webnovel

Move On

"Dasar wanita tidak berguna! Seharusnya aku tidak pernah menikahimu!"

Dor... Dor...!

Dua buah peluru melesat dengan kecepatan cahaya dan menembus tubuh seseorang, tepat pada jantungnya. Seketika darah mengalir begitu deras. Hingga tak mampu lagi ditahan oleh baju berbahan tebal yang ia gunakan.

"Ibu!!!!!!"

Teriak seorang bocah perempuan berusia 5 tahun dengan sangat histeris. Ia menangis kencang dengan tatapan mata yang begitu tajam pada laki-laki yang masih memegang Beretta 92 dengan tangan yang gemetar.

***

"Ibu!!!!"

Seorang wanita masuk ke kamar. Ia mendekat ke sisi ranjang. Dilihatnya seorang gadis berusia 18 tahun tertidur dengan gelisah. Butiran keringat memenuhi wajahnya yang cantik. Matanya terpejam rapat. Bahkan keningnya memberikan gerutan kulit seolah dia menahan sesuatu. Kata yang keluar dari gadis itu adalah "Ibu...."

"Ana, bangunlah... Ana...," ucap wanita itu sambil menggoyangkan tubuhnya.

Ana terbangun dari mimpinya. Ia langsung menyandarkan punggungnya pada headboard. Nafasnya tersengal. Pandangannya terlihat begitu sayu. Air mata tak henti mengalir melewati pipinya.

Wanita tadi memberikan minum air putih pada Ana. Membantu gadis itu meminumnya. Tangannya yang lain mengusap rambut gadis itu seolah berusaha menenangkan.

"Ana...," panggil wanita itu dengan suara lembut.

Ana menghentikan minumnya. Ia menatap lekat wanita di sampingnya. "Tante...," panggilnya dengan nada suara paruh.

Tante Mila-Adik kandung dari ibu Ana- memeluk Ana begitu erat. Ia sangat memahami trauma yang dialami oleh keponakannya itu.

"Besok kita ke dokter Ratna lagi?"

Ana menggelengkan kepalanya. Masih terdengar isakan dari suaranya yang serak.

"Ya sudah, kamu tidur lagi ya. Ini masih terlalu awal kalau kamu bangun sekarang."

Tante Mila melepas pelukannya. Ia menghapus sisa air mata yang ada di wajah Ana.

Ana membaringkan lagi tubuhnya diatas ranjang tersebut. Tak lama matanya sudah terpejam penuh ketenangan.

Tante Mila mengusap kepala Ana penuh kasih sayang. Ia menarik selimut untuk Ana dan meninggalkan kamar itu. Tak lupa ia mematikan lampu kamar.

***

"Kamu yakin tidak ingin Tante antar ke tempat dokter Ratna?"

Tante Mila memasukkan sendok berisi makanan ke mulutnya untuk kesekian kali. Ana tersenyum sambil meletakkan sendoknya.

"Tidak perlu, Tante. Aku bisa sendiri. Lagipula ada yang ingin aku tanyakan pada Dokter Ratna."

"Baiklah. Nanti kabari Tante ya kalau kamu sudah pulang."

Ana menganggukkan kepalanya dengan mantap. Kemudian ia berdiri dan mengambil piringnya. Ia membawa itu ke tempat cuci piring. Selanjutnya ia menghampiri Tante Mila.

"Tante, aku berangkat sekarang ya," pamitnya sembari mencium punggung tangan Tante Mila.

"Iya, sayang. Hari ini ujian terakhir kan? Semangat ya...."

Ana menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia bergegas meninggalkan rumah setelah mengambil ranselnya.

***

Ana, seorang siswa SMA yang kini sudah berada di kelas 12. Saat ini baru selesai menjalani ujian akhir kelulusan. Ia tidak memiliki satu orangpun teman dekat. Ia juga enggan terlibat hubungan dengan orang lain. Bahkan di dalam smartphone-nya hanya ada dua nomor telpon, yaitu Tante Mila dan Dokter Ratna yang merupakan dokter pribadinya.

Ana menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah yang santai. Ia mengabaikan godaan beberapa petugas laki-laki rumah sakit itu. Telinganya telah terbuntu dengan headset bluetooth yang memainkan lagu band terkenal-CNBLUE.

Ia menarik ganggang pintu ketika tiba di sebuah ruangan. Ia membukanya perlahan.

Seorang wanita berpakaian dokter tersenyum ramah padanya.

