webnovel

Q

Kalau sudah masa lalu, harusnya tak usah dibahas. Tidak semua orang akan menyukai apa yang telah berlalu, kembali dijadikan bahan pembicaraan.

Kalau di pagi hari sudah diguyur hujan, rasanya tak punya semangat untuk melakukan apa-apa. Inginnya terus di ranjang, berpelukan dengan sang kekasih atau guling kesayangan dibalut selimut hangat. Tapi sayangnya, realita kehidupan membuat orang-orang memaksa diri untuk tetap bangun. Melupakan rasa malas yang perlahan mendekap, terus melangkahkan kaki dengan sepatu boots agar tidak basah dan payung. Beberapa yang tak punya kendaraan pribadi akan menggerutu sebab halte bus atau stasiun kereta akan dipadati oleh orang-orang, sementara yang punya kendaraan pribadi akan berdecak sebab jalanan akan mendadak macet.

Setelah sampai di basement kantor, lima belas menit lebih cepat dari biasa dia datang, Alan melangkah menuju ruangannya. Sesekali menunduk sopan, menyapa dengan senyuman hangat orang-orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Cuaca buruk di pagi hari tidak bisa menjadi alasan untuknya bolos, sekalipun dia punya jabatan yang cukup tinggi untuk itu. Tapi Alan, tak pernah memanfaatkannya untuk kebutuhan pribadi. Harus bisa memberi contoh yang baik.

Maka tatkala sudah masuk ke dalam ruangannya, kening lelaki itu nampak berkerut melihat karyawannya kini bergerombol di salah satu meja. Dia mendekat, sebab merasa penasaran sementara Rani si pegawai magang yang sejak tadi duduk sendirian nampak terkejut. Alan memberi isyarat untuk diam pada gadis itu, lalu terus melangkah mendekati meja Galang.

"Kenapa harus wanita lagi, sih?" Gerutu Bisma yang kini duduk di atas bangkunya.

Meja Bisma dan Galang memang bersebelahan, kedua lelaki itu juga sering terlihat mengobrol di jam kerja. Tapi Alan tak bisa memecat hanya karena mereka suka mengobrol, sebab kedua orang itu punya kemampuan yang patut untuk diacungi jempol. Tim arkeologi yang dia pimpin ini memiliki karyawan yang mumpuni, tak aneh kalau mereka diutus untuk melakukan ekspedisi nanti.

"Kenapa kau benci sekali kalau ada karyawan wanita?" Alih-alih menjawab, Galang malah melempar kalimat tanya lain pada Bisma yang kini berdecak sebal.

"Wanita itu merepotkan," jawabnya.

Vin yang sejak tadi berdiri, lantas menoleh pada Bisma. "Jadi, bagimu ibumu juga merepotkan, ya?"

"Bukan begitu," jawab Bisma sembari berdecak, "tidak semua wanita itu merepotkan, tapi maksudku...."

"Nah, kalau begitu tidak boleh langsung menyimpulkan kalau wanita itu merepotkan. Aku kenal dia," ketiga orang itu nampak terkejut, lantas berdiri untuk menyapa sang atasan. "Dia wanita mandiri yang tidak suka merepotkan orang lain, percayalah."

Bisma tersenyum canggung, pun menggaruk tengkuknya. "Bukan begitu, Pak. Tapi Saya hanya takut kalau dia malah jadi beban saat ekspedisi nanti,"

Alan tersenyum, lalu menggeleng. "Tidak, percayalah. Dia tidak akan menjadi beban,"

"Dia juga cantik, kok. Portofolionya juga menjelaskan kalau dia sangat berprestasi," kali ini Galang yang berbicara, membuat Vin merotasikan bola matanya malas.

"Wanita cantik itu sumber masalah, asal kau tahu," celetuknya.

"Dan penguras isi dompetmu," lanjut Bisma, setelahnya menghela napas dan menyorot layar komputer itu dengan tatapan sendu. "Aku benci wanita cerdas,"

"Sekarang apa lagi?" Jengah, Galang kini kembali bertanya. Sementara Alan masih di posisinya, memperhatikan dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya.

"Wanita cerdas itu egois, mereka tidak pernah mau mengalah. Pokoknya menyebalkan,"

"Wanita, 'kan, memang tidak pernah salah. Masa itu saja kau tidak tahu?"

Ketiga orang yang mendengarkan ucapan Vin langsung tertawa, sementara Rani yang sejak tadi duduk di bangkunya langsung menghela napasnya. Kalau obrolan yang mengarah pada tindakan merendahkan perempuan seperti ini memang sudah seperti makanan sehari-hari, dia sebagai pegawai magang juga tidak berani untuk ikut berbicara atau membantah apa yang mereka katakan. Sebenarnya, mereka belajar stereotipe itu darimana, sih?

