di hidupnya kali ini Biru bertekad tak akan mencintai pangeran kedua lagi.

salsa_billa · History
Not enough ratings
71 Chs

Sampah

Keesokan harinya bengkak di wajah Biru sudah kempes, bahkan lebam yang dialaminya juga sudah memudar. Hanya masih tersisa sedikit warna merah di beberapa bagian wajahnya.

"Obat ini sungguh mujarap. Aku harus minta pada guru untuk mengajariku membuatnya nanti, pasti akan berguna untukku di masa depan".

Biru harus menunda rencana itu hari ini, karena dia harus segera pergi ke rumah kosong untuk mengurus anggurnya. Dia takut semakin lama ditunda maka semakin habis anggurnya, entah karena busuk atau dimakan oleh hewan pengerat.

Biru juga berpikir untuk membuat penutup sumur hari ini. Dia merasa kayu dari pohon yang tak sengaja dirobohkannya terakhir kali cukup bagus. Kayu pohon itu kuat dan kokoh, pasti tidak mudah lapuk. Setidaknya dalam beberapa tahun kedepan.

Pohon itu cukup besar, masih ada banyak kayu yang tersisa. Biru berencana ingin membuat peti atau kotak penyimpana dari kayu itu, untuk mengamankan cadangan makanan yang akan segera di kumpulkannya.

Sayangnya dia tidak bisa membuat kotak itu sendiri, jadi terpaksa dia harus membawanya pada tukang kayu, dan itu harus membayar.

Memikirkan uang yang harus dikeluarkannya segera membuat hatinya terasa sakit. Belum lagi peralatan pertambangan yang harus dibelinya. Sepertinya uang tabungannya selama ini akan habis dalam waktu yang singkat.

Biru menghela nafas panjang lebar. Tapi setelah memikirkan permata yang akan segera dia dapatkan, membuatnya kembali bersemangat.

Sebelum keluar kamar, Biru memperhatikan wajahnya di cermin. Apa yang akan di katakan orang-orang kalau dia keluar asrama dengan penampilan seperti ini?, mereka mungkin akan mentertawakannya, atau lebih parah lagi.

Gadis itu mencari-cari di dalam lemarinya sebentar, dan menemukan sehelai sapu tangan berwarna hitam bersulam benang warna perak. Benda ini adalah pemberian Nyonya Maina, istri Guru Yon.

Sebenarnya wanita itu memberikan beberapa sapu tangan untuk Biru dalam berbagai warna. Sapu tangan-sapu tangan ini adalah hasil percobaan menyulam dari wanita itu, setelah berhasil membuatnya sekali dia jadi kecanduan dan membuat lebih banyak sapu tangan, sebagian benda itu diberikan kepada suami dan anaknya, dan sisanya diberikan kepada Biru.

Biru merasa dari semua sapu tangan, yang berwarna hitam ini yang paling istimewa. Mungkin karena kombinasi warna kain dan benang sulamnya yang sesuai seleranya, atau mungkin karena kain yang ini jauh lebih halus dari kain yang lain.

Biru mengikatkan sapu tangan itu menutupi sebagian wajahnya, agar bekas lukanya tidak kelihatan.

Setelah melihat penampilannya di cermin, Biru menganggap penampilannya cukup lumayan. Dia merasa jadi seperti anak bangsawan yang sedang menyamar.

Di desa maupun di kota, tidak jarang menjumpai orang yang sedang berjalan-jalan dengan penutup wajah seperti Biru.

Sebagian untuk melindungi hidung mereka dari debu, sebagian karena tidak suka dengan bau busuk yang ada di pasar tradisional. Ada yang memakai cadar hanya untuk bergaya, dan sebagian lagi untuk menyembunyikan identitas mereka. Untuk yang terakhir ini biasanya dilakukan oleh anak bangsawan yang suka keluyuran diam-diam.

Apa pun alasannya, yang jelas hanya orang yang kaya saja yang biasa melakukannya.

"Hm.. tidak buruk. Baiklah sebaiknya aku pergi sekarang, sebelum hari semakin siang"

Kata gadis itu sambil melangkah keluar dari ruangan.

***

Sore harinya, di hari yang sama.

Biru sedang duduk dengan wajah jelek di atas sebuah batu di tepi jalan. Tak henti-hentinya gadis itu menghela nafas.

