webnovel

01. Murid Pindahan

Waktu istirahat ditandai dengan suara bel yang berdentang. Pandanganku ke samping kiri melewati jendela, memperhatikan murid lain mulai berkeliaran. Seharusnya aku segera memakan bekalku, tetapi aku terlalu ragu untuk melakukannya.

Siswi pindahan itu menempati tempat duduk di samping kananku yang kosong. Dan yang paling horor, sedari tadi dia menatapku dengan pandangan yang penasaran.

   "Di-dia kenapa? Apakah terlalu aneh jika seorang murid membawa kucing ke sekolah?"

Ketika aku memikirkannya. Kolbi, keberadaan kucing tersebut hilang dari pengawasanku. Tetapi biarlah, kucing itu pintar dan akan kembali ke tuannya meskipun pergi berhari-hari. Karena apa? Mungkin saja tempat kembalinya adalah rumahku atau diriku.

Aku menoleh ke samping kanan, perempuan itu masih saja menatapku. Aku akui, dia memiliki standar kecantikan yang membuat para laki-laki tergoda oleh fisiknya. Untukku? Itu berlaku.

   "Kenapa kau menatapku sedari tadi? Apakah ada yang ingin kau tanyakan padaku?"

Tanyaku padanya, dia menganggukkan kepala lalu memberiku buku catatan kecil miliknya. Membaca tulisan rapi yang ia tulis pada baris halaman tipis. Sudah kuduga, dia menanyakan alasanku kenapa aku membawa kucing ke sekolah.

   "Biasa saja, aku hanya membawa kucing peliharaanku jalan-jalan. Lagipula, akan kuhantam wajah si pelaku jika ada yang menyakiti kucingku."

Jawabku seraya mengembalikan catatan kecil yang ia berikan padaku. Entah kenapa, dia tidak takut malah terlihat semakin tertarik denganku. Tidak salah lagi, sosoknya adalah sosok yang pernah aku lihat di masa lalu.

Dia mulai menulis lagi, memberikan catatan kecilnya padaku. Untuk kali ini, dia menanyakan namaku kali ini. Sekarang aku mengerti dengan pola gerakan yang ia tunjukkan kepadaku.

   "Benar juga, guru yang tadi juga lupa mengabsen. Namaku terdengar jelek, namaku-"

   "Panda, Kolbi berkeliaran di kelasku."

Ketika aku ingin memberitahu namaku padanya. Temanku yang tadi pagi, datang ke kelasku dengan Kolbi yang ada di pangkuan kedua tangannya. Ia berjalan menghampiriku menggunakan seragam olahraga.

   "Memangnya jadwalmu setelah ini olahraga?"

Tanyaku yang melihat sosoknya mengenakan seragan olahraga berwarna merah. Ia menganggukkan kepala lalu mengangkat Kolbi. Karena Kolbi sudah cukup lama dipangku olehnya, perasaan tidak nyaman mulai muncul dengan menyentuh pipinya.

   "Begitulah, ngomong-ngomong ... ternyata kau sudah punya pacar?"

Ucapan yang ia lontarkan terdengar santai namun menyeramkan. Aku langsung membantahnya dengan rasa malu yang terlihat jelas. Begitu pula dengan siswi pindahan itu, ia menunjukkan reaksi penolakan melalui tulisan tangan di buku catatan.

Murid pindahan itu memberikan catatannya kepada temanku. Kolbi yang ada di pangkuannya, berinisiatif untuk melompat ke atas bangku milikku. Dia mulai membaca buku catatan kecil itu dengan serius.

   "Jadi ... kau itu murid pindahan. Namamu Asuhara Kifune, nama yang bagus. Ngomong-ngomong namaku Senke Fukuhara, panggil saja namaku sesukamu."

Ucap Senke seraya mengembalikan catatan kecil itu kepada Kifune. Dia mulai menulis lagi, memberikannya lagi kepada Senke agar dibaca olehnya.

   "Oh ... Panda itu adalah panggilan untuknya."

Senke menunjukku dengan jari telunjuk tangan kiri. Apa boleh buat, aku tidak bisa menyangkalnya. Nama panggilanku berakhir dengan nama hewan dari Cina, yaitu Panda.

   "Sudah dulu, aku ada jadwal olahraga. Sampai jumpa Kifune, Panda."

Dia pergi meninggalkan kami berdua. Kifune mulai menatap kedua mataku, ia menuliskan apa yang ia pikirkan pada lembaran kertas yang ada di catatan kecil. Aku hanya bisa menunggunya selesai mencatat, ia pun memberikan catatan kecilnya padaku.

   "Senang bertemu lagi denganmu, aku lupa dengan namamu. Padahal, dulu sekali kita memiliki hubungan berupa tetangga. Tenang saja, hari ini aku pindah ke kota ini dan tinggal cukup jauh dari rumah yang dulu."

Aku membacanya dalam hati. Tidak salah lagi, Asuhara Kifune adalah tetanggaku yang pernah tinggal di kota ini. Kudengar, dia pindah karena keluarganya memiliki urusan dinas yang penting sampai-sampai pindah rumah.

   "Apakah sejak kecil, kau memang tidak bisa mengatakan sepatah kata pun? Maaf jika pertanyaanku menyinggungmu."

Tanyaku padanya seraya mengembalikan catatan kecil itu. Kifune menggelengkan kepalanya, dia mulai menulis jawaban dari pertanyaan yang aku lontarkan padanya. Dia memberiku catatan kecil itu dengan tulisan cukup rapi.

   "Ya, aku sendiri ingin mendengar suaraku."

* * * * *

   "Panda ... beruang ... kukang ... koala ... jomblo, bangun woi!"

Suara nyaring menggema di telinga sebelah kanan. Tanpa kusadari, hari telah berlalu dengan suasana sore hangat yang membuatku kebingungan. Mantap, aku tertidur di pelajaran fisika.

   "Ngomong-ngomong ... kenapa kau belum pulang?"

   "Mana mungkin, aku harus menunggu pacarku yang sedang mengikuti kegiatan sekolah. Punya pacar anggota Osis itu ... melelahkan ya."

   "Begitukah, aku iri."

Ucapku dengan datar tanpa ada niat apapun. Mengambil tas milikku yang ada di samping bangku. Baru saja kusadari, Kolbi hilang tanpa meninggalkan bekas keberadaannya.

   "Di kelas ini tidak ada poop-nya, baunya tidak ada. Kalau begitu ... "

Aku segera pergi seraya mengenakan tas gendong ke punggungku. Menggunakan semua lima indra sampai batas maksimal, namun tanda-tanda keberadaan Kolbi tidak terasa.

   "Tempat yang paling disukainya adalah ... "

Tanpa pikir panjang lagi, aku segera pergi ke ruangan klub sastra. Biasanya tempat itu didatangi oleh Kolbi ketika ingin tidur panjang. Ketika sampai, aku menggeser pintu klub sastra dan hanya mendapati Ketua Klub Sastra.

Sosok perempuan berambut hitam  panjang sedikit cokelat, tubuh yang pas dengan ukuran seragamnya. Memakai kacamata bingkai biru, di atas meja hanya ada secarik kertas dengan bolpoin yang ia pegang.

Sosoknya adalah Senior yang ceria dan kalem. Aku berteman dengannya juga sebuah kebetulan, hanya konflik kecil yang kuselesaikan ketika setengah bulan yang lalu.

   "Oh!? Kau mencari Kolbi? Dia tidak datang hari ini. Tetapi, aku melihatnya bersama dengan murid yang baru aku temui di sekolah."

   "Ciri-cirinya!?"

   "Imut dan cantik."

   "Yang benar saja Senpai!? Ngomong-ngomong ... apakah ada yang kau ingat selain itu?"

   "Entahlah, aku lupa lagi."

Ketua Klub Sastra itu menunjukkan senyuman kecilnya. Dia tidak berbohong, senyuman dan perasaan yang ia tunjukkan padaku bukanlah suatu kebohongan. Lagipula, mana mungkin dia mau berbohong ketika orang yang dihadapinya adalah diriku.

   "Terima kasih Ketua. Lekaslah pulang, jangan terlalu larut karena aku tidak ada di mana pun."

Ucapku seraya berbalik badan lalu melangkahkan kaki ke luar ruangan klub sastra. Aku menutupnya dengan tangan kiri tanpa berbalik badan. Memutar otak dengan menggunakan pikiran yang rasional disertai deduksi.

Jam terakhir adalah fisika. Dua jam pelajaran waktu yang lama, satu jam kupakai untuk tidur. Keberadaan Kolbi hilang ketika pengawasanku padanya melemah.

Seharusnya, aku titip dia dulu di ruangan klub sastra. Jika seperti ini, kemungkinan dia dibawa oleh orang yang disebut-sebut oleh Ketua Sastra. Aku melupakan Senke, terfokus pada kucing hilang karena aku yang lengah.

Berlari di lorong yang kosong. Menuruni tangga dengan cepat dan dilanjutkan dengan berlari lagi menuju lantai bawah. Rasa lelah ini tidak terasa, ditutupi dengan adrenalin dan kekhawatiran yang hanya terfokus pada satu permasalahan.

Ketika berada di depan pintu masuk sekolah. Sosok perempuan yang kupandang, di bawah kakinya terdapat seekor kucing yang mengusap-usap kepalanya ke kaki perempuan tersebut.

   "Asuhara Kifune ... Kolbi?"

Gumamku seraya mengatur napas yang membuatku sesak dan sedikit berkeringat. Keberadaanku diketahui oleh Kifune, dia menatapku seolah-olah aku terbangun dari mimpi yang panjang.

   "Kolbi, kemarilah. Kita harus pulang."

Suaraku tersampaikan. Kolbi kembali kepadaku dengan langkah kecilnya. Kifune, dia terlihat ingin mengatakan sesuatu padaku.

   "Ada apa?"

Tanyaku seraya memangku Kolbi dengan dua tangan. Aku membiarkannya masuk ke dalam tas yang terbuka. Akhirnya, kekhawatiranku sirna setelah berlarian di lorong kosong.

Kifune menghampiriku seraya menulis sesuatu pada catatan kecilnya. Dia menunjukkannya padaku, apa yang ingin disampaikan olehnya cukup sederhana. Kucing milikmu lucu dan menggemaskan, itulah yang ingin disampaikan kepadaku.

   "Terima kasih atas pujiannya. Ngomong-ngomong lekaslah pulang, akan berbahaya jika seorang perempuan cantik sepertimu sendirian di hari yang larut seperti ini."

Ahh ... tanpa kusadari, sifatku yang blak-blakan terucap semua sudah yang kupikirkan. Ketika aku menatap wajah Kifune, dia terlihat kebingungan dengan pipi yang merona.

Aku menepuk jidatku, baru kali ini aku melihat perempuan salah tingkah yang seimut ini dalam hidupku. Terima kasih Kolbi, kau akan mendapatkan jatah lebih banyak dari Hanoman.

Kifune memberikanku catatannya. Meski kubaca apa yang ia tulis, baru kali ini ada yang berterus terang. Maukah kau menjadi temanku? Itulah yang ingin disampaikannya kepadaku.

Tanpa pikir panjang. Aku tertawa dalam kesunyian yang memecah keheningan. Entah kenapa, pandanganku berwarna. Puas dengan tertawa, kulanjutkan dengan menunjukkan senyuman kecilku padanya.

   "Tentu saja, jika kau ingin seperti itu. Kifune."

To Be Continue .....

Jika anda suka dengan cerita ini. Monggo komen dan vote. Jika bisa bantu share cerita ini, akan saya usahakan update secepatnya.

Terima kasih, sekian ....