"Hai, Ana. Ayo masuk," ucapnya ramah.

Ana masuk ke ruangan itu sambil melepaskan headsetnya. Kemudian ia duduk di kursi depan dokter wanita itu. Ana melihat meja dokter itu yang nampak bersih dibandingkan biasanya.

Dokter Ratna mengangkat sebelah alisnya. Berusaha mencari tahu apa yang dipikirkan gadis di depannya itu.

"Sepertinya kamu penasaran dengan kertas-kertas yang biasanya ada di mejaku. Apa aku benar?" tebaknya sambil tersenyum.

"Itu bukan kertas, hanya bungkus gorengan, Dok. Lagipula apa anda sudah membuangnya?"

"Hahahaha... Kamu ini masih saja sinis dengan kertas-kertasku."

"Sudah kubilang, itu bukanlah kertas. Hanya setumpuk sampah yang malas anda buang. Apa sekarang anda sudah membuangnya?"

"Hahahaha. Terserah kamu saja menyebutnya apa. Tapi, kertas itu tidak aku buang."

Ana hanya berdecak. Ia menyandarkan kepalanya pada bagian belakang kursi. Tangannya mengambil satu bungkus permen di meja.

"Ana, kudengar semalam kamu bermimpi itu lagi?" tanya Dokter Ratna dengan raut muka Yang serius.

Ana hanya diam menunduk. Rasanya ia terlalu malas untuk mengingat momen itu. Sekalipun hanya dalam mimpi.

"Ana, ini sudah 10 tahun dan kamu belum sembuh. Apa kamu tidak ingin keluar dari tempat ini?"

Ana mengangkatkan kepalanya. Ia menatap lekat mata dokter Ratna. "Maksud anda?"

"Begini, aku akan di pindah tugas ke Kota. Apa kamu mau ikut denganku? Aku akan mudah mengawasimu jika kita berada di kota yang sama?"

"Tapi, bagaimana dengan Tante-"

"Tante Mila akan baik-baik saja di sini. Kamu tidak perlu mencemaskan hal itu," sergah Dokter Ratna. Ia mengambil kertas di loker mejanya dan memberikan itu pada Ana.

"Itu adalah universitas terbaik di sana. Semua mahasiswanya adalah orang pilihan dan tidak terlalu peduli kehidupan orang lain. Sesuai karaktermu. Di sana juga dekat dengan rumah sakit tempatku praktik. Bagaimana? Apa kamu mau pergi denganku?"

Ana menatap kertas itu ragu. Sebuah formulir pendaftaran lengkap dengan brosur universitas. Ana membaca brosur universitas itu.

"Kita mulai hidup baru di tempat yang baru. Kita lupakan semua yang pernah terjadi di sini. Apa kamu mau?"

***

Ana terduduk dengan gusar. Tangannya ia taruh di atas meja belajar. Di depannya, sebuah laptop menyala, menampilkan website Universitas Dharma Wijaya. Pikirannya kalut.

Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar kamar. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Menampakkan Tante Mila yang membawa sebaki makanan dan minuman. Ia meletakkan di meja belajar, samping laptop Ana. Ia juga melihat ke layar laptop yang menyala itu. "Universitas Dharma Wijaya?" tanyanya mengernyitkan dahi.

"Iya, Tante. Dokter Ratna menyarankanku kuliah di sana. Beliau juga mengatakan akan pindah tugas di rumah sakit yang dekat dengan kampus itu."

Mata Tante Mila berbinar. Ia nampak sangat bahagia dengan kabar itu.

"Wah. Bagus dong! Kamu bisa menggapai mimpimu di sana."

"Tapi, Tante akan tinggal di sini seorang diri." Nada suara Ana terdengar tak bersemangat.

Tante Mila tersenyum. Ia menarik Ana agar memeluknya. Ia mengusap rambut panjang gadis itu.

"Tante tidak apa, sayang. Ada baiknya kamu ikut dengan dokter Ratna. Sekaligus untuk membantu masa penyembuhanmu. Tante rasa kamu harus mendapatkan tempat baru agar terbebas dari belenggu itu."

"Dokter Ratna juga mengatakan hal yang sama, Tante."

Tante Mila melepaskan pelukannya. Ia menatap mata Ana dan mengusap pipinya pelan.

"Tuh kan? Sudah ya. Ayo kemasi barang-barangmu. Kabari juga Dokter Ratna kalau kamu akan pergi dengannya."

"Baik, Tante. Aku akan bilang dokter Ratna."

Next chapter