Dengan lemas dia mengangkat kantong uangnya yang kempes. Kantong itu tadinya setengah penuh, hasil dari mengumpulkan uang kerjanya selama setahun, tapi sekarang habis untuk membeli peralatan dan membayar biaya tukang kayu.

"Sekarang aku miskin!" ratapnya.

Biru menggeleng. Tidak, sebelumnya dia memang miskin, tapi sekarang jauh lebih buruk lagi.

Hatinya sakit memikirkan uang hasil kerja kerasnya lenyap dalam sehari. Dia sungguh tak habis pikir kalau biaya tukang kayu bisa semahal itu, padahal kayunya dia yang bawa sendiri.

"Sejak kapan tukang kayu belajar merampok?, menyebalkan".

Dia berpikir, sepertinya mudah sekali bagi tukang kayu untuk mendapatkan banyak uang. Sehingga dia mempertimbangkan untuk ganti profesi sebagai tukang kayu.

Biru bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kembali ke asrama. Ini sudah sore dan perutnya sudah mulai keroncongan, Biru tidak boleh sampai melewatkan waktu makan malam. Saat ini dia hanya bisa mengandalkan makanan dari asrama untuk bertahan hidup, karena sekarang dia tidak sanggup lagi membeli makanan. Dia sedang bangkrut.

Baru saja Biru berbelok ke hutan kecil untuk mempersingkat perjalanan, dia mendengar suara seorang gadis berteriak.

"Tolong..., tolong akh"

Biru terkejut dengan suara yang dia dengar.

"I_ itu bukan suara hantu kan?" katanya dengan suara gemetar.

Waktu kecil istri guru selalu mengatakan agar tidak keluar rumah saat sore hari, karena pada saat ini banyak hantu yang akan keluar. Dulu dia sangat percaya pada cerita ini, sehingga dia selalu bersembunyi di rumah sejak sebelum sore tiba.

Tapi seiring bertambahnya umur Biru jadi ragu, lama-lama dia jadi yakin kalau Guru Maina mengatakan hal ini cuma supaya dirinya cepat pulang kerumah, dan tidak keluyuran setelah sore tiba.

"Jangan-jangan apa yang di katakan Guru Mai itu benar"

"Tidak, tidak. Jangan terlalu cepat ketakutan, sebaiknya ku cari dulu asal suara itu, siapa tahu ada orang yang sedang kesulitan"

Biru berlari mendekati asal suara teriakan. Ketika jaraknya sudah semakin dekat, dia melihat seorang wanita muda di tarik oleh seorang pria gemuk di balik semak-semak.

Wanita itu terus meronta dan mendorong pria berkulit gelap itu agar menjauh, tapi pria itu lebih kuat darinya sehingga apa yang di lakukannya tidak terlalu berpengaruh.

"Le lepaskan aku!!" teriaknya.

"Diam kau bodoh" pria itu menampar gadis itu dengan keras. Karena kesakitan gadis itu berhenti bergerak dan mulai menangis.

Melihat gadis di depannya berhenti berontak, pria itu meraih pakaian gadis itu. Ketika tangannya akan menyentuh kain itu tiba-tiba sebuah batu melayang tepat mengenai mata kirinya.

Orang itu berteriak sambil memegangi sebelah matanya, pada saat itu dia sudah terjatuh kebelakang bersamaan dengan lemparan batu.

Gadis yang sedang menangis tiba-tiba terdiam. Segera dia bangun dari tanah dan bersembunyi di balik pohon.

"Brengsek!, siapa orang kurang ajar yang berani melempariku?" teriaknya.

"Aku!" sahut Biru. Dia berjalan mendekati pria itu, sementara tangan kanannya sedang melempar-lemparkan batu berukuran kecil ke telapak tangannya.

"Bocah ingusan sialan, beraninya mengganggu urusan orang dewasa. Apa kau tahu aku ini siapa ha?"

Biru menjawab pertanyaan orang itu dengan melemparkan batu yang sedang ia mainkan. Batu itu tepat mengenai pelipis pria itu, dan meninggalkan bekas merah lalu membengkak.

"Aku tidak tahu, dan aku tidak perduli. Bagiku pria yang memperlakukan wanita seperti ini adalah sampah" kata Biru.

"Dan aku paling benci sampah sejenis dirimu"