"Sudah, sudah. Pegawai baru kita sebentar lagi akan datang," potong Alan, yang kini sudah melangkah menuju mejanya.

"Apa dia akan datang hari ini, Pak?" Tanya Vin, sementara kedua rekannya yang lain kini menunggu jawaban dari Alan.

Lelaki itu lantas mengangguk, lalu kembali mengulas senyum. "Siapkan diri kalian untuk menyambut kehadiran wanita paling tak ingin kalah di dunia,"

Setelah mengatakan itu, ketiga lelaki tadi langsung menghela napas dan kembali duduk di bangku mereka masing-masing. Kalau sudah begini, mau tidak mau mereka harus pasrah. Pihak atasan mereka juga tak akan mau mendengar keluh kesah mereka yang tak berdasar itu, ditambah si pegawai baru juga menjadi kebanggan tua bangka Egi. Saat datang kemarin, memberitahu bahwa mereka akan melakukan ekspedisi dan akan kedatangan anak dari ibu kota, lelaki itu terus tersenyum lebar. Wajahnya bahkan terlihat bersinar.

Saat sedang fokus pada perkerjaan mereka, pintu tiba-tiba diketuk pelan. Keempat orang itu menoleh pada pintu, lalu mengarahkan manik mata mereka ke arah Rani yang langsung dipahami oleh gadis itu. Pun, ketika pintu dibuka, dua sosok yang sejak tadi berkeliaran di dalam kepala membuat mereka tersentak kaget dan langsung berdiri menyambut kedatangan kedua orang itu dengan senyum palsu. Kecuali Alan, yang kini menyorot sendu pada Gia yang juga menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya memutus tatapan itu.

"Wah, rajin sekali kalian ini. Hujan di pagi hari begini sudah berkerja," ujar Tuan Egi.

"Selamat pagi, Pak!" Seru Alan, lantas mendekat dan mendekap tubuh lelaki itu.

"Kau pasti kenal dengan Gia, 'kan, Lan?" Tanya Tuan Egi setelah pelukan itu terlepas, Alan yang masih mempertahankan senyuman lebarnya menoleh sebentar pada Gia yang memasang wajah datar.

"Kalau tidak salah kalian satu sekolah dulu, 'kan, Gia?" Kali ini Tuan Egi bertanya pada Gia, yang langsung diberi jawaban berupa anggukan oleh perempuan itu.

"Oh, tentu saja Saya ingat, Tuan. Gia ini sangat terkenal di sekolah dulu,"

Tolong jangan cekik lelaki ini di sini, Gia. Tahan. Demi kenaikan gaji.

Gia terkekeh, yang tentu saja sebuah kekehan hambar yang membuat orang-orang di ruangan itu saling tatap dengan kerutan di kening. Apa atasan mereka ini sudah saling kenal dengan si pegawai baru? Tuan Egi juga ikut tertawa, begitu polos sembari menepuk bahu Alan.

"Nah, kalau begitu tidak usah dikenalkan lagi padamu, 'kan?" Alan mengangguk, "nanti kau kenalan dulu dengan orang-orang di ruangan ini, mengakrabkan diri supaya perjalanan kalian jadi menyenangkan. Saya pamit, ya?"

Alan langsung mengangguk, diikuti oleh yang lainnya sementara Gia kini mendengus kesal. Di pagi hari sudah dihadapkan dengan hujan, dingin, malas, dan lapar. Setelah datang ke kantor, dia malah dihadapkan pada masalah seperti ini. Sebenarnya tak terlalu ingin ambil pusing, toh hubungannya dengan Alan sudah lama sekali kandas. Lelaki ini juga sudah menikah, yang infonya dia dapatkan dari Tuan Egi tentu saja. Tapi agaknya, lelaki ini malah membuat masalah tatkala bibirnya berujar kelewat dengan mata menyorot riang.

"Kenalkan, dia Anggia Shitta. Calon anggota tim kita yang akan ikut dalam ekspedisi nanti," ketiga orang lain mengangguk, pun serentak membulatkan matanya ketika Alan melanjutkan. "Dia mantanku sewaktu SMA."

Entahlah, Gia tidak tahu apakah dia bisa bertahan atau tidak untuk hari selanjutnya. Sebenarnya dia bisa tahan berkerja di bawah tekanan, toh di tempatnya sebelumnya juga dia punya atasan menyebalkan. Tapi, dia hanya tak yakin pada diri sendiri. Bagaimana kalau besokl, atau lusa, kalau sikap Alan masih seperti bocah, dia malah benar-benar mencekik lelaki ini?

Menyebalkan.

To Be Continued