1 Berubah (Caramel)

Aku memandangi layar ponsel yang ada di tanganku. Dengan perasaan penuh harap aku masih menunggu panggilan telepon darinya.

Namun, hingga larut malam tak ada tanda-tanda ponselku akan berbunyi. Mungkin dia sedang sibuk, sebaiknya aku tidur saja. Aku menarik selimut sampai menutupi wajahku.

Tiba-tiba ponselku berdiring, ini adalah pertanda ada SMS masuk, dengan sigap kuraih ponsel yang berada tak jauh dariku, tertulis satu pesan masuk. Dengan gerakan secepat kilat aku langsung membukanya.

WOW! DISCON 55% untuk pembelian paket flash 6 GB + BONUS 60 menit CUMA Rp 60rb untuk 30hr di *00000# BURUAN!. Promo berbatas waktu. S&K berlaku.

Huft, aku menghela nafas kecewa. Aku meletakkan ponselku dan mulai mencoba memejamkan mata walaupun hingga jam 00.00 mataku masih nyalang terang layaknya lampu LED bergaransi sepuluh tahun.

Sebaiknya aku membaca buku pikirku, biasanya aku sering mengantuk saat membaca buku. Kuraih buku dengan judul Fisika Quantum dengan jumlah halaman lebih dari seribu halaman. Dan benar saja setelah membaca beberapa paragraf kantukku akhirnya menghampiri dan tampa sadar aku sudah terlelap.

Aku merasa cahaya silau menerpa wajahku terasa sedikit agak panas. Pelan-pelan membuka mata dan langsung berhadapan dengan sumber cahaya.

Sudah pagi ternyata, matahari juga sudah menampakkan dirinya dan dengan kasarnya membangunkan tidurku. Tapi, tunggu dulu! Kalau mataharinya sudah sangat cantik seperti ini itu tandanya aku KESIAAAAAN.

Dengan langkah seribu aku langsung bergegas ke kamar mandi. Hari ini aku ada kelas pukul sembilan pagi, dan sialnya itu tiga puluh menit lagi dari sekarang.

Gara-gara tidak bisa tidur tadi malam aku jadi kesiangan dan tentu saja sholat subuhku ketinggalan lagi. Ya, seringkali aku kesiangan dan kelupaan sholat shubuh dengan berbagai sebab dan alasan, maafkan hambaMu yang tidak tahu diri ini ya Allah.

Aku sampai di parkiran kampus tepat pukul sembilan lewat lima menit. Layaknya atlet cabang atletik aku berlari dan melompat tampa menghiraukan mahasiswa lain yang menatapku aneh.

Aku menghentikan langkahku saat melihat Pak Darma sedang mengobrol dengan Bu Sri di lorong, aku menghela nafas lega, ini berarti aku belum terlambat.

Aku menutupi wajahku melewati Pak Darma dan Bu Sri. Akhirnya aku sampai kelas lebih dulu dari pada Pak Darma. Untung saja ada Bu Sri, kalau tidak aku bisa diusir kalau masuk kelas setelah Pak Darma masuk kelas, aku harus berterima kasih kepada Bu Sri.

Empat SKS dengan Pak Darma akhirnya berakhir, walaupun sebenarnya aku tidak mengerti satupun apa yang beliau jelaskan. Aku sangat mengantuk, selama pembelajaran aku hanya menatap melongo kedepan dengan menggunakan sisa-sisa energi yang ada, untung saja aku tidak ketiduran.

Semua mahasiswa keluar kelas termasuk aku karena kelas sudah berakhir. Untungnya hari ini hanya ada satu mata kuliah dan aku bisa langsung pulang. Di perjalanan ke parkiran aku bertemu lagi dengan Bu Sri di lorong. Aku menyalaminya.

“Terima kasih Bu,” ucapku sambil mencium tangan Bu Sri.

“Eh,” ucap Bu Sri heran.

“Em, maksudnya, Assalamu’alaikum Bu dan terima kasih atas ilmu yang Ibu berikan selama ini,” aku meralat ucapanku, saking ngantuknya aku sampai ngelantur.

Come on Kara, wake up, gumamku sambil menepuk-nepuk wajahku. Aku kembali melanjutkan perjalanan ke parkiran untuk pulang.

Aku adalah salah satu mahasiswa di salah satu universitas di Jambi. Karena tempat tinggalku jauh dari kampus, aku terpaksa hidup sendiri di perantauan dan tinggal di rumah kos-kosan.

Jauh dari orang tua kurasakan hidupku agak sedikit bebas, karena tidak ada yang melarangku pergi kemanapun. Dan bahkan jika ibuku menelepon dan menanyakan keberadaanku, aku sering kali berbohong karena aku tidak bisa mengatakan sejujurnya pada ibuku dan takut jika ibuku khawatir.

Aku takut jika ibuku melarang dan tidak suka dengan gaya hidupku yang baru, yang menurutku masih dibatas kewajaran.

Sejak kuliahlah aku mengenal Ardhito Vornandes, laki-laki yang menjadi pacarku saat ini. Seorang senior di kampusku walaupun kami dari fakultas yang berbeda.

Awalnya dia sangat baik padaku, memperhatikanku, dan bahkan membantuku mengerjakan tugas kuliahku. Namun, makin lama sikapnya makin berubah padaku.

Dia sudah jarang menghubungi dan menemuiku. Padahal dahulu hampir tiap hari dia menemuiku mengantarku ke kampus dan menjemputku pulang. Dia selalu menghubungiku dan hampir tiap malam dia meneleponku.

Aku mulai bertanya-tanya apa salahku yang membuat sikapnya berubah. Saat aku menanyakan perihal sikapnya yang tidak perhatian lagi padaku, alasannya dia sedang menyusun tugas akhir, aku pun berusaha mengerti.

Perubahan sikapnya mulai terasa amat menyakitkan bagiku. Dia mulai menunjukkan sifat kasarnya. Seperti tiga hari yang lalu, saat kami baru pulang dari Kerinci setelah libur semester berakhir.

Aku dan Dito sama-sama berasal dari Kerinci. Yaitu salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Jambi. Karena berasal dari daerah yang sama kami memang sering pulang bersama.

Kami pulang dengan naik bis, butuh waktu sehari menggunakan bis dari Kerinci ke Kota Jambi begitupun sebaliknya. Di perjalanan kami berhenti di rumah makan bersama penumpang yang lain, awalnya semua baik-baik saja.

“Sayang lihat tuh,” ujarku mengarahkan pandangan pada seorang pria yang sedang makan sendirian.

“Pasti dia jomblo,” ujarku tertawa dan diikuti Dito yang juga ikut mentertawakan pria itu.

“Eh tapi dia itu duduk disebelahku di mobil Yang,” ujar Dito.

“Oh iya, semoga aja dia nggak sadar kita ngetawain dia,” ujarku dengan perasaan agak menyesal.

Setelah makan Dito mulai marah padaku karena aku tidak berinisiatif untuk membayar makanan. Dia mengeluh padaku karena selalu dia yang membayar makanan.

Aku agak kaget dengan sikap Dito, biasanya memang aku tidak pernah membayar dan selalu dia yang membayar, karena kupikir memang laki-lakilah yang harus membayar.

Sebenarnya Dito adalah pacar pertamaku, aku belum pernah pacaran sebelumnya. Karena itulah terkadang aku agak bingung bagaimana harus bersikap.

Aku hanya menuruti dan mengikuti apa yang dikatakan Dito. Dulu Dito pernah mengatakan begini, saat laki-laki mengajak perempuan bersamanya dia tidak boleh membiarkan perempuan itu kelaparan.

Sejak saat itu aku selalu membiarkan Dito membayar makananku. Entah kenapa sekarang dia marah padaku dan mengatakan bahwa aku yang harus membayar jika ia ingin makan nanti.

Sampai di mobil aku tidak bisa menghentikan air mataku yang menetes begitu saja.

Aku pura-pura menatap keluar melalui kaca mobil dan berusaha menghapus air mataku karena malu jika ada penumpang lain yang melihatku menangis.

Namun saat aku berusaha menghapus air mataku, air mataku malah tidak ingin berhenti keluar.

Mobil berhenti di sebuah mini market, Dito langsung turun dan masuk ke dalam mini market. Aku pun mengikutinya karena aku harus membayar barang yang dia beli.

Setelah membeli beberapa barang aku dan Dito kembali masuk kedalam mobil. Aku sengaja menundukkan wajahku, agar penumpang yang lain tidak melihat mataku yang sembab.

Sampai di mobil aku kembali menangis karena Dito benar-benar memintaku membayar barang yang dibelinya sebagai ganti rugi dia telah membayar makananku tadi.

Sepanjang perjalanan aku tidak berhenti menangis. Apa lagi beberapa kali Dito meminta berhenti di mini market untuk membeli sesuatu dan lagi-lagi aku yang harus membayarnya.

Hampir sampai di tempat tujuan, aku harus pisah mobil dengan Dito karena arah tujuan kami agak berbeda.

Aku dan beberapa penumpang yang lain dipindahkan ke mobil yang lain. Termasuk pria yang aku tertawakan tadi sekarang duduk di sebelahku.

“Kuliah ya Dek?” tanya pria itu.

“Iya,” jawabku singkat.

“Kakak, kuliah atau kerja di Jambi?” tambahku lagi, karena kurasa kurang sopan jika aku tidak balik menanyainya.

“Ada urusan dikit,” jawabnya.

Aku pun kembali menatap ke arah depan.

Tak lama kemudian aku sampai di tempat tinggalku. Dan sejak kepulanganku dan Dito dari Kerinci saat itu, Dito tidak pernah lagi menemuiku.

avataravatar
Next